25.Sedikit Empati

246 16 0
                                    


Ada beberapa hal memang yang tidak bisa kita rubah dalam hidup. Yang paling pertama adalah takdir, entah takdir kapan kita akan berjodoh, atau takdir kapan kita akan mati. Jalan hidup yang sudah Tuhan tentukan pun tidak akan semudah itu malaikat membocorkannya. Itu akan tetap menjadi rahasia Tuhan.

Dan Galan paham bahwa kematian Ibu adalah salah satu rahasia Tuhan, karena Ibu juga termasuk umat yang mempunyai Tuhan. Hanya yang tidak bisa Galan percaya adalah, Ibu pergi secepat itu.

Mengingkari janjinya, meninggalkan Galan dengan semua sakitnya.

Beberapa detik setelah bangun, pandangan Galan hanya tertuju pada jendela kamar rumah sakit yang transparan. Melihat bagaimana pelan-pelan langit yang semula gelap berubah menjadi terang, semula hitam perlahan menguning.

Bau alkohol serta obat-obatan yang pekat memenuhi indra penciumannya, itu saja sudah cukup membuatnya tahu di mana ia berada sekarang. Ia tidak tau pasti kenapa bisa berakhir di sini, sebab yang terakhir kali Galan dengar adalah Theo yang berteriak-teriak memanggil Ayah.

Galan cukup kaget karena bangun tadi Theo tidur di sampingnya, menyangga berat badannya dengan tangan, menumpukan kepalanya di satu tangan yang terlipat. Sedangkan tangan lainnya menggenggam tangan Galan yang terbebas dari jarum infus dan hanya terdapat gelang pasien.

Genggaman Theo erat sekali, padahal laki-laki itu sedang tertidur, sampai sekarang netranya tetap memejam. Galan hanya melihat sekilas lalu pandangannya kembali menatap jendela lagi.

Apa yang telah Theo lakukan ia anggap hanya berupa sedikit empati, karena laki-laki itu juga pernah kehilangan Ibunya dulu, mungkin ia hanya kasihan padanya. Galan tidak ingin berharap banyak, ia sudah cukup kesakitan karena akhirnya Ibu pergi untuk selamanya, ia tidak ingin lagi sakit karena harapannya menjadi adik Theo itu terpatahkan oleh Theo sendiri.

"Bu..." lirihnya. Air mata Galan sudah tidak jatuh, tapi tatapannya kosong, seakan enggan diisi apapun.

Jauh di dalam hatinya pun masih terasa sesak. Orang yang paling Galan jaga selama ini, orang yang paling Galan jauhkan dari hinaan orang-orang keji, orang yang selalu ada saat Galan kembali direndahkan, sudah tidak ada. Sekeras apapun Galan memintanya kembali, wanita itu tetap tidak akan kembali kepadanya.

Galan ingin marah pada Tuhan, kenapa Tuhan mengambil Ibu secepat itu, kenapa Tuhan memberinya kesakitan lagi, kenapa Tuhan tidak mengabulkan doanya setiap hari agar ia yang diambil lebih dulu daripada Ibu. Galan ingin marah pada Tuhan atas apa yang ia terima sekarang, tapi Galan masih cukup sadar kalau semua ini memang sudah jalannya.

Galan memejam sejenak guna mengusir perasaan sesak yang kembali, tangannya mengepal, membuat darah naik ke selang infusannya. Dan untuk yang kesekian kalinya, Galan berusaha memendamnya lagi.

"Gimana.... sekarang?"

Tanya yang Galan tidak akan temukan jawabannya, di mana pun. Setelah Ibu tidak ada, apa ia harus tetap tinggal di rumah Ayah? Setelah Ibu tidak ada, apa ia akan tetap baik-baik saja? Dan setelah Ibu tidak ada, apa Galan bisa menghadapi ini semua sendirian?

"Aku nggak benci Ibu, tapi yang kubenci kenapa aku lahir?"

"Karena lo pantes buat lahir." Galan terhenyak mendengar suara Theo yang tiba-tiba menyapa indra pendengarannya, suara khas bangun tidur Theo yang dalam sekejap menjadi daya tarik tersendiri untuk Galan. Perlahan ia mengalihkan pandangannya pada Theo.

Laki-laki itu masih menggenggam tangannya, bahkan jauh lebih erat. Dengan tangan hangatnya yang membungkus tangan dingin Galan.

"Nyokap lo pergi bukan karena lo, jadi kenapa lo harus benci udah lahir ke dunia?"

PESAWAT KERTASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang