24.Ibu Pergi Yang Jauh

220 13 0
                                    


Hari kembali berganti, meninggalkan hari kemarin yang mungkin penuh bahagia maupun hal yang paling menyedihkan. Subuh dini hari dingin sekali, Galan jadi enggan bangun, semakin menarik selimutnya. Tapi, matanya terbuka untuk melihat jam dinding yang sudah semakin beranjak, jam di sana juga sudah memasuki waktu sholat subuh.

Karena Galan termasuk hamba Tuhan yang taat beribadah meskipun omongan kasar everyday, tapi kalau urusan sholat mah dia nggak pernah bolong.

Menyingkap selimutnya, Galan kemudian melirik ke arah Ibu yang masih tertidur membelakanginya. Galan tau Ibu tidak sholat karena kedatangan tamu bulanan, jadi ia biarkan saja Ibu melanjutkan tidurnya.

Turun dari kasur hanya untuk dibuat tersentak karena lantai kamar yang dingin sekali, Galan meringis apalagi saat kakinya menapak lantai kamar mandi yang ada di dalam kamar.

"Dingin banget, mau salju apa gimana nih?!" dengusnya, Galan itu nggak tahan panas tapi dia jauh lebih nggak tahan sama dingin.

Berasa dicekik dia mah kalau kedinginan, jadi dengan cepat Galan mengambil air wudhu. Itu saja sudah cukup membuatnya kembali menggigil. Setelah mengeringkan wajahnya dan beberapa bagian lain dengan handuk, Galan pun keluar.

Tidak ingin menjadi pindang beku jika berlama-lama di sana. Bisa ia lihat Ibu tidak berubah dari posisinya, kayaknya Ibu kecapekan banget pulang dari Singapura. Sampai tidak mendengar Galan mengambil air wudhu yang suaranya saja mungkin akan terdengar dari luar.

Galan tersenyum, lalu memakai sarungnya dan juga peci. Menggelar sajadah di dekat ranjang. Galan lalu mulai menjalankan kewajibannya sebagai umat Islam.

Karena sholat subuh itu singkat, cuman dua rakaat makanya Galan cepat selesai.

Ia membereskan lebih dahulu sarung dan juga sajadah, meletakkannya kembali di atas meja belajar. Lalu hendak kembali melanjutkan tidurnya sejenak karena jujur Galan masih ngantuk, tapi pandangannya terkunci pada punggung Ibu yang masih tetap mempertahankan posisinya.

Punggung yang Galan lihat tidak bergerak sebagaimana mestinya. Ia lalu memegang bahu Ibu, mengguncangnya sedikit.

"Bu." Panggilnya. Tapi, Ibu tidak merespon.

Galan lalu dengan perlahan membalik tubuh Ibu. Jantung Galan terasa seperti berhenti detik itu juga, saat melihat wajah Ibu yang sudah pucat pasi seperti tidak dialiri darah, bibirnya juga membiru.

"B-bu..." suara Galan bergetar saat memanggil Ibu. Ia lalu menyentuh pipi Ibu, dingin. Dingin sekali.

Galan akhirnya menepuk pipi Ibu cukup keras untuk membangunkan wanita itu.

Tidak! Ini tidak mungkin terjadi, Ibu pasti hanya terlalu pulas tidurnya. Ibu tidak akan meninggalkannya bukan?

"Bu! Ibu bangun Bu, Ibu denger Galan kan. Bu jangan bikin Galan takut..." air mata Galan sudah jatuh, membuat jejaknya membekas di atas kasur.

Galan mengguncang tubuh Ibu kuat.

"IBU BANGUN BU! NGGAK MUNGKIN, IBU NGGAK MUNGKIN KAN NINGGALIN GALAN?! BANGUN BU BANGUN!!! IBU UDAH JANJI SAMA-SAMA GALAN TERUS!!" teriakan Galan itu menggema ke kamar Ayah yang ada di sebelah begitu pun dengan Theo yang langsung turun detik itu juga.

Keduanya membuka dengan kasar pintu kamar Galan dan juga Ibu, bisa Ayah dan Theo lihat Galan yang kini terus mengguncang tubuh Ibu. Meraung-raung dengan air matanya yang semakin deras turun, memanggil-manggil Ibunya untuk bangun.

Ayah dan Theo lalu dengan cepat menghampiri.

"Galan, kenapa, nak?" Ayah bertanya hati-hati.

Galan dengan mata berkaca-kacanya itu, berusaha untuk memberitahu Ayah apa yang sebenarnya terjadi di sana.

PESAWAT KERTASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang