Sudah dua hari berlalu semenjak Galan dirawat di rumah sakit, dan sebanyak itu pula ia mencoba untuk tidak berlarut-larut memikirkan Ibu. Tapi, tetap saja, kehilangan maupun sudah lewat hingga bertahun-tahun, jika yang pergi itu orang yang paling disayang sampai mati pun tidak akan pernah bisa dilupakan.Apalagi Galan yang baru saja kehilangan Ibu.
Galan tidak tau caranya melupakan Ibu, nama Ibu sudah tertanam begitu dalam sampai ia tidak bisa menggali dan membuangnya jauh-jauh.
Ia pikir jika sudah lewat beberapa hari itu sudah cukup untuk membantunya melupakan Ibu, tapi nyatanya ia malah semakin kesakitan. Semakin kesakitan meski Theo selalu ada di sana membantunya untuk sembuh.
Yang ia lakukan hanya menatap ke arah jendela, melihat bagaimana di luar sana begitu terang. Siang ini panas sekali sih, untungnya Galan berada di ruang rawat VVIP jadi acnya juga kuat banget. Tapi ia meminta Theo tadi untuk menurunkan suhunya jadi normal, sebab Galan paling nggak tahan sama dingin.
"Ibu pergi sambil bawa Galan ya? Kok rasanya aku nggak punya apa-apa sekarang." Gumamnya.
Seharusnya Theo tidak meninggalkannya sendirian, jadi dengan begitu Galan tidak akan berpikiran yang aneh-aneh lagi. Tapi, Theo juga punya kewajiban untuk sekolah, apalagi dia itu seorang pelajar yang sudah berada di tahap akhir semester.
"Galan punya banyak pertanyaan yang mau ditanyain ke Ibu. Tapi, nggak ada yang bisa jawab. Galan yakin Ayah sama Bang Theo pasti tau alasan kenapa Ibu bisa pergi ninggalin Galan sekarang."
"Tapi, kenapa mereka nggak mau ngasih tau Galan?"
Galan memang selalu menanyakan itu pada Ayah dan juga Theo. Tapi, tidak ada dari mereka yang mau menjawabnya, yang Galan terima selalu pengalihan. Padahal ia juga berhak tau penyebab Ibu tiada.
Galan memejam, menyandarkan punggungnya pada sandaran brankar. Merasakan kesakitan yang kembali menyiksanya, air mata itu turun lagi. Menuruni rahangnya lalu jatuh di atas kasur. Sakit kembali menyiksa Galan, dan untuk yang kesekian kali Galan lelah disiksa terus-menerus.
Bolehkah satu hari saja, ia tidak kesakitan? Bolehkah satu hari saja Galan merasa tenang? Dan bolehkah satu hari saja Galan merasa bahagia tampa takut kebahagiaan itu akan habis pada akhirnya?
Isak tangisnya mulai terdengar, semakin lama semakin kencang. Dan semakin lama Galan menangis ia juga semakin lama tersiksa oleh rasa rindu itu.
"G-galan selalu minta buat diambil lebih dulu, tapi kenapa Ibu yang pergi lebih dulu dari Galan?"
"Galan janji nggak akan nakal lagi, Galan nggak akan ngelawan perintah Ibu lagi, Galan nggak akan pacaran, Galan akan jadi anak baik, tapi, Galan mohon Ibu balik...."
Galan meremat kuat baju di bagian dadanya, berusaha melepaskan sesak yang semakin mencekiknya. Berusaha melepas tali yang mengikatnya kuat hingga ia kepayahan.
Kehilangan memang selalu mampu membuat yang kuat menjadi lemah, membuat yang semula tidak pernah sakit menjadi hancur detik itu juga. Kehilangan adalah hal yang paling Galan benci sekarang.
Belum selesai ia menangis untuk Ibu, pintu kamar rawatnya sudah dibuka kasar dari luar. Dari matanya yang mengabur karena air mata, Galan bisa melihat Ayah menghampirinya. Langsung mendekapnya erat.
Ayah tidak bicara, tidak mengatakan kalimat penenang untuk Galan, tapi tangan Ayah terus bergerak mengusap punggungnya yang bergetar. Seperti bicara bahwa semua akan kembali baik-baik saja.
Cukup lama sampai setidaknya suara tangis Galan terdengar samar, baru saat itu Ayah melepas pelukannya. Membiarkan Galan menenangkan dirinya lebih dulu. Dengan tangan Ayah yang tidak melepas tangan Galan, menggenggamnya begitu erat. Galan pikir genggaman Theo yang paling hangat tapi ternyata genggaman Ayah jauh lebih hangat. Membuatnya sedikit merasa lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS
Fiksi Penggemar"Gue cuman pengen lo bahagia." "Pergi." "..." "Dengan cara itu gue bisa bahagia." /// "Gue... minta maaf, Gal." -SUDAH SELESAI- ~Mulai, 28/10/23 ~Akhir, 02/11/23 ©PESAWAT KERTAS | 2023