20.Pelampiasan

180 16 0
                                    


Galan benar-benar dibuat khawatir sekarang, bagaimana tidak, sudah larut dan Theo belum pulang. Dari tadi yang ia lakukan hanya bolak-balik dari tangga ke ruang tamu bak setrikaan, perasaan Galan benar-benar tidak enak.

Sebenarnya Theo itu ke mana sih, terakhir kali ia lihat di parkiran sampai sekarang Theo belum juga kembali. Ia tidak bisa tenang, mau menelfon teman-teman Theo pun Galan tidak ada yang kenal dengan temannya Theo.

Theo juga tampaknya tidak punya teman akrab. Galan selalu melihatnya sendirian di sekolah.

Theo juga tidak mengangkat telfonnya sedari tadi, banyak pesan yang ia kirimkan tapi laki-laki itu tidak berniat untuk membaca. Pesan-pesan Galan yang dikirim hanya berakhir dengan centang satu.

"Jangan kayak si Toyib lah Bang, lo tuh nggak berbakat tau nggak?!" dengusnya, Galan benar-benar merasa dongkol setengah mati. Sekarang ia harus mencari Theo di mana lagi. Semua tempat yang sekiranya pernah Theo kunjungi sudah Galan datangi tapi nihil, Theo tidak ada di sana.

Theo tidak mungkin diculik kan?

"Ah! Nggak mungkin, siapa juga yang mau nyulik. Penculik malah lari kalau liat muka dia mah." Ini kalau Theo ada di sini, mulut Galan udah digampar sih karena ngomong kayak gitu.

Tapi, dari banyaknya umpatan-umpatan yang ia layangkan kepada Theo. Bukan tidak mungkin Galan tidak merasa khawatir, ini bahkan kali pertama ia merasa khawatir sebegininya dibanding dulu saat tiba-tiba Ibu tidak ada di rumah yang ternyata pergi ke pasar diam-diam. Galan sekarang merasa kekhawatirannya lebih besar terhadap Theo dari pada dulu saat ditinggal Ibu.

Semenjak Galan pindah ke sini, ia sudah memasukkan Ayah dan Theo ke dalam daftar orang yang harus senantiasa ia jaga dan khawatirkan.

Semenjak mengenal mereka, bagi Galan mereka sudah ia anggap orang yang paling penting dan ia tidak ingin kehilangan siapa pun di antara mereka.

Jadi, saat Theo tidak kunjung pulang seperti ini, kekhawatirannya terus memuncak seiring waktu. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Theo sampai larut malam pun ia tidak pulang-pulang.

"Gue tau lo nggak suka sama gue, tapi bukan berarti lo bisa minggat dari sini. Mana baju nggak dibawa, minimal kartu kredit lo tinggalin buat gue kalau mau minggat." Gumam Galan lagi, ayolah bukan Galan namanya kalau di situasi seperti ini dia jadi normal. Tapi, candaan itulah yang membuatnya bisa sedikit merasa tenang.

"Apa gue cari ke rumah Tania aja ya, dia kan kenal Bang Theo. Mungkin aja dia tau."

Ide Galan itu hampir saja membuatnya kegirangan dan beranjak dari duduknya tapi setelah menyadari fakta kalau dia tidak tau di mana rumah Tania, muka Galan langsung manyun.

"Bego! Seharusnya pas ketemu di parkiran, gue tanyain rumahnya di mana." Galan jadi merutuki kebodohannya itu.

Ia juga bingung, dia itu kapan sih pinternya. Kok ya oon mulu.

Belum selesai Galan berperang dengan pikirannya sendiri harus mencari Theo ke mana, pintu utama rumah itu terbuka. Dan bisa Galan liat Theo masuk dengan wajah memerah serta jalannya yang sempoyongan.

Dengan cepat Galan menghampiri laki-laki itu, apalagi saat ia melihat Theo hampir saja terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.

"Lo dari mana aja sih?!" tanya Galan, tapi dari sini ia bisa mencium bau yang begitu menyengat dari badan Theo. Bau alkohol yang begitu pekat.

Apa kakaknya itu minum-minum?

"Lo mabuk?"

"Bukan urusan lo!" Theo masih cukup sadar untuk menjawab pertanyaan Galan, dan karena pertanyaan-pertanyaan anak itu yang terus mengusiknya Theo jadi naik pitam.

PESAWAT KERTASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang