Dulu waktu Galan belum bertemu Ayah, ia hidup dengan berbagai macam pandangan orang lain. Entah yang menganggapnya anak hasil hubungan terlarang dan pihak laki-laki yang enggan bertanggung jawab atau gosip tentang Ayahnya yang tiada dan Ibu merahasiakannya.Galan selalu dicemoh oleh teman-temannya karena tak punya Ayah, dinilai sebagai anak yang tidak jelas asal-usulnya.
Galan sedih? Tentu saja, siapa yang tidak akan terluka dengan hinaan semacam itu. Tapi, Galan jelas sudah punya bakat menyembunyikan kesedihannya bahkan dari usianya masih belia.
Galan percaya yang selalu Ibu katakan, kalau Ibu bilang Ayah tak bisa tinggal dengan mereka karena harus bekerja jauh sekali maka Galan tidak butuh waktu lama untuk percaya.
Tidak peduli apapun yang orang-orang bilang asal itu berlawanan dengan yang Ibu bilang padanya, ia tidak akan pernah mengambil hati omongan orang lain.
Waktu Galan ada juga, ia tak pernah benar-benar diterima di lingkungan tempatnya tinggal. Banyak tetangga yang menolak kehadirannya serta melarang anak-anak mereka bermain dengan Galan.
Ibu pernah melihat Galan bermain sendirian di halaman rumah waktu itu, ketika ditanya jawabannya selalu sama.
Galan akan menjawab,
"Nggak ada yang mau main sama Galan, Bu."
dengan wajah yang masih bisa tersenyum, seakan-akan itu bukanlah suatu hal yang mampu membuatnya bersedih. Tapi, tidak dengan Ibu. Hati Ibu mana yang akan tahan melihat anaknya dicemoh sedemikian rupa.
Jadi, Ibu memutuskan membeli banyak mainan untuk Galan agar anak itu bisa bermain di dalam rumah. Walau Galan tidak suka berada di dalam rumah terus-menerus, tapi itu lebih baik daripada bermain di luar dengan potensi tinggi mendengar cemohan orang-orang atau mendapat tatapan menghakimi dari mereka.
Ibu tau yang ia lakukan merupakan kesalahan terbesar yang tidak akan pernah mendapat tempat di mana pun untuk kata maaf. Ibu juga rela, kalau yang dihina itu dirinya karena memang itu semua salahnya dan Praja.
Tapi, Galan?
Kenapa justru anak kecil yang tidak tau apa-apa itu harus kena imbasnya?
Galan bahkan tidak pernah meminta dilahirkan dengan cara ini, jika Galan tau ia anak hasil hubungan gelap, ia akan bernegosiasi dengan Tuhan agar tidak menghadirkan ia ke dunia.
Galan berpikir kalau bertemu Ayah dan membawa Ayah ke depan semua orang mereka akan berhenti menghinanya dan juga Ibu, tapi setelah tau kenyataannya, bukan tidak mungkin itu malah membuat orang lain semakin merendahkannya.
Bahkan jauh lebih parah sekarang, Galan harus lebih mempertebal mukanya untuk tinggal bersama Ayah. Baru kabar tentang ia anak hasil hubungan gelap saja sudah mampu membuat teman-teman satu sekolahnya mendaratkan makian serta tatapan menghakimi apalagi jika mereka tau kalau Galan juga tinggal dengan Ayah sekarang.
Pasti mereka akan mencemohnya sebagai anak yang tidak tau diri.
Galan tau itu memang benar, ia memang anak tidak tau diri. Merebut Ayah orang lain, menghancurkan keluarga yang semula harmonis menjadi hancur tidak berbentuk. Tapi, dari semua itu, Galan juga korban.
Ia tidak pernah mendapatkan kasih sayang Ayah, bahkan untuk sekadar bertatap muka dengan beliau. Lalu sekarang saat sudah dekat dengannya, bolehkah Galan sedikit egois?
Praja juga Ayahnya kan?
Dan semua anak berhak dapat kasih sayang dari seorang Ayah, bukan?
Namun, Galan lupa. Kalau di sini masih ada Theo.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS
Fiksi Penggemar"Gue cuman pengen lo bahagia." "Pergi." "..." "Dengan cara itu gue bisa bahagia." /// "Gue... minta maaf, Gal." -SUDAH SELESAI- ~Mulai, 28/10/23 ~Akhir, 02/11/23 ©PESAWAT KERTAS | 2023