Suara roda brankar yang didorong cepat melewati lantai dingin rumah sakit menjadi momok yang paling menakutkan untuk siapa pun, darah yang memenuhi baju Theo tidak ia hiraukan. Tangannya dan tangan Galan yang saling menggenggam itu sudah berbau pekat oleh darah, begitupun dengan Geya.Ia yang niatnya ingin menjenguk Galan, harus diperlihatkan sebuah kejadian yang tidak pernah Geya harapkan. Melihat bagaimana tubuh Galan terlempar jauh setelah dihantam keras oleh bagian depan mobil, melihat bagaimana darah Galan mulai mengotori jalan.
Ia harap ini hanya mimpi buruk, ketika ia bangun semuanya akan berakhir. Tapi, tidak. Semua ini nyata.
Itu juga yang diharapkan Theo saat ini, ketakutannya kembali. Takut kehilangan untuk yang kedua kalinya, ia benci Galan, ia benci bagaimana anak itu ada dan membuat keluarganya hancur, ia benci bagaimana anak itu mulai mengusik kehidupannya, tapi sekarang sudah berbeda. Theo sudah menerima anak itu sepenuhnya sebagai adiknya, tapi Tuhan seperti ingin memisahkannya dengan Galan.
Genggaman tangan Theo mengerat, ia tidak akan melepaskan Galan saat Tuhan mencoba mengambilnya. Sebab ia sudah bersusah payah menerima kehadiran Galan, ia tidak akan membiarkan anak itu pergi begitu saja.
"B-bang..." Theo bisa mendengarnya, bagaimana bibir yang sudah memucat itu bergerak memanggilnya.
Mata Galan yang coba ia buka, menatap bagaimana langit-langit koridor yang berbayang, silau cahaya lampu membuatnya kembali mengerjap. Ia tidak bisa merasakan tubuhnya sendiri, tapi sedikit saja ia bergerak, sakit itu akan menyiksanya jauh lebih banyak.
Kepala Galan sakit sekali, bau anyir darah juga bisa ia cium.
Meski sulit untuk membuka mata di saat sekarang, tapi ia tetap berusaha melihat bagaimana wajah Theo yang ikut terkena bercak darah saat memeluknya tadi.
Air mata Galan mengalir di sudut matanya.
Apa ini akhir segalanya?
Apa ini akan jadi kali terakhir ia melihat Theo?
Apa setelah ini, ia akan menyusul Ibu?
"Gal..." panggil Geya, suaranya pelan sekali, tapi masih mampu Galan dengar, ia coba untuk membalas genggaman tangan Theo dan juga Geya, membuat darahnya semakin mengotori tangan kedua orang itu.
Theo mengumpat, kenapa ruang UGD sangat jauh ketika situasi seperti ini terjadi.
"Gue nggak akan pernah maafin lo... kalau sampai lo ninggalin gue." Ujar Theo, ia berusaha untuk menahan tangisnya. Tapi, nyatanya air mata itu bersikeras untuk jatuh.
Galan coba untuk tersenyum di tengah rasa sakit yang semakin menyiksanya.
"L-lo pernah... nyuruh gue pergi kan?"
Jika bisa, Theo ingin menarik perkataannya yang itu. Tidak. Sekarang ia benar-benar tidak ingin Galan pergi, sudah sejauh ini ia menerima Galan, menganggap anak itu sebagai adiknya, lalu apa Theo akan tetap menyuruh anak itu pergi?
Tidak akan pernah, sampai kapan pun Theo tidak akan melepas anak itu menyusul Ibunya.
"Sekarang nggak! Lo nggak boleh pergi, lo harus tetap di sini. Gue bakalan mukulin lo sampai bonyok kalau lo pergi ninggalin gue." Di tengah rasa sakitnya, Galan juga merasa bahagia di saat yang sama karena kehadirannya di dunia ternyata masih dipertahankan.
Galan lalu menatap ke arah Geya, mengeratkan genggamannya pada tangan bergetar wanita itu.
"Jangan nangis..."
Tapi, Geya tidak mengubris. Air matanya malah semakin berlomba-lomba ingin keluar. Serupa rintik yang berubah menjadi deras.
Jika ditanya Geya mau menggantikan posisi Galan atau tidak, maka tidak menunggu lama ia akan berteriak iya. Salah satu ketakutan terbesar Geya adalah, kehilangan Galan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESAWAT KERTAS
Fanfiction"Gue cuman pengen lo bahagia." "Pergi." "..." "Dengan cara itu gue bisa bahagia." /// "Gue... minta maaf, Gal." -SUDAH SELESAI- ~Mulai, 28/10/23 ~Akhir, 02/11/23 ©PESAWAT KERTAS | 2023