Lana gadis mungil itu duduk didepan teras rumah dengan melamun dan sesegukan. Pertengkaran orangtuanya tadi membuat ia begitu syok terkejut.
Ayahnya menghampiri gadis mungil itu. Ia berjongkok menyamakan tingginya dengan Lana putri kecilnya, mengusap puncak kepala Lana lembut. Lana yang tersadar mendongak menatap sang ayah.
"Ayah, ayah kenapa teriak-teriak sama ibu?,Lana takut." gadis mungil itu bertanya membuatnya kembali menangis.
"Hikss ayah jahat"
Ayahnya hanya diam namun tangannya menghapus air mata Lana lembut.
"Anak ayah tidak boleh menangis." ujarnya tanpa menjawab pertanyaan Lana."Lana mau main bola?" tanya sang ayah membuat Lana behenti menangis.
Gadis itu melihat ayahnya yang tersenyum sembari memberikan sebuah bola padanya. Lana terlihat ragu namun kesukaannya pada bola membuat gadis kecil itu menerimanya.
"Oke gadis kecil, Let's go!" Ayah Lana mengangkat Lana lalu menggendong gadis itu di kedua pundaknya. Lana tertawa kecil dengan perlakuan manis ayahnya. Ia berpegangan pada kepala ayahnya sambil kualahan membawa bolanya.
"Let's go!" ujar gadis kecil itu mengikuti ayahnya, lupa begitu saja dengan kejadian yang baru terjadi.
Lelaki itu adalah Ayah Lana, lelaki yang nakal, urakan, dan tidak bertanggung jawab. Kerjanya yang hanya mabuk, judi, berkerja mencari uang baginya hal yang diremehkan. Selama ini Ibu Lana lah yang bekerja membanting tulang untuk keluarga kecil mereka. Meski begitu Ayah Lana adalah sosok ayah yang begitu baik pada anaknya, ia begitu menyayangi dan mengasihi Lana. Entah apa yang dipikirkannya dan entah apa yang akan terjadi pada keluarga kecil mereka.
"Lana seneng gak mau punya adik?" tanya sang Ayah membuat Lana lantas menjawab.
"Emm senang."
"Kalau nanti adikmu laki-laki ayah ajak dia main bola biar jadi pemain bola, lalu ayah tidak bersama Lana lagi deh"
'tuk'
Lana memukul kepala ayahnya setelah mendengar perkataannya yang membuat Lana cemburu.
"Kalau begitu Lana tidak suka punya adik." ucapnya membuat sang ayah terkekeh.
Sore itu mereka berjalan menuju lapangan dekat rumah mereka dengan canda tawa dengan Lana yang digendong dibahu ayahnya. Hari itu adalah hari yang tak akan pernah Lana lupakan seumur hidupnya. Hari dimana ia bahagia dengan ayahnya, juga bingung dengan kejadian pertengkaran kedua orang tuanya.
-♧-♧-
Dua bulan berlalu, awal bulan ini Desember telah menampakan musim penghujannya. Hujan deras membasahi kota Malang selama beberapa hari ini. Dirumah Lana suara hujan bersaut-sautan dengan suara tangisan bayi yang baru seminggu ini lahir.
Bayi mungil bernama Gistra Alkalisa adik Lana yang telah lahir.Lana bersadar diam dipintu kamar menatap adiknya yang digendong ibunya, gadis kecil itu tak henti menatap mereka. Ia tak pernah berharap mempunyai adik, ia takut kasih sayangnya terbagi apalagi teringat omongan ayahnya kemarin, untunglah ia dapat bernafas lega karena adiknya perempuaan.
Gadis kecil itu tersadar dari lamunan ketika melihat ayahnya membawa koper besar.
"Ayah, ayah mau kemana?"
Ibunya menoleh kearah Lana yang bertanya. Wanita paruh baya itu seperti tak tega melihat gadis kecil itu.
Ayah Lana mengelus pipi gadis itu lembut."Ayah pergi cari kerja ya sayang biar dapat uang."
"Ayah perginya lama?"
"Lana tunggu saja ya, sama ibu dan adikmu."
Gadis kecil itu lalu memeluk ayahnya erat, seperti punya firasat ia akan terpisah lama dengan ayahnya dan entah kapan akan bertemu.
Ayah Lana akhirnya memutuskan untuk terbang ke negeri Jiran untuk bekerja atas ajakan kakak perempuannya. Meski entah apa yang ia lakukan disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
People Come and Go
Teen FictionKau akan selalu abadi dalam bait aksara, sastra dan porsaku. Terkenang dalam setiap paragraf-paragraf indah yang isinya adalah kamu, bersemayam di ruang sendiri dalam hati, abadi dalam goresan pena yang kutulis sendiri. Cerita ini kupersembahkan unt...