SMA

25 2 0
                                    


"People Come and Go, setiap orang akan mempunyai masanya masing-masing. Ada yang hingga kini menetap dan ada banyak yang memilih pergi."
-Gistara Alkhalisa-

3 bulan kemudian...

Setelah tiga bulan lalu Gista meninggalkan rumah Budhenya, setelah tiga bulan yang lalu ia kembali lagi ke rumahnya dan menjadi gadis SMA.

Gista membuka sebuah kotak kardus yang didalamnya tersisa barang-barang dari rumah Budhenya yang belum sempat ia rapikan. Ia menatap sebuah topi pramuka dimana organisasi yang mengenalkannya pada kebahagian, mengenalkannya pada Ragan. Ia lalu memajang topi itu didinding kamarnya dengan harapan ia akan selalu mengingat semua momen-momen itu.

Kemudian gadis itu  mengambil novel yang ada didalam kotak kardus, buku itu ada dibawah sendiri. Ia lalu tersenyum kembali, itu adalah novel karyanya pertama kali yang sudah terbit. Ia lalu menyimpannya dirak bersama koleksi novel lain miliknya.

Tangannya kembali meraih benda dari dalam kardus, buku-bukunya dimasa putih biru. Ia tersenyum mengingat ia bersama teman-temannya mengerjakan tugas bersama. Lalu Gista melihat sebuah foto yang terselip disana. Foto mini berukuran 9x5 menampakan wajahnya bersama ketujuh teman-temanya dengan baju toga dikala itu, tersenyum riang seolah mereka tak akan pernah terpisah.

"Kalian tau?, SMA gak seindah itu." Gista berkata sembari menatap foto itu.

Setelah lulus Gista terpisah dari ketujuh temannya. Mereka bersekolah ditempat yang mereka impikan masing-masing. Bahkan Gista sudah jarang sekali sekedar bertemu ataupun bertukar chat dengan mereka.  Hanya tertinggal dua temannya yang ia tak sangka masih akrab hingga sekarang, mereka adalah Siska dan Livi, mereka berdua bersekolah ditempat yang sama dan Gista terpisah. Tak jarang ketiganya menyempatkan waktu bersama untuk bertemu.

"Meski begitu, berdelapan tetap berbeda dengan bertiga," ujar Gista dengan senyum kecutnya.

Ragan pergi darinya, dan teman-temanya juga pergi, lalu kakaknya yang juga sebentar lagi akan meninggalkannya. Ya kakaknya Lana, satu-satunya kakaknya itu akan pergi keluar kota dengan Budhe Gista yang tinggal disana. Katanya kakaknya itu akan dibantu disana.

Kosong, sepi dan sunyi itulah mungkin yang Gista rasakan. Banyak orang-orang yang ia sayangi pergi karena keadaan yang tidak ia inginkan.

"People Come and Go."

♧♧

G

ista menuruni tangga menuju kelasnya, gadis itu menghela nafas berat. Ia harus bisa melewatinya meski rasanya sakit. Baru saja melangkahkan kakinya kembali cowok yang tak ingin ia temui itu justru muncul dari arah berlawanan darinya.

Cowok itu bersama teman-temanya melangkah menaiki tangga, lalu melihat Gista yang terdiam menatapnya. Ia kembali menatapnya, ada rasa rindu yang ia rasakan pada Gadis itu, namun Gista justru langsung melewatinya begitu saja dengan aura kebencian padanya.

Apa kabar Gis? ujar cowok itu dalam hati.

"Ragan!" seorang gadis memanggil namanya membuat sang pemilik nama menoleh.

Ragan menoleh, entah mengapa ia berharap Gistalah yang memanggilnya, meski ia sudah familar dengan suara gadis itu dan jelaslah itu bukan suara Gista.

Gista mendengar suara pangggilan itu berasal.dari cewek yang baru saja melewatinya, gadis itu juga teman sekelasnya. Langkahmya mendadak melembat karena rasa penasaran apa yang hendak gadis itu bicarakan. Namun ia buru-buru membuang rasa ingin taunya itu, memilih segara pergi dan memasuki kelasnya.

Ya benar,saat itu tiga bulan lalu adalah hari pertama yang menyakitkan bagi Gista dimasa putih abu. Entah takdir  atau kebetulan namun ia harus kembali satu sekolah bahkan satu kelas dengan Ragan, dengan cowok yang mati-matian ingin ia lupakan.

Meski bagi Gista memikirkan semua ini adalah hal yang tidak terlalu penting. Memikirkan beban pundaknya yang begitu berat saja sudah membuat hari-hari Gista diiringi tangisan.

Ting!

Romusa

Siska
Gis, nanti jadi nginep to?,
langsung aja dari sekolah

Gista melihat notif grup dari siska, ia benar-benar lupa hari ini ada janji menginap. Ya setidaknya mereka berdua menjadi alasan Gista untuk bahagia.

♧♧

Dan benar saja, waktu menunjukkan pukul empat sore  Gista berada didepan rumah Livi sekarang. Ia membuka knop pintu sembari mengucapkan salam.

"Assalammualaikum."

"Walaikumsalam, masuk Gis!" suara temannya itu berteriak dari arah kamar, Gista bersalaman dengan Ibunya Livi sebelum akhirnya menyusul kearah suara.

Terlihat kedua temannya yang masih menggunakan seragam sekolah itu bermalas-malasan diatas kasur.

"Kok kalian cepet pulang sekolahnya?" tanya Gista membuat keduanya menoleh.

"Sekolah itu ya minimal jangan kayak PT Gis," celoteh Livi dengan guyonannya.

Gista merespon malas, ia ikut berbaring melepaskan segala kepenatannya.

"Aku ngerasa beban pundakku berat banget kokan ya?"
ujar Gista pada Livi dan Siska.

"Jangan gitu ah!" respon Siska tegas.

"Mbakku udah berangkat besok ke Sumatera, aku akan ngerasa gak punya siapa-siapa lagi besok. Tau sendiri Ibuku akan lebih fokus dengan keluarga barunya."

"Mbakmu pergi?" tanya Livi terkejut.

"Udah ndakpapa Gis, ada kita. Kalau merasa beban pundakmu berat kita bisa ketemu kapan aja, lepasin semua," Siska berujar dengan bijak.

"Dari semua orang seusia kita yang aku tau, kamu yang paling hebat Gis." Livi menambah.

"Aku merasa hidupku aku yang tanggung sendiri, Ibuku hanya andil seperlunya, walaupun aku tau bebannya juga berat dengan suaminya yang seperti itu." Gista berkaca-kaca.

Siska memeluk temannya itu, membuat Gista menjadi menangis.

"Aku hanya punya mbakku Sis," ujar Gista lirih.

"Kamu punya kita juga Gis,"











People Come and GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang