Ragan membawa dua tongkat berniat menyusul Gista dan Dean di gudang penyimpanan atas. Kakinya melangkah menaiki tangga, hingga sampailah ia ditempat yang ia tuju.
Terlihat cowok yang lebih tinggi darinya sedang mengobrol asik dengan Gista didepan gudang.
"Gis nih tongkatnya, masukin kedalem gudang!" perintah Ragan sembari meyodorkan dua tongkat itu pada Gista.
Gista mengerutkan kening dengan tatapan mata tajam, Ragan selalu semena-mena denganya.
"Bukan babu kamu!" tegas Gista menatap cowok didepannya itu.
"Jadinya kita temen bukan?"
"Bukan," jawab Gista tegas
Dean menatap mereka tampak tak suka.
"Minta tolong Gis," ujar Ragan kali ini lembut.
"Ish, ngerepotin banget jadi orang!" bentak Gista lalu mengambil alih dua tongkat itu dari tangan Ragan.
Sementara Gista masuk kedalam gudang, Ragan dan Radean saling menatap tajam. Tatapan sengit yang sejak dulu telah ada itu beradu kembali. Mata itu beradu dalam beberapa detik, hingga Dean memutuskan kontak matanya lalu memilih pergi meninggalkan Ragan yang masih menatapnya. Cowok itu pergi dengan perasaan kesal.
Sedangkan Ragan tersenyum kemenangan melihat Dean pergi dari hadapannya. Entah mengapa Ragan merasa sangat puas sekali.
"Loh Dean kemana?"
Suara Gista membuat Ragan sontak menoleh.
"Akrab ya sama Dean!" ujar Ragan pada Gista.
"Loh, apaan to?, aneh," jawab Gista heran pada pernyataan Ragan.
"Dean itu suka sama kamu Gis,"
"Kata siapa to, ngarang!" tegas Gista tampak malas
"Loh semua juga tau."
"Kamu kenapa to?, kayaknya keliatan benci banget sama Radean."
"Aku dari dulu emang udah gak suka sama manusia itu, dari jaman sekolah paud!" terang Ragan dengan tegas.
"Karena?" tanya Gista pada cowok itu dengan penasaraan.
Ragan maju satu langkah lebih dekat didepan Gista, membuat gadis itu memundurkan tubuhnya dengan was-was. Jantungnya berdetak hebat sekarang itulah yang dirasakan Gista detik itu.
"Kepo!" ujar Ragan dilanjut dengan senyumnya yang puas.
Ingin rasanya Gista memakan cowok itu hidup-hidup detik itu.
♧♧
Setelah aba-aba peluit dibunyikan mereka sekarang tampak berkumpul dipinggir lapangan.
"Kita dapat jatah makan nih, udah dibayar semua sama pihak sekolah," ujar ketuanya itu
"Dimana?" celetuk salah seorang dari mereka.
"Di warung mie ayam atas sekolah."
"Jalan kaki?" tanya Gista menyaut.
"Ya naik motor yang bawa motor, yang engga bonceng!"
"Udah pas, kamu sama Dean!" tambah Ragan yang berdiri didepan Gista.
Gista melirik ke arah Ragan.
"Yang nganggur siapa aja?" tanya ketua mereka itu membuat Dean dan Ragan mengangkat tangan.
"Ya udah Gis kamu milih mau sama Dean apa Ragan, cepetan ya tapi keburu sore nanti."
"Gista sama Dean, aku mau sendiri." ujar Ragan membuat Gista kembali menatap cowok itu tajam. Entah mengapa rasanya seperti tidak terima cowok itu berkata seperti itu.
"Okey, gakpapa kan Gis sama Dean?"
"Gakpapa." jawab Gista seadanya.
♧♧
Dan disinilah Gista sekarang, di jok belakang motor milik Dean. Mereka sudah menuju sekolah sekarang. Acara makan yang diselingi celetukan dan guyonan itu sudah berakhir.Gista yang melamun seketika tersadar ketika motor yang ditumpanginya melewati sekolahya.
"Loh Dean sekolah kita udah lewat!" ujarnya pada Dean yang sedang fokus menyetir.
"Iya tau Gis, tak anterin pulang sekalian."
"Hah?, eh gak usah. Aku bisa sendiri kok!" tolak Gista dengan nada tidak enak.
"Udah gakpapa," jawab Dean membuat Gista hanya pasrah. Rumahnya tidak jauh dari sekolah, mereka bahkan sudah hampir sampai.
Derum suara sepeda motor mulai melambat, mereka berhenti disisi kanan jalan tepat diatas rumah Budhe Gista.
"Makasih ya!" ujar Gista yang sudah turun dari jok belakang motor.
Dean mengangguk dengan senyumnya.
"Kalau gitu aku pulang dulu ya!" ucap Dean berpamitan
"Oke."
"Beneran gak mau dianter sampai bawah?"
"Gak usah, gak usah. Takutnya nanti malah ditanya macem-macem sama orang rumah."
"Ya udah kalau gitu."
Gista tersenyum tipis. Tak lama kemudian Dean melajukan motornya untuk pulang. Gadis itu menatap langit yang tampak mendung, bahkan gerimis mulai membasahinya. Ia segera turun memasuki rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
People Come and Go
Teen FictionKau akan selalu abadi dalam bait aksara, sastra dan porsaku. Terkenang dalam setiap paragraf-paragraf indah yang isinya adalah kamu, bersemayam di ruang sendiri dalam hati, abadi dalam goresan pena yang kutulis sendiri. Cerita ini kupersembahkan unt...