"Jika berteman dengamu adalah pilihan, maka aku memilih tidak."
-Gistara Alkhalisa-Dua bulan setelah akhirnya Gista libur semester kenaikan kelas. Ia tengah sibuk mempacking baju-bajunya untuk pulang ke rumahnya. Liburan akan ia habiskan dirumah ibunya, kakaknya Lana yang menjemputnya.
ting!
Sebuah notifikasi pesan diponselnya membuat gadis itu menghentikan aktivitasnya, bergegas membuka pesan itu.
Ragan
Aku dijalan diatas rumahmuDikarenakan rumah Budhenya ini dibawah jalan, jadilah ia harus naik keatas jika mau ke jalan.
Gadis itu mengambil sebuah bingkisan paket lalu bergegas naik ke atas. Membuka gerbang melihat Ragan yang tampak menunggunya.
"Boleh duduk disana dulu?" tanya Ragan menunjuk bangku dekat Mushola yang tak jauh dari mereka.
"Boleh." jawab Gista padanya.
Dua bulan ini mereka tampak akrab dan sering mengobrol baik dichat maupun saat bertemu terutama saat kegiatan organisasi mereka.
"Nih paketnya, semoga ibu kamu suka ya" ucap Gista sembari memberikan bingkisan itu dari genggamannya
"Makasih udah bantu milihin kadonya." jawab Ragan menerima bingkisan itu.
Entah mengapa cowok itu suka sekali menitip pada Gista jika membeli barang online, terhitung sudah ke tiga kalinya ia menitip barang pada Gista. Kali ini ia membeli kado untuk ibunya katanya, Gista bahkan ikut ribet memilih kado apa yang akan dia berikan.
"Kenapa gak dialamatin di rumah kamu aja to, biar kamu gak repot kesini."
"Males kasih ancer-ancer ke kurir, mending titip kamu kan simple."
"Ngerepotin." jawab Gista kesal yang membuat Ragan terkekeh.
"Jadi pulang?" tanya Ragan pada Gista
"Jadi, aku lagi packing tadi."
"Selamat bertemu dua minggu lagi kalau gitu." ujarnya pada Gista
"Lebay Gan."
"Haha.."
Gadis itu melihat Ragan yang tertawa receh.
"Gak usah galau-galauin Lila lagi ya Gan, kita masih kecil gak usah mikir cinta-cinta."
"Engga galauin, apa yang udah lepas ya udah kan. Dan aku ngerasa aku gak kecil ya sorry."
"Anak SMP masih kecil." jawab Gista
"Berlaku untuk kamu, aku sih engga."
"Iya deh."
"Katanya cinta SMP cinta monyet ya?, tapi cinta monyet sakit juga ternyata, menurutmu gimana Gis?"
Gista menoleh pada Ragan yang bertanya padanya.
Gadis itu diam tak tau mau menjawab apa."Lila bilang dia gak boleh pacaran sama orang tuanya, dan aku pribadi menerima keputusan dia untuk putus dengan alasan itu. 3 atau 4 hari setelahnya di sekolah udah geger aja kalau dia sama Baran." Ragan melanjutkan ucapannya tanpa menunggu jawaban Gista, sepertinya cowok itu hanya ingin bercerita.
"Kalau gak suka sama orang bilang ya Gis, jangan bohong kalau bisa jujur."
Gista menatap Ragan untuk kesekian kalinya.
"Iklasin semua Gan, mulai dengan hal-hal menyenangkan yang lain, maafin kesalahan orang yang salah dan hasilnya pasti akan kamu tuai.""Gak semudah itu maafin orang."
"Semua bakalan baik-baik aja kalau balesnya pakek kebaikan."
Ragan tersenyum dengan ucapan Gista.
"Kamu juga ya, jangan terlalu juga benci sama ayah tirimu. Biar bagaimanapun dia pilihan ibumu Gis."
Gista hanya tersenyum kecut, gadis itu malas sekali jika sudah membahas ayah. Tapi ia bercerita tentang keluarganya dengan Ragan begitupun Ragan ia suka bercerita tentang ibunya yang cerewet yang katanya mirip seperti dirinya.
"Semoga ibumu suka kadonya," ujarnya mengalihkan pembicaraan
"Kamu sudah bilang to tadi."
"Ya sudah hati-hati dijalan." lanjutnya yang dibalas anggukan Gista.
"Aku rasa kamu juga." ujarnya pada Ragan
"Ngusir ini ceritanya?"
"Bukan gitu, sudah sore mulai ada kabut, dingin hawanya."
"Namanya juga Jogja lantai dua." jawab Ragan membuat Gista terkekeh.
♧♧
Hawa dingin menembus kulit Gista yang bahkan sudah berbalut jaket. Diatas motor roda dua itu ia melihat kearah sepion, terlihat kakaknya Lana yang sedang fokus menyetir. Motor mereka melaju dijalan lenggang yang berkelok, dengan ciri khas hawa pegunungan yang sore harinya diselimuti kabut tipis.
Gista memeluk pinggang kakaknya itu, menyenderkan kepalanya dibahu Lana.
"Geli Gis, jangan begitu." ujar Lana membuat Gista terkekeh lalu melepaskan pelukannya.
"Dingin tauk mbak,"
"Pengumumannya sudah keluar Gis, aku gak lolos UTBK." ujar kakaknya itu membuat Gista sedih mendengarnya, ia tau kakaknya ingin sekali kuliah tapi ekonomi keluarga mereka yang terbatas juga jadi salah satu kendalanya.
"Ya sudahlah tak pa, besok dicoba lagi sambil cari info beasiswa." jawab Gista bermaksud menyemangati kakaknya.
"Allah punya rencana yang lebih baik mbak, mungkin taun ini belum diizinkan, tinggal tunggu pasti ada hikmahnya." terusnya membuat kakaknya mengangguk tanda mengerti.
"Ngomongmu itu lo udah kayak orang gede aja." jawabnya membuat Gista tersenyum PD.
"Terus rencanamu kedepan apa mbak?" tanya Gista pada kakaknya.
"Ya kerja to, mau apa lagi?. Ya sambil bisa bantu-bantu ibuk kasian jarang dinafkahi sama suaminya. Kan aku juga sebagai anak pertama."
Gista tersenyum kecut mendengar jawaban kakaknya. Berat sekali sebagai kakaknya ia seperti tulang punggung keluarga sekarang. Keluarganya yang sejak ia bayi telah kehilangan figur Ayah kepala keluarga yang harusnya menafkahi mereka. Ibunya juga yang membiayai mereka sedari kecil, ibunya sendirian yang berjuang untuk mereka.
"Jangan terlalu dipikir banget, jangan menganggap kamu jadi yang harus cari uang untuk kita semua juga mbak. Uangnya ditabung, ya kalau mau bantu ibuk sebagian aja yang dikasih. Ibu itu masih punya suami dia tanggung jawab suaminya yang sekarang lah."
"Iya aku tau, tapi aku juga mikirin kamu to." jawabnya pada Gista.
"Halah, aku mah gampang."
Setelah itu tak ada lagi percakapan diantara mereka, sampai motor mereka berhenti dipekarangan rumah saat ba'da magrib.
Gista memasuki rumahnya mengucapkan salam dengan ramah, namun tampaknya rumah mereka sepi tidak ada yang menyahut.
Gista segera menuju kamarnya, hendak merebahkan dirinya dikasur.
"Heh..heh!" sebuah suara dari kakaknya membuat niatnya terurung.
"Ambil wudhu sholat magrib!, tidur aja pengenmu."
Perintah kakaknya membuat Gista nyengir dengan polosnya.
"Iya-iya."
"Mbak, ibu kemana?" tanya Gista pada Lana kakaknya itu.
"Gak tau kewarung paling."
"Ouh." ujar Gista dan akhirnya beranjak mengambil air wudhu untuk sholat.
KAMU SEDANG MEMBACA
People Come and Go
Teen FictionKau akan selalu abadi dalam bait aksara, sastra dan porsaku. Terkenang dalam setiap paragraf-paragraf indah yang isinya adalah kamu, bersemayam di ruang sendiri dalam hati, abadi dalam goresan pena yang kutulis sendiri. Cerita ini kupersembahkan unt...