Bab 12|| KEPUTUSAN

4.7K 481 110
                                    


Empat bulan setelah kunjungan rutin Fara setiap 2 minggu sekali, Davina sudah menunjukan tanda-tanda pemulihan.

Dia kembali bisa tersenyum, tertawa, mengobrol, dan bermain bersama kedua putranya.

Tapi Syaquel tau bahwa senyuman dan tawa Davina tidak di tunjukan untuknya.

Sakit, sesak dada Syaquel. Ingin rasanya dia mengakhiri semua ini. Kedinginan Davina, acuh tak acuhnya dan sikap tidak pedulinya.

Syaquel selalu mensugesti dirinya sendiri bahwa suatu saat, jika dia terus menunjukan sikapnya di depan Davina, pasti wanita itu akan memaafkan nya.

Tapi sudah lima bulan. Syaquel merasa setiap harinya adalah neraka ketika Davina selalu memasang wajah tanpa ekspresi di depannya.

Wanita hanya memandangnya dengan tatapan kosong, kadang hanya mengangguk atau menggeleng ketika Syaquel menanyakan sesuatu.

Hari ini, dua keluarga mereka berkumpul diruang tengah rumah Davina.

Khalista, Alby, Bapak Davina, Ibu Davina, Syaquel dan Davina sendiri duduk diatas lantai yang beralaskan permadani berwarna merah.

Tentu saja, topik dari pembahasan kali ini adalah topik yang tidak mau Syaquel ungkit seumur hidupnya.

Apalagi jika bukan soal keputusan Davina. Apa yang Davina inginkan dalam pernikahan nya dan Syaquel.

Melanjutkan, atau menyerah sampai disini.

Jantung Syaquel berdebar dengan sangat kencang. Panik dan sedih. Dia takut bahwa keputusan yang Davina pilih adalah untuk berpisah dengan dia. Syaquel takut Davina akan pergi darinya.

"Saya gak mau bercerai, Pak." Ujar Syaquel pada Bapak Davina. "Vin, aku minta maaf, ok? Aku gak mau pisah. Aku mohon sama kamu."

Davina bahkan tidak memandang Syaquel ketika dia bertanya. "Gimana hubungan Kakak sama perempuan itu?"

"Aku gak pernah ngapa-ngapain sama dia! Selama aku gak ada dirumah, aku gak ngapa-ngapain sama dia, Vin. Percaya sama aku. Aku gak ada hubungan apa-apa sama dia."

"Kak Syaquel ngerasa gak pernah ngapa-ngapain dan gak ada hubungan apapun sama perempuan itu selama Kak Syaquel amnesia. Tapi gimana sama perempuan itu? Apa dia juga nganggep kalian gak pernah ada hubungan lagi?"

Syaquel dibuat terdiam dengan serangkaian pertanyaan Davina.

Melihat Suaminya terdiam, Davina mengepalkan tangannya. Memalingkan wajah saat dia mengambil keputusan. "Davina mau tetep bercerai."

Setelah mengatakan itu, Davin bangkit berdiri, melenggang masuk kedalam kamar.

Syaquel buru-buru mengejarnya. Tapi ketika dia sampai didepan pintu kamar, pintu kamar itu dikunci oleh Davina.
"Buka, Vin. Aku mohon sama kamu. Jangan minta pisah, aku gak sanggup."

Syaquel terisak, hatinya sakit dan sesak. Perasaan tidak rela melepaskan Davina membuat dadanya terasa berat. Seperti ada sebuah besi besar yang menekan hatinya.

"Aku minta maaf, aku minta maaf, aku minta maaf." Kalimat itu diucapkan berulang-ulang oleh pria yang kini duduk bersimpuh didepan pintu kamar.

Dibali pintu, Davina juga menangis terisak. Memeluk lutut dan mebenamkan kepalanya disana.

Keluarga yang melihat keduanya hanya bisa menghapus air mata mereka.
"Saya sebagai Ayah Syaquel minta maaf, Pak." Alby berunjar kepada pasangan itu. "Saya minta maaf, tolong bujuk Davina untuk tidak menceraikan Syaquel." Seorang Alby Wirattama bahkan rela memohon agak Davina tidak menceraikan putra satu-satunya.

"Semua keputusan ada di Davina. Saya sebagai orang tua hanya berharap yang terbaik buat mereka."

***

Syaquel dibawa pulang oleh Alby dan Khalista. Sejak pulang dari rumah mertuanya, pria itu tidak kunjung keluar dari kamar. Bahkan sampai pagi berikutnya datang.

Khalista mengetuk pintu anaknya dengan khawatir. "Quel, makan dulu yuk. Kami belum makan dari kemarin."

"Quel." Khalista kembali memanggil.

"Syaquel gak lapar." Jawaban Syaquel terdengar dari dalam. Suaranya serak dan lemas.

"Kamu harus makan, Quel. Mama mohon sama kamu jangan kayak gini." Khalista menangis, terus memohon agar Syaquel keluar dari kamar.

Tapi jelas Syaquel tidak bermaksud untuk keluar dari kamar.

Beberapa menit membujuk Syaquel untuk keluar tapi akhirnya gagal, Khalista akhirnya hanya bisa kembali kelantai bawah.

Disisi lain, Davina duduk diatas tempat tidur ditemani oleh ibunya. Syaki tertidur disebelah Davina, sedangkan Shaka sedang bermain diluar bersama anak-abak di kampungnya.

"Kamu beneran mau pisah sama Syaquel?" Tanya ibu Davina dengan lembut.

Davina mengangguk dengan pelan.

"Vin, coba pikirin baik-baik. Pikirin dengan kepala jernih, pikirin Syaki sama Shaka. Gak ada satupun anak yang mau orang tuanya bercerai. Gak ada, Vin."

"Tapi Vina belum bisa nerima semuanya, Ma. Vina benci sama Kak Syaquel, Vina benci."

Ibu Davina menatap putrinya dengan tatapan prihatin. "Kamu inget waktu kamu masih kecil, Vin? Bapak sama ibu pernah mau bercerai. Lebih tepatnta Ibu yang meminta cerai sama Bapak kamu."

Davina memgingatnya, dia baru berada di kelas 4 Sd saat itu. "Bapak selingkuh sama temen ibu."

Ibu Davina tersenyum. "Tapi waktu itu, kamu nangis, kenceng banget. Bilang kalau kamu gak mau bapam sama ibu cerai. Waktu Mama nanya sama kamu mau ikut sama siapa, kamu malah nangis dan bilang kalo kamu mau ikut dua-duanya. Kalau Mama cuma mikirin perasaan mama waktu itu, cuma mikirin rasa sakit mama sama bapakmu waktu itu, sudah pasti sekarang kamu gak bakal tumbuh dengan kami berdua. Kamu bakal tumbuh sama bapak atau sama mama-

-Kamu tau, Vin. Hati mama sakit banget waktu itu. Mama pengen egois, mikirin perasaan diri sendiri. Tapi mama gak bisa, kamu nangis terus, mama gak bisa ngeliat kamu kayak gitu. Saat wanita jadi seorang ibu, Vin. Disaat itu juga, hatinya harus mengalah. Bukan buat suaminya, tapi buat anaknya. Mama gak bermaksud maksa kamu buat maafin Syaquel. Tapi kamu juga harus inget, kenapa Syaquel bisa sampe keluar dari rumah dan kecelakaan? Kenapa dia bisa sampe lupa sama kamu dan anak-anak. Semua keputusan ada di kamu, Mama cuma pengen kamu gak menyesal di kemudian hari."

Setelah mengatakan begitu banyak, Ibu Davina menghela nafas, lalu keluar dari kamar Davina.

Davina menatap dinding kamarnya dengan tatapan kosong.

Memikirkan, bagaimana Syaquel bosa kecelakaan? Keluar dari rumah?

Jelas dalam ingatan nya bahwa semua itu bukan karena Syaquel, tapi dia yang terlalu rewel akan hal-hal sepele.

Suaminya yang lelah setelah bekerja seharian, pulang dan disambut dengan serangkaian omelan darinya.

Dia bahkan marah-marah pada Syaquel hari itu. Menyebabkan Syaquel yang frustasi memilih untuk keluar dari rumah untuk menenangkan pikirannya.

Hanya karena Syaquel tidak ingin dia terbawa emosi daj mengucapkan kata-kata dalam kemarahan pada Davina.

Davina menangis, tidak tau apa yang dia tangisi. Hatinya sesak dan sakit. Tapi kali ini bukan tentang Syaquel yang amnesia dan pergi bersama wanita lain.

Melainkan karena 'Kalau saja' dan 'andai saja'

To be continued.

Jariku kriting setelah nulis Bab ini dalam satu tarikan nafas!

Vote and comen!

Aku mau mindahin cerita SYAQUEL KE DREAME, SE7 GAKK??????

S2|| SYAQUEL: Perjalanan rumah tanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang