7-Pengakuan

89.7K 4.1K 32
                                    

"Tumben pulang, biasanya juga pulang ke apartemen," sindir Mona—mama Abit.

Wanita paruh baya itu heran melihat anaknya yang pulang ke rumah tanpa dipanggil, biasanya dia dan suami harus berkoar-koar dulu di grup keluarga agar Abit pulang, tapi kali ini Abit pulang sendiri tanpa mereka harus berkoar-koar di grup keluarga. Bukankah ini adalah hal yang paling langka?

Namun, Abit tak membalas perkataan mamanya, dia malah langsung mendudukkan tubuhnya di samping mamanya yang tengah memainkan game di ponselnya. Memang, semenjak kakaknya dan gadis pujaannya menjalin hubungan sampai menikah, dia sudah sangat jarang pulang. Di hari pernikahan kakaknya pun di tak datang dan memilih menghabiskan waktunya di kampus kemudian lanjut ke club malam dan berujung dengan dia yang merenggut kehormatan Kalila.

"Kak Bara mana, Ma?"

"Lagi jalan sama istrinya. Maklum, pengantin baru."

"Gak honeymoon?"

"Ngapain kamu nanya kayak gitu? Kenapa? Mau ikut juga?" tanya mamanya dengan ketus, membuat Abit meringis pelan.

Pria itu pulang ke rumah memiliki tujuan, dia ingin menceritakan pada mamanya perihal masalah yang tengah menimpanya, tetapi hal pertama yang dia lakukan adalah mengajak mamanya untuk berbasa-basi sebelum menceritakan masalah yang tengah menimpanya.

Tapi sepertinya dia tak bisa langsung mengatakan pada mamanya, dia juga harus menceritakan pada papa dan kakaknya. Biar bagaimanapun, biar nantinya mereka marah pada Abit, mereka harus tetap tahu akan masalah yang menimpanya, tak peduli nantinya dia dihajar kakaknya.

"Kenapa pulang?" tanya Mona. Wanita itu mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke Abit yang ada di sampingnya.

"Ada yang mau Abit kasih tahu, tapi nanti kalau kak Bara udah pulang."

Mona mengernyit heran, menatap pada anaknya dengan mata memicing, mengintrogasi anaknya.

"Apa?"

"Nanti, kalau semuanya udah kumpul."

"Ok, asal bukan yang aneh-aneh."

Lagi, Abit meringis pelan, dia bahkan menggaruk tengkuknya lantaran mendengar apa yang mamanya katakan. Justru apa yang dia katakan lebih dari hal yang aneh. Bagaimana nanti reaksi keluarganya?

***

Setelah makan malam telah usai, semua keluarga Alkhalifi berkumpul di ruang tamu tanpa terkecuali. Ada Zain—papa Abit, Mona, ada Bara dan Nisa—istri Bara sekaligus gadis pujaan hati Abit, dan ada Abit juga tentunya. Rutinitas keluarga itu setelah makan malam akan berkumpul bersama di ruang keluarga, hanya sekedar bercerita perihal keseharian, meminta nasehat, atau mungkin meminta untuk membantu menyelesaikan masalah.

Mereka semua saling bercerita, tetapi tidak dengan Abit yang memilih diam. Pria itu tengah merangkai kata untuk menceritakan semuanya pada keluarga Alkhalifi, menceritakan perihal Kalila yang hamil karena dirinya.

"Kalau Tsabit gimana?" tanya Zain.

Pria bernama lengkap Tsabit Alkhalifi seketika menoleh pada papanya. Dia memaksakan senyumnya agar tak begitu kelihatan tengah menyembunyikan sesuatu. Abit berdeham pelan, kemudian tersenyum pada anggota keluarganya.

"Ada yang mau Abit cerita?"

"Ya udah, cerita aja, biasanya emang gitu 'kan?" timpal mamanya.

Mona tentu tak bodoh, dia menyadari kalau ada yang disembunyikan anaknya di belakangnya. Apalagi Abit sering kali tak membalas pesannya. Mona mengenal bagaimana Abit, Abit tipe orang yang tak akan membalas pesan siapapun jika dia tengah ada masalah.

"Abit udah hamilin anak orang," ungkap Abit sukses membuat semua terdiam, kecuali papanya yang sudah marah besar dan langsung menarik Abit dan memukul wajah Abit dengan bogeman mentah.

"Kamu bilang apa tadi, hah?!" bentak Zain.

Abit tak menjawab, dia hanya diam, membiarkan papanya menghajar dirinya hingga puas. Sementara mamanya sudah menangis di pelukan Nisa. Bukan hanya papanya yang menghajar Abit, tapi juga Bara, kakaknya.

"Papa gak pernah ngajarin kamu untuk jadi anak brengsek seperti ini Abit, mama selalu ajarin kamu jadi anak yang menjaga dan melindungi perempuan. Terus kenapa jadi seperti ini? Hah?!"

Napas Zain memburu setelah menghajar Abit, tapi sayangnya Bara masih memukul Abit hingga amarahnya reda. Dia marah pada adiknya yang merusak anak gadis orang, Bara merasa gagal menjadi kakak yang baik walau dia sudah sangat sering menasehati Abit.

"Hanya karena lo ditolak Nisa, berujung lo cari kesenangan di luar. Lo gila, ya?" kata Bara setelah dia selesai menghajar Abit.

Ketika pria itu berniat kembali menghajar adiknya, Nisa sang istri sudah menahannya lebih dulu.

"Udah, Mas. Kita bisa dengar penjelasan Abit lebih dulu, barangkali mereka sama-sama suka melakukannya," tutur Nisa mencoba menenangkan sang suami.

Sayangnya, Abit menyela, mengatakan yang sebenarnya pada keluarganya. Dia tak ingin menyembunyikan apapun itu.

"Bukan sama-sama suka, Abit merenggut kehormatannya."

"Anjing lo!" teriak Bara dan langsung menendang pinggang Abit, membuat mamanya yang melihat itu berteriak, tak tega melihat anaknya dihajar oleh Zain dan Bara.

"Mas!" sentak Nisa, dia menarik Bara menjauh dari Abit, agar Bara tak lagi-lagi menghajar Abit. Abit bisa saja mati jika Bara masih terus menghajarnya, Nisa tak ingin suaminya menjadi seorang pembunuh.

"Lepas, Nisa!" bentak Bara mencoba melepaskan tangan Nisa yang menarik tangannya dengan erat.

"Dia adik kamu. Dia bisa mati kalau kamu hajar dia tanpa henti," ucap Nisa masih berusaha menahan suaminya agar tak lagi-lagi menghajar Abit. Nisa kasihan melihatnya, apalagi saat melihat ibu mertuanya yang hanya bisa menangis di tempatnya.

"Dia pantas mati, udah bikin keluarga malu," balas Bara berapi-api.

Mona yang tadinya hanya bisa menangis pun bangkit dari duduknya, menghampiri Abit dengan langkah yang tertatih. Melihat Abit yang tak dapat bergerak karena kesakitan, membuatnya tak tega melihat anaknya itu. Pasti sakit. Wajah Abit hampir semua dipenuhi oleh darah. Sudut bibir sobek, sudut matanya juga sobek, pipi lebam, hidung mengeluarkan darah tanpa henti, bahkan Abit sudah muntah darah tadi saat Bara menendang pinggangnya.

"Bangun, Nak. Ayo, Mama obatin."

"Biarkan dia seperti itu, Mona," sergah Zain.

"Dia anakku, aku ibunya. Sebesar apapun kesalahannya, tak pernah sekalipun menghilangkan rasa sayangku padanya, Zain. Masih banyak yang belum kita dengar dari Abit, tapi kamu sama Bara udah menghajar dia habis-habisan," tutur Mona membantu Abit bangkit dari tempatnya.

Walau merasakan nyeri di wajah juga pinggangnya, Abit tetap bangkit dari duduknya, dia langsung duduk di sofa dibantu oleh mamanya.

"Ceritakan sama Mama dan papa besok pagi. Mama obatin, habis ini istirahat."

"Maaf, Ma," lirih Abit membuat Mona menggeleng.

"Pasti ada yang Abit belum cerita, ceritakan semuanya besok pagi, setelah sarapan."

Abit mengangguk, membenarkan apa yang mamanya katakan. Dia masih belum menceritakan kenapa bisa dia merenggut kehormatan Kalila, belum menceritakan perihal Kalila yang tak ingin dia bertanggung jawab, belum juga menceritakan perihal Kalila yang ingin menggugurkan kandungannya. Abit berharap, semoga saja Kalila belum menggugurkan kandungannya. Dia harus bergerak cepat, tak ingin menyesal dikemudian hari.

***

Akhirnya ... Aku bisa update juga

Btw, gimana sama part ini? Kalian kalau punya kesalahan besar, cerita sama orang tua gak?

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Follow ig aku @huzaifahsshafia dan Tiktok aku @inilovequeen untuk info karya-karya aku.

Mampir juga ke karya aku yang lain.

Bye bye

KALILA (NOVEL TERSEDIA DI SHOPEE DAN TIKTOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang