22-Saya Gak Mau

80.1K 3.8K 196
                                    

"Jadi gimana, kamu mau tidur sama saya malam ini?"

Kalila mendelik tajam pada Abit yang tengah tersenyum jail padanya. Gara-gara siang tadi dia mengizinkan Abit mengelus serta berbicara dengan anak di perutnya, Abit jadi makin berani menjailinya. Sore tadi saja Abit menjailinya bukan hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali.

Namun, entah kenapa Kalila mau-mau saja dekat dengan Abit, biasanya dia menjauhi Abit jika ada Abit di dekatnya.

"Jangan terlalu berharap, deh, Pak."

Abit tertawa keras. Dia tidak bisa menutup kemungkinan kalau dia memang berharap Kalila mau tidur seranjang dengannya, seterusnya.

"Kenapa? Takut malah jatuh cinta sama saya?"

Kalila mencibir, mana mungkin dia jatuh cinta sama Abit. Kemudian gadis itu mengambil keripik kentang di toples yang ada di genggam tangannya, kemudian melempar Abit dengan keripik kentang tersebut.

"Ke-ge-er-an banget, mana mungkin saya suka sama laki-laki seperti Pak Abit. Udah brengsek, nyebelin lagi," ujar Kalila membuat Abit kembali tertawa keras.

Pria itu sama sekali tak merasa marah atau tersinggung mendengarnya, nyatanya dia memang brengsek dan menyebalkan. Hampir semua orang yang mengenalkan mengatakan kalau dia menyebalkan, terlebih lagi dengan mahasiswa yang pernah dia ajar.

"Siapa tahu aja, 'kan? Kita mana tahu perasaan orang."

"Gak akan pernah, itu hanya dalam mimpi Pak Abit aja," balas Kalila tak mau dibantah.

Gadis itu mengangkat kakinya, lalu meletakkan di meja, matanya fokus melihat televisi yang menayangkan film kartun, sedangkan mulutnya terus mengunyah keripik kentangnya. Kalila sudah tak mengeluarkan suara lagi, dia memilih untuk fokus pada televisi.

Sementara Abit masih terus menatap Kalila, melihat pipi Kalila yang agak berisi dan perut Kalila yang sedikit buncit, membuat Abit gemas, rasanya ingin sekali memeluk Kalila seerat mungkin. Kini, Abit jatuh hati pada Kalila, jatuh sedalam-dalamnya, pria itu bahkan sudah tak memedulikan Nisa yang menjadi kakak iparnya.

Tangan pria itu tanpa permisi bergerak mengelus perut Kalila, kemudian dia juga mendekatkan telinganya pada perut Kalila, jelas hal tersebut membuat Kalila mengernyit heran. Walau begitu, dada Kalila terasa menghangat, di perutnya seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan. Jantung ibu hamil itu juga berdegup kencang, kenapa ini?

"Sehat-sehat ya, Nak, Papa sama Mama nungguin kamu di sini. Papa akan bahagiakan kamu semampu Papa, jangan sedih jika nanti kamu gak lihat Mama, karena masih ada Papa."

Entah perkataan Abit barusan menyindir Kalila atau tidak, tetapi apa yang Abit katakan barusan benar-benar menyesakkan dada Kalila. Ibu hamil itu kini tengah menahan tangisnya agar tak keluar, dia bahkan mengalihkan pandangannya agar Abit tak melihat bagaimana matanya yang berkaca-kaca. Pertahanannya tak boleh roboh, dia harus menahan agar air mata tak jatuh membasahi pipinya.

Tuhan ini benar-benar menyesakkan, kemudian dada Kalila kembali nyeri, diikuti dengan batuk yang tak henti, membuat Abit langsung mengangkat wajahnya dan melihat Kalila. Kekhawatiran Abit benar-benar tak bisa ditutupi, apalagi saat melihat Kalila yang terus batuk serta memegang erat dadanya.

"Kalila?" lirih Abit.

"Saya baik-baik aja, cuma nyeri sama batuk biasa doang."

Abit dapat sedikit bernapas lega mendengarnya, tetapi hal tersebut sama sekali belum menghilangkan kekhawatirannya pada Kalila yang nyeri di dada dan batuk tanpa henti.

"Kalau ada apa-apa, bilang sama saya, Kalila. Saya gak mau kamu sama anak kita kenapa-kenapa."

Kalila tak mengeluarkan suara, dia hanya mengangguk patuh sebagai tanda kalau dia akan mengatakan pada Abit jika terjadi sesuatu padanya.

***

Lagi, pagi ini Kalila merasakan mual bahkan muntah tak henti-hentinya. Tubuh gadis itu sudah sangat lelah, dia juga serasa tak ingin bangkit dari tempatnya saat ini. Rasanya, Kalila ingin membaringkan tubuhnya di kamar mandi ini, dia tak bisa bergerak lantaran muntah tak ada hentinya, ditambah lagi dengan kepalanya yang pusing. Sekadar menggerakkan kepala saja, rasa pusing benar-benar menghantam kepalanya, membuat dia harus memuntahkan isi perutnya.

Sepertinya yang Abit katakan benar, siang kemarin. Anaknya rindu dengan papanya, maka dari itu kemarin dia sama sekali tak merasakan mual.

Namun, Kalila tak akan mau lagi tidur seranjang dengan Abit, cukup malam itu saja karena mengingat akan persyaratan yang dia berikan pada keluarga Abit sebelum mereka menikah.

Lagi, Kalila harus mengeluarkan isi perutnya yang benar-benar tak bisa dia tahan. Kemudian setelah semuanya sudah keluar, Kalila mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Ibu hamil itu meletakkan kepalanya di kloset duduk yang kebetulan tertutup, dia memejamkan matanya sejenak, lalu kembali membuka matanya.

Hamil di trimester pertama benar-benar membuatnya kelelahan, tetapi bersyukur sebentar lagi usia kandungannya memasuki trimester kedua, itu berarti penderitanya sebentar lagi akan berakhir.

Merasa kalau rasa mualnya mereda, Kalila bangkit dari tempatnya, lalu keluar dari kamar mandi tersebut. Hari ini harusnya dia ke rumah sakit karena sudah buat janji dengan dokter kandungan juga dokter umum.

Setelah dirasa sudah baikan, Kalila mengganti bajunya, lalu langsung keluar kamar kala dia sudah selesai mengganti baju.

Baru saja Kalila membuka pintu kamarnya, dia sudah dikejutkan dengan keberadaan Abit yang ada di depan pintu kamarnya, lebih terkejut lagi saat melihat Abit yang kini khawatir melihatnya.

"Saya tahu, kamu pasti habis mual lagi," ujar Abit.

"Biasa aja, Pak. Udah sering juga," balas Kalila mencoba untuk tak peduli dengan Abit yang tengah khawatir.

Sayangnya, hal tersebut malah membuat Abit semakin khawatir, apalagi saat Kalila berjalan sempoyongan dan hampir jatuh.

"Tuh, 'kan, saya bilang apa?! Tidur sama saya aja, kamu kemarin tidur sama saya gak mual-mual. Saya gak akan macam-macam, Kalila."

Kalila mendelik tajam, dia saja tidur sama Abit baru sekali. Mungkin saja itu hanya kebetulan.

"Hanya kebetulan kali, Pak. Ge-er banget."

Abit tersenyum, lalu tangannya bergerak mengacak rambut Kalila hingga berantakan, hal itu membuat Kalila menggeram kesal. Abit jadi semakin berani pada dirinya semenjak mereka tidur seranjang, juga semakin sering menjailinya.

"Ayo, ke rumah sakit," pungkas Abit, kemudian langsung melangkah turun ke lantai bawah.

Sayangnya, Kalila sama sekali tak ikut, membuat Abit yang sadar bahwa Kalila tak mengikutinya pun menghentikan langkahnya di anak tangga. Pria itu menoleh pada Kalila, lalu mengernyit heran melihat istrinya yang tak bergerak sama sekali.

"Kenapa?"

"Saya bukannya udah bilang kalau saya mau ke rumah sakit sendiri?"

Abit menghela napasnya panjang, dia ingat akan hal itu, tetapi dia benar-benar ingin menemani Kalila, dia tak ingin Kalila kenapa-kenapa di jalan. Apa dia tak bisa menemani istrinya untuk mengecek kehamilan? Abit ingin mengetahui juga perkembangan anaknya.

"Saya benar-benar gak boleh ikut?" tanya Abit memelas.

Kalila mengangguk cepat dan berkata, "Iya, saya mau sendiri tanpa ditemani siapa-siapa."

Perkataan Kalila tersebut adalah mutlak, tak boleh dibantah. Dan Abit pun memilih untuk mengalah. Masih ada bulan depan, pikir Abit.

***

Aku update lagi....🤸

Kalau kalian mau punya pasangan kayak gimana? Mau kayak Abit? Atau kayak Kalila?

Kalian kalau punya suami kayak Abit gimana?

Aku kalau punya yang kayak Abit, gak mau aku lepas🤣

Hari ini lama yah, soalnya sibuk banget di kantor.

Jangan lupa tinggalkan jejak

Aku tunggu spam nextnya

Bye bye

KALILA (NOVEL TERSEDIA DI SHOPEE DAN TIKTOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang