Abit yang baru saja berniat meninggalkan rumah Kalila, terkejut dengan suara dari dalam rumah Kalila. Pria itu bahkan sampai mengurungkan niatnya untuk pulang dan memilih untuk menunggu, entah kenapa pria itu merasa khawatir akan Kalila, apalagi saat melihat satpam tersebut sama sekali tak peduli.
Abit melihat pada satpam tersebut yang kini sibuk membaca koran juga ada segelas kopi di pos penjagaannya. Memang tadi hanya satpam itu yang tak dipanggil masuk, jadi dia sama sekali tak tahu apa yang terjadi di dalam.
"Sudah biasa, Mas. Nona Kalila sering dimarahin," ujar satpam tersebut, seakan mengerti dengan tatapan Abit. Dia berdiri dari duduknya, kemudian menghampiri Abit. Kedua pria berbeda generasi itu saling berhadapan dengan pintu gerbang sebagai penghalang.
Mendengar itu, Abit sontak terkejut. Kalila sering dimarahin itu adalah fakta yang baru dia dengar, di kampus Kalila terlihat begitu ceria, tapi ternyata di rumah gadis itu sering dimarahi bahkan diteriaki. Apa tetangganya di sini tak merasa terganggu? Apa pekerja di rumahnya tak terganggu?
"Nona Kalila juga sering dipukulin kalau dia buat salah besar, jadi yang kayak gini udah biasa. Jangan heran kalau datang ke rumah ini, Mas," imbuh satpam tersebut membuat Abit mengernyit heran.
Baru saja pria itu berniat untuk bertanya, matanya menangkap Kalila yang keluar dari rumah dengan tangisnya, bahkan sedikit di dorong kasar hingga mundur beberapa langkah. Abit yang melihatnya tentu emosi, bagaimana kalau Kalila jatuh dan keguguran?
"Pak, buka gerbangnya!" sentak Abit.
Mendengar Abit yang menyentaknya untuk membuka pintu serta wajah khawatir milik Abit, membuat Satpam tersebut tanpa berpikir panjang langsung membukakan Abit pintu. Kala pintu sudah benar-benar terbuka, Abit langsung berlari, menghampiri Kalila yang kini berlutut di kaki seorang pria yang sepertinya seusia dengan kakaknya, menangis serta memohon.
"Jangan, Kak. Kalila harus tidur di mana? Kalila harus pulang ke mana? Rumah Kalila hanya di sini."
"Ingat, Kalila, kami sudah bukan keluargamu lagi. Kamu hanya bisa buat keluarga malu, hanya bisanya nyusahin keluarga, jadi beban. Kamu gak kayak Kalula yang selalu membanggakan keluarga, yang baik dan menjaga diri," kata Randy. Dengan kasar, Randy melepaskan kakinya dari pelukan Kalila, bahkan sedikit menendang Kalila, bersyukurnya tak mengenai perut Kalila.
"Pergi dari sini, kamu sudah bukan keluarga Nowlan," pungkas kakaknya langsung masuk ke rumah dan menutup pintu dengan keras.
Abit yang melihat langsung menghampiri Kalila, juga langsung memeluk Kalila erat. Kalila sepertinya tak sadar kalau orang yang memeluknya adalah Abit, orang yang memberikan dia kehangatan dan kenyamanan adalah Abit, orang yang memberikan dia sandaran adalah Abit. Yang Kalila inginkan, hanya untuk menumpahkan semuanya.
"Tenang, ada saya Kalila, kamu tenang."
Kalila tak membalas, tetapi dia terus menangis di pelukan Abit.
"Hancur, semuanya hancur. Masa depan saya, keluarga saya, rencana saya, keinginan saya, cita-cita saya. Semuanya hancur," racau Kalila.
"Tenang, kamu masih bisa merancang kembali masa depanmu, Kalila. Gak ada kata terlambat," balas Abit langsung mengelus rambut Kalila pelan.
Tangis Kalila seketika berhenti, apa tadi? Merancang kembali masa depan? Gadis itu langsung melepaskan pelukannya, dia juga mendorong Abit hingga mundur selangkah.
"Apa? Merancang kembali? Semuanya hancur karena saya hamil, Pak. Sekarang Bapak udah liat, 'kan, gimana keluarga saya sama saya? Mereka gak suka sama saya, maka dari itu saya ingin mengejar karir seperti sepupu saya yang lain, supaya mereka juga mengakui kehebatan saya. Bagi mereka saya hanya beban, maka dari itu saya mau membuktikan pada mereka. Tapi karena kehadiran anak sialan ini, semuanya hancur. Dia harus dimusnahkan sekarang juga," tutur Kalila. Tangannya meninju-ninju perutnya, berharap dengan ini janin di kandungnya keguguran dan dia bisa kembali melanjutkan rencana masa depannya yang berhenti.
"Jangan, saya mohon," kata Abit mencoba menghentikan Kalila.
"Enggak."
"Jangan."
"Dia harus mati, Pak. Dia gak pantas hadir di dunia. Dia udah han—"
Belum sempat Kalila menyelesaikan perkataannya, Abit sudah menarik Kalila kembali ke pelukannya. "Dia pantas, Kalila. Dia gak salah."
"Saya diusir dari rumah, Pak, karena ketahuan hamil. Saya gak tahu harus ke mana, rumah untuk saya kembali udah gak mau terima saya."
Isak tangis Kalila benar-benar menyayat hati Abit, pria itu juga menangis mendengarnya. Matanya menatap pada pintu rumah Kalila yang tertutup rapat, kenapa tak ada satu pun keluar Kalila yang simpati melihat Kalila?
"Saya yang akan jadi rumah kamu, Kalila. Tempat kamu pulang selanjutnya adalah saya, mari kita pulang ke rumah yang sebenarnya."
Tak diduga, Kalila mengangguk. Tak ada pilihan lain, dia hanya bisa ikut dengan Abit, kalau tak dengan Abit, dia pulang ke mana? Uang tak ada sepersen pun. Tas, ponsel, semuanya tak diberikan dia untuk dibawa. Kalila benar-benar tak memiliki harta sepersen pun.
"Ayo," ajak Abit.
Kalila mengangguk patuh, dia meninggalkan rumah yang memberikan banyak luka padanya. Walau begitu, rumah itu yang dulunya tempat dia pulang, tempat dia mengadu jika lelah, tempat dia melepas penat. Kini hanya menjadi kenangan dan sampai kapan pun, Kalila sudah tak akan bisa kembali ke rumah itu lagi.
***
Keduanya tiba di apartemen Abit, apartemen yang isinya semua orang-orang elit. Kalila tahu Abit berasal dari keluarga pengusaha, hampir sama dengan keluarganya, bahkan mungkin Abit juga pastinya memiliki pekerjaan lain selain menjadi dosen di kampusnya.
"Ini apartemen saya, di lantai sembilan unit 211," ujar Abit saat mereka sampai di depan apartemen Abit. Kalila menatap pintu apartment Abit, pintu berwarna coklat yang bisa dibuka hanya dengan kartu juga pin.
"Pin-nya tahun lahir saya," lanjut Abit membuka pintu apartemennya dengan pin dan menunjukkan pada Kalila.
Abit mengajak Kalila langsung masuk saat pintu terbuka, tak lupa juga pria itu mengucapkan selamat datang pada Kalila.
"Selamat datang di rumahmu, Kalila. Rumah tempat kamu pulang. Kalau saya gak bisa jadi rumah tempat kamu pulang, ingat kalau ada apartemen mewah yang bisa jadi rumah tempat kamu pulang," ucap Abit diselingi dengan candaan. Dia berusaha mencairkan suasana agar Kalila tak merasa takut padanya.
"Kamar di sini sebenarnya ada dua, tapi yang satu saya jadikan ruang kerja. Kamu bisa tidur di kamar saya dan saya tidur di ruang kerja. Kamu boleh kunci pintu kamar saat kamu tidur. Semua kuncinya ada di laci samping ranjang, sama sekali gak ada sama saya," jelas Abit.
Pria itu sengaja menjelaskan semuanya pada Kalila, karena takut Kalila berpikir dia bisa saja macam-macam.
"Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa ke ruang kerja saya. Ketuk saja kalau gak berani masuk. Untuk baju ganti, kamu bisa pakai baju saya dulu, besok saya akan belikan kamu baju. Saya ada baju yang belum pernah saya pakai di lemari bagian paling bawah. Di rak dekat wastafel kamar mandi ada sikat gigi baru juga," imbuh Abit menjelaskan pada Kalila dan hanya dibalas dengan anggukan oleh Kalila.
Abit memaklumi hal tersebut, dia kemudian tersenyum kecil pada Kalila. Sebenarnya pria itu juga canggung pada Kalila, tapi mencoba untuk menyembunyikan.
Tangan pria itu bergerak, mengelus lembut puncak kepala Kalila. "Istirahat, ini udah malam. Semoga besok semuanya baik-baik aja."
***
Hayooo .... siapa yang baper dengan perlakuan Abit sama Kalila?
Aku baper loh. Kalau kalian baper gak? Pokoknya mau cowok kayak pak Abit 😚😚
Jangan lupa tinggalkan jejak yah. Nantikan updatenya besok.
Jangan lupa divote dan komen, yang baca banyak tapi yang vote sama komen cuma dikit. Masa jadi silent reader, aku jadi malas revisi karena banyak silent reader.
Bye bye
KAMU SEDANG MEMBACA
KALILA (NOVEL TERSEDIA DI SHOPEE DAN TIKTOK)
RomanceBagi Kalila yang selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya adalah hal yang paling menyebalkan. Di keluarganya, karir lebih penting dibandingkan pernikahan, membuat Kalila harus mengejar karirnya seperti saudari kembarnya yang sudah memili...