Setelah kemarin melangsungkan akad nikah, hari ini Kalila dan Abit ke dokter kandungan. Kalila awalnya tak mau, dia tak mau ke dokter kandungan hari ini, tetapi Mona sudah lebih dulu membuat janji dengan dokter kandungan. Padahal mualnya masih belum reda, tapi terpaksa dia harus ke rumah sakit.
Ya Tuhan, jalan saja dia ingin muntah sepuasnya, apalagi naik mobil. Gadis itu tak henti-hentinya menggerutu, saking bencinya dengan Abit yang tetap membawanya ke rumah sakit dikala dia tengah mual dan pusing.
"Kamu gak mau makan sesuatu? Atau mungkin ngidam gitu."
Kalila melirik pada Abit yang fokus menyetir mobil, kemudian dia memilih untuk menyandarkan kepalanya di kursi daripada harus menjawab pertanyaan Abit, hal itu hanya akan membuat rasa mualnya semakin bertambah.
Hingga mereka sampai di rumah sakit, Kalila langsung keluar saat Abit sudah mematikan mesin mobilnya. Tanpa menunggu Abit, Kalila berlari memasuki rumah sakit, lebih tepatnya menuju toilet rumah sakit ini.
Ibu hamil itu mengeluarkan semua isi perutnya yang sejak di rumah sampai di rumah sakit dia tahan, bahkan kepalanya kini pusing lantaran mual terus.
"Kalila, kamu baik-baik aja, 'kan?"
Suara Abit terdengar dari luar toilet, mengetuk pintu toilet dengan cukup keras. Sedangkan Kalila sama sekali tak menjawab, memuntahkan isi perutnya lebih bagus dibandingkan menjawab pertanyaan Abit yang jawabannya sudah jelas bahwa dia tak baik-baik saja. Hamil membuatnya dirinya terus saja merasa mual juga pusing secara bersamaan.
"Kalila, setidaknya kalau kamu gak izinkan saya masuk untuk bantu kamu, tolong jawab saya? Jangan buat saya khawatir," ucap Abit.
Kalila yang kebetulan sudah selesai mengeluarkan isi perutnya, pun langsung membuka pintu dan berniat untuk keluar, tetapi urung saat Abit berdiri tepat di depan pintu. Wajah khawatir Abit sama sekali tak bisa disembunyikan, Abit bahkan sampai melihat Kalila yang kelelahan.
Tangan Abit bergerak, mengelap bibir Kalila yang basah, sisa muntah Kalila tadi tanpa rasa jijik. Lalu dia juga melap kening Kalila yang berkeringat.
"Apa perlu kita batalin aja?" tanya Abit membuat Kalila mendelik tajam.
Apa tadi? Batalin? Yang benar saja, mereka sudah sampai di rumah sakit, bagaimana bisa langsung dibatalkan begitu saja? Kenapa tak dari tadi di rumah atau saat diperjalanan bilang seperti itu? Kalila kini mendengkus kesal, dia juga melirik sinis pada Abit. Kalau pria ini menyayangi anak yang dia kandung, harusnya peka terhadap apa yang terjadi pada ibunya. Alhasil seperti ini, bukan? Dia mual dan muntah.
"Gak perlu, lebih baik langsung ketemu dokternya aja."
"Tapi kamu—"
"Saya baik-baik aja, Pak," potong Kalila walau sebenarnya dia sedang tak baik-baik saja.
Pria itu menghela napasnya. Kalila masih juga kaku padanya, masih juga kurang berkomunikasi dengannya, padahal dia sudah berusaha membuka komunikasi sebaik mungkin.
"Ya sudah."
Abit pun memilih mengalah, dia lalu membawa Kalila menuju ruang dokter kandungan tempat mereka akan memeriksa kandungan Kalila. Daripada harus berdebat lama dan membuat dokter menunggu lama.
***
"Janinnya sehat, ini udah usia delapan minggu. Di mana ukurannya udah sebesar kacang merah, sekitar 2,7 sentimeter bentuk tubuhnya juga udah semakin jelas. Untuk gejala yang ibu Kalila jelaskan tadi, perihal perut yang terasa keram, itu hal yang wajar, Bu, di saat hamil dua bulan. Ibu banyak beristirahat dan jangan banyak bergerak."
Penjelasan dokter benar-benar didengar Abit dengan seksama, pria itu bahkan sampai mencatat di ponselnya. Dia terlalu antusias dengan kehamilan Kalila walau Kalila bisa hamil karena kesalahan.
"Kalau sering mual gitu, Dok, gimana? Berbahaya gak? Masalahnya istri saya biar malam pun tetap mual."
Dokter kandungan tersenyum tersenyum kecil, memaklumi Abit yang sangat antusias. Calon ayah seperti Abit pasti ingin yang terbaik untuk istri dan calon anaknya.
"Itu hal yang wajar, Pak. Hidung ibu hamil itu sensitif. Mungkin usia kandungan dua belas sampai enam belas minggu, ibu hamil bisa berhenti mual dan nafsu makannya meningkat. Tidak perlu khawatir."
Abit manggut-manggut, lalu kembali mencatatnya di ponsel. Setelahnya, Abit tersenyum kecil pada dokter kandungan tersebut.
"Makasih, Dok."
"Sama-sama."
"Kalau begitu kami pamit dulu, terima kasih sekali lagi, Dokter."
Abit berdiri, diikuti oleh Kalila yang sejak tadi hanya diam mendengar penjelasan dokter kandungan. Bahkan ketika bersalaman dengan dokter kandungan, Kalila hanya diam sampai mereka keluar dari ruangan Dokter.
"Saya udah gak sabar anak ini secepatnya lahir," ujar Kalila.
Mata gadis itu berbinar, dia tak sabar bukan karena tak sabar ingin melihat anaknya, tapi tak sabar ingin secepatnya lepas dari jeratan ikatan pernikahan. Hal itu jelas membuat Abit menoleh, dia tersenyum kecil melihat Kalila yang terlihat bahagia. Apa Kalila sudah mulai menerima keadaannya yang hamil?
"Syukur kalau gitu."
"Soalnya saya udah muak banget tiap hari muntah-muntah gak jelas. Saya udah gak sabar dia lahir, biar saya bisa mengejar karir saya," ujar Kalila.
Seketika, senyum Abit luntur mendengar perkataan Kalila. Dia kira, Kalila sudah mulai menerima keadaannya sekarang, tetapi semaunya salah, Kalila masih tetap pada pendiriannya, bercerai setelah anak mereka lahir.
"I-iya, semoga anak kita lahir dengan selamat, tanpa kekurangan—"
"Anak Pak Abit, bukan anak saya," ralat Kalila memotong ucapan Abit. Mengoreksi kata anak kita yang Abit sebutkan.
"Ma-maaf," ucap Abit seraya melangkah menyusuri koridor rumah sakit, diikuti oleh Kalila di belakangnya.
Pria itu sadar diri, Kalila mana mungkin mau berubah pikiran, atau mana mungkin Kalila bisa menerima keadaannya sekarang, apalagi mengingat kalau dia diusir dari rumah karena dia hamil di luar nikah.
Abit tersenyum kecut, membayangkan apa yang akan nantinya terjadi setelah anaknya lahir, setelah dia dan Kalila bercerai, setelah anaknya besar. Bahkan dia juga membayangkan anaknya nanti bertanya perihal ibunya. Apa yang akan dijawab Abit? Apakah dia harus jujur pada anaknya bahwa dia lahir karena kesalahan? Bukankah itu nantinya malah membuat anaknya tersakiti?
"Kalau kamu berubah pikiran, tolong beritahu saya secepatnya, Kalila." Abit mendongak
"Hah?"
Kalia menoleh pada Abit, dia bahkan sampai menghentikan langkah kakinya, sementara Abit masih terus melangkah. Pria itu tak sadar kalau Kalila berhenti melangkah. Beberapa detik, Abit sadar akan Kalila yang berhenti melangkah, dia pun ikut menghentikan langkahnya, pria itu menoleh pada Kalila dengan kening yang mengernyit heran. Ada apa dengan istrinya itu?
"Kenapa?"
"Maksud Pak Abit apa? Berubah pikiran? Siapa?"
Abit tak langsung menjawab, tetapi dia menghampiri Kalila yang diam di tempatnya. Tangannya meraih tangan Kalila, kemudian menggenggamnya erat.
"Kalau kamu berubah pikiran untuk cerai dengan saya, secepatnya beritahu saya. Atau kalau kamu ingin terus bersama saya selamanya, beritahu saya. Saya dengan senang hati menerimanya."
Kalila tertawa, kali ini tawanya mengejek Abit yang terlalu banyak berharap padanya.
"Jangan mimpi, Pak. Jangan terlalu berharap, karena itu sama sekali gak akan pernah terjadi," balas Kalila.
***
Aku update aye aye jos🤸🤸
Ada yang kesal sama Kalila?
Untuk part-part sekarang, kalian harus kesal dulu sama Kalila, sebelum lebih kesal lagi 😁
Cung acungin jempol buat yang baru baca KALILA.
Btw, kalian tahu KALILA dari mana nih?
Jangan lupa tinggalkan jejak yah
Bye bye
KAMU SEDANG MEMBACA
KALILA (NOVEL TERSEDIA DI SHOPEE DAN TIKTOK)
RomanceBagi Kalila yang selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya adalah hal yang paling menyebalkan. Di keluarganya, karir lebih penting dibandingkan pernikahan, membuat Kalila harus mengejar karirnya seperti saudari kembarnya yang sudah memili...