Sudah sekitar lima menit, Kalila terus saja memuntahkan isi perutnya. Di samping kanan Kalila ada Mona yang memijat pelan tengkuk Kalila, sedangkan di samping kirinya ada Nisa yang mengelus punggungnya. Namun, hal itu sama sekali tak mempan pada Kalila, dia masih saja memuntahkan cairan berlendir dari mulutnya.
Menurut Kalila, rasanya hamil trimester pertama benar-benar tak mengenakkan, dia terus-terusan muntah saat bangun pagi bahkan sampai tak bisa melakukan apapun karena tak mampu bangun. Rasanya, Kalila hanya ingin tidur sepuasnya, belum lagi rasa pusing di kepalanya membuat Kalila begitu malas untuk bangun.
"Duh, Mama jadi ingat waktu hamil Abit dulu, sering muntah-muntah," ungkap Mona tak sanggup melihat calon menantunya yang terus muntah itu.
"Kalila gak ada mau makan sesuatu? Siapa tahu bisa buat mualnya reda," lanjut Mona.
Kalila yang kini berhenti muntah, langsung menegakkan tubuhnya, napasnya juga tersengal-sengal. Sehabis muntah, tubuh Kalila begitu lemas, dia ingin membaringkan tubuhnya sekarang di ranjang.
"Ke kasur dulu, kamu tiduran," ucap Nisa memapah Kalila untuk ke ranjang, lalu membantu Kalila berbaring saat sudah sampai di ranjang.
Seminggu yang lalu, saat Mona mendapat Kalila di apartemen Abit, dia langsung mengajak Kalila untuk tinggal bersamanya, sementara Abit tinggal di apartemennya dan baru bisa ke rumah saat mereka sudah menikah. Kalaupun Abit mau datang ke rumah ini, dia harus meminta izin lebih dulu pada orang di rumah.
Ketiga perempuan berbeda usia itu kini berada di kamar Kalila, sebenarnya Mona yang mengajak Nisa agar mau membantunya menenangkan Kalila saat sedang muntah. Mona masih sedikit canggung dengan calon menantunya itu, juga segan pada Kalila karena mengingat perlakuan bejat Abit.
"Mama buatkan teh, ya? Biar agak mendingan," ucap Mona.
Jujur saja, Mona tak sanggup melihat Kalila seperti ini, kasihan juga melihat Kalila muntah. Mona memang pernah hamil, tapi selama dia hamil, ada suaminya yang selalu menemaninya di saat sedang mual pagi hari dan selalu menuruti keinginannya. Berbeda dengan Kalila, dia bahkan tak menginginkan anak di kandungannya.
"Gak usah, Tante. Kalila hanya mau tidur aja, kepala Kalila pusing," tolak Kalila.
Sekalipun Kalila membenci Abit, tak seharusnya dia membenci keluarga Abit yang begitu baik padanya, bahkan kakak ipar Abit ini juga selalu menemaninya dua puluh empat jam. Mana mungkin Kalila bisa membenci mereka? Di rumah ini Kalila seperti mendapatkan kehangatan keluarga yang sama sekali tak dia dapatkan, kasih sayang pun Kalila dapatkan. Perhatian dari sosok kakak yang Kalila dambakan dia temukan di diri Nisa dan Bara.
"Atau mau makan yang asam-asam?" tanya Nisa membuat mata Kalila seketika berbinar terang.
"Iya, Lila mau yang asam-asam. Lila mau makan jeruk nipis," jawab Kalila bersemangat.
Ibu hamil itu ingin sekali memakan buah yang paling asam dan pilihannya jatuh pada jeruk nipis. Air liurnya sudah mau menetes membayangkan jeruk nipis masuk di mulutnya dan meletup-letup di dalam. Ah, Kalila benar-benar sudah tak sabar.
"Itu asam banget, loh," balas Nisa membayangkan hal yang berlawanan dengan bayangan Kalila, bahkan ekspresi wajah Nisa menunjukkan kalau dia tak mampu merasakan jeruk nipis mentah-mentah seperti keinginan Kalila.
"Tapi maunya itu doang, emang ibu hamil gak boleh makan itu?" tanya Kalila.
"Ngidam banget, ya?" tanya balik Nisa.
Mona yang mendengar itu tersenyum kecil, dia lalu mengelus lembut rambut Kalila, lalu berkata, "Mama ambilkan di bawah, tapi jangan banyak-banyak, kamu soalnya belum makan nasi dari tadi."
Kalila mengangguk, satu buah pun dia tak masalah, asal bisa memakan jeruk nipis seperti keinginannya. Mona pun meninggalkan Kalila dan Nisa di kamar Kalila, mengambil jeruk nipis keinginan Kalila.
"Kalila, nanti mau honeymoon di mana? Biar Mbak sama Mas Bara langsung pesanin tiketnya hari ini, tapi jangan yang di luar negeri, soalnya bakal lama itu kalau ngurus paspornya."
Kalila mengernyit. Honeymoon? Apa Nisa pikir dia ingin honeymoon dengan Abit setelah besok menikah?
Pertanyaan Nisa membuat Kalila tak suka mendengarnya, lalu dia menjawab, "Sama sekali gak ada rencana honeymoon, Kalila gak cinta pak Abit. Nikah juga karena terpaksa, setelah anak ini lahir, Kalila sama pak Abit pisah dan anak ini hak asuh sepenuhnya ada sama pak Abit. Kalila mau kejar karir biar semua keluarga Kalila mengakui kehebatan Kalila."
Jawaban Kalila itu, membuat Nisa tersadar kalau ada hal yang disembunyikan Kalila dari mereka semua. Namun, Nisa tak berani bertanya lebih pada Kalila, dia tahu diri kalau itu bukanlah urusannya. Hanya saja, Nisa berdoa, semoga tak terjadi hal yang tak diinginkan ke depannya.
***
Mona berdecak kesal melihat kedatangan anaknya itu. Perasaan dia sudah melarang Abit untuk datang sampai akad nikah mereka dilaksanakan. Wanita paruh baya itu rasanya ingin sekali memukul kepala Abit agar mengingat peringatannya pada Abit. Sekalipun alasan Abit karena Kalila hamil, Abit harus ingat kalau di rumah ini bukan hanya Kalila sendiri, tapi ada anggota keluarga lainnya.
"Ngapain kamu ke sini? Kalila aman sama Mama, di sini dia lebih banyak senyum sama ketawa. Kalau ada kamu mukanya malah judes," tutur Mona.
Namanya Abit itu masih sibuk mengupas kulit jeruk nipis untuk Kalila. Tadi, saat masih mengupas jeruk nipis untuk Kalila, Abit tiba-tiba datang ke dapur dan bertanya keberadaan Kalila padanya.
"Mending kamu pulang," usir Mona terang-terangan pada anaknya.
"Ini udah pulang, Ma," balas Abit memelas.
"Pulang ke apartemenmu," omel Mona.
"Abit mau ketemu sama Kalila, ada hal penting yang mau Abit bicarakan dengan Kalila," jelas Abit.
"Apa?" tanya Mona seraya meletakkan pisau dan mengangkat piring berisi tiga buah jeruk nipis yang baru selesai dikupas.
"Nanti, setelah ngomong sama Kalila."
"Jangan lama! Bawain untuk Kalila, dia kayaknya ngidam," kata Mona menyodorkan piring itu pada Abit, membuat Abit tersenyum kecil lalu melangkah meninggalkan mamanya di dapur menuju kamar Kalila.
Baru saja Abit masuk di kamar Kalila setelah dipersilakan, wajah Kalila langsung sinis dan menunjukkan ketidaksukaan pada Abit. Pria itu tersenyum memaklumi, dia sadar kalau Kalila masih sangat membencinya.
"Abit, bukannya mama bilang kamu belum boleh ke rumah?" tanya Nisa terkejut melihat keberadaan Abit.
Nisa dan Kalila pikir, yang tadi mengetuk pintu adalah Mona, tapi ternyata Abit orangnya.
"Nisa, kamu bisa keluar? Aku mau ngomong sama Kalila."
Nisa mengerjap beberapa kali, lalu menganggap pelan, dan meninggalkan Abit serta Kalila di kamar Kalila.
"Kalau ngomong hal yang gak penting, mending Pak Abit keluar, saya mau istirahat," ucap Kalila setelah Nisa keluar dari kamarnya.
"Saya mau minta maaf," ujar Abit.
Kalila memutar bola matanya malas. Meminta maaf lagi? Kata maaf sama sekali tak bisa mengembalikan semuanya seperti semula.
"Maaf karena gak mampu bujuk kakak kamu untuk jadi wali nikah kamu besok," lanjut Abit.
Kalila tertawa kecil mendengarnya. Dia sudah menduga ini, kakaknya pasti tak sudi menjadi wali nikahnya besok. Mana mungkin kakaknya itu mau menjadi wali nikahnya, sementara dia merupakan adik yang hanya bisa menjadi beban di keluarga Nowlan. Kalila harus sadar akan posisinya di keluarga Nowlan, dia sama sekali tak dianggap ada, bahkan mungkin dianggap tak hidup di keluarga Nowlan.
***
Holaaaa ....
Ada yang nungguin KALILA update?
Maaf lama, baru pulang kantor, jadi langsung ngetik cepat-cepat walau kecapean. Ini semua demi kalian.
Jadi, harus tinggalkan jejaknya, spam next kalau perlu, biar aku semangat untuk revisi. Btw, ini spesial part-nya dan masih ada beberapa spesies part lagi.
Bye bye
KAMU SEDANG MEMBACA
KALILA (NOVEL TERSEDIA DI SHOPEE DAN TIKTOK)
Lãng mạnBagi Kalila yang selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya adalah hal yang paling menyebalkan. Di keluarganya, karir lebih penting dibandingkan pernikahan, membuat Kalila harus mengejar karirnya seperti saudari kembarnya yang sudah memili...