Kala pagi telah tiba dan mereka sarapan bersama, Abit langsung duduk di ruang keluarga bersama anggota keluarga intinya, kecuali Bara yang memilih ke kantor daripada harus mendengar penjelasan Abit. Kakaknya Abit itu masih marah besar pada Abit yang sudah menghancurkan masa depan anak orang.
"Cerita sedetail mungkin," perintah papanya membuat Abit menarik napasnya panjang.
Pipinya bengkak, bibirnya juga terasa nyeri saat makan dan berbicara, tapi Abit tetap akan menceritakan semuanya pada keluarganya.
"Maaf, Abit memang brengsek."
Kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulut Abit, memohon maaf sebesar-besarnya pada keluarganya karena telah berbuat salah. Abit menunduk, mencoba mengingat apa semua yang terjadi hari itu, tepat di hari pernikahan kakaknya dan gadis pujaannya.
"Hari itu Abit ke club malam, hanya sekedar menghilangkan penat karena lelah," ungkap Abit.
"Menghilangkan penat karena lelah atau mencoba melampiaskan rasa sakit hatimu?" sindir Zain.
Abit mendengkus kesal mendengarnya, dia masih belum bercerita secara detail tapi papanya sudah menyela dengan cara menyindirnya.
"Salah satunya, Pa. Tapi emang mau menghilangkan penat aja karena seharian sibuk di kampus. Abit waktu itu mabuk berat, sama sekali gak sadar, bangun-bangun sudah ada Kalila di samping, dia nangis. Kami berdua sama-sama gak pakai apa-apa."
"Namanya Kalila?" sela Mona dibalas dengan anggukan kepala dari Abit.
"Tapi dia gak mau Abit tanggung jawab, dia mau aborsi."
Mona dan Nisa menutup mulutnya tak percaya mendengar apa yang dikatakan Abit. Bagaimana bisa ada ibu yang begitu jahat?
"Tapi, Ma, Abit akan berusaha, Abit akan tetap tanggung jawab, Abit akan cegah dia untuk aborsi. Biar bagaimanapun, janin itu gak salah, yang salah Abit."
"Keluar dari rumah ini, Abit. Jangan kembali sebelum perempuan itu mau menikah denganmu," pungkas papanya tiba-tiba dan langsung berlalu, meninggalkan Mona, Abit, serta Nisa di ruang keluarga.
Abit yang mendengar itu, tak dapat berkata apa-apa, dia sadar akan kesalahannya. Pria itu akan berusaha agar Kalila menghentikan niatnya untuk menggugurkan kandungannya, dan mau menikah dengannya. Sekalipun tanpa cinta, ini semua demi anaknya.
***
Setelah dua hari lamanya istirahat di apartemennya, Abit akhirnya masuk juga ke kampus, walau pipinya masih lebam. Semalam mamanya datang untuk mengobati wajahnya. Bersyukur mamanya dulu seorang perawat.
Saat ini, pria itu melihat Kalila dan Indi yang tengah duduk bersama di gazebo dekat gedung dekan dan jajarannya. Dari jarak sekitar lima meter itu, Abit dapat melihat wajah Kalila yang begitu pucat, bahkan Kalila terlihat begitu lemas. Melihat itu, membuat Abit bersyukur karena Kalila masih belum menggugurkan kandungannya. Setidaknya dia memiliki kesempatan untuk membujuk Kalila agar dia bisa bertanggung jawab.
Abit melihat, mulai dari Kalila yang membantu Indi, sampai dengan Kalila yang menyandarkan tubuh pada Indi, semua tak pernah lepas dari penglihatan Abit.
Kemudian Kalila dan Indi sama-sama turun dari gazebo, berjalan bersama. Namun langkah Kalila begitu lemah, wajahnya juga begitu sayu. Mungkin hari ini terasa berat bagi Kalila karena pasti memuntahkan isi perutnya.
Baru juga mereka memasuki koridor gedung fakultas bisnis, tubuh Kalila limbung. Indi yang ada di samping Kalila terkejut, dia langsung menahan tubuh Kalila yang sudah tak sadarkan diri, mereka dikerumuni mahasiswa yang ada di sekitar mereka. Melihat itu, Abit langsung berlarian cepat, menghampiri Kalila juga Indi dengan wajah khawatirnya, memasuki kerumunan mahasiswa melihat juga ada yang mencoba membantu Kalila.
"Biar saya yang bawa Kalila ke rumah sakit," sergah Abit agar yang lainnya berhenti menggendong Kalila.
Abit langsung mengambil alih tubuh Kalila yang tadinya berada di gendongan salah satu mahasiswa yang ada di lokasi kejadian. Pria itu membawa Kalila menuju parkiran khusus dosen, di belakangnya ada Indi yang ikut dengan kedua tangan yang membawa tas Kalila juga barang-barangnya sendiri.
"Pak, saya boleh ikut?" tanya Indi saat mereka sampai di parkiran.
Abit mengangguk cepat, dia tak tahu harus berkata apa, asal anak di kandungan Kalila baik-baik saja.
"Langsung masuk, tolong jaga Kalila di belakang," pinta Abit.
Indi tak berpikir lama, gadis itu langsung masuk dan menerima tubuh Kalila untuk dibaringkan di pahanya. Indi dapat melihat bagaimana khawatirnya Abit, apalagi saat Abit yang terlihat begitu tergesa-gesa membawa Kalila ke parkiran. Indi jadi penasaran, bagaimana reaksi Kalila saat tahu kalau ayah dari anak yang dikandungnya begitu khawatir melihatnya pingsan. Apa Kalila mau menerima Abit untuk bertanggung jawab? Atau tetap pada pendiriannya untuk menggugurkan kandungannya?
Abit yang duduk di kursi kemudian agak linglung, tak tahu harus bagaimana saking khawatirnya, dia bahkan salah menginjak antara pedal rem dan gas, bersyukur tak sampai menabrak.
Kurang lebih lima belas menit mereka di perjalanan, mobil Abit memasuki area parkiran rumah sakit, bahkan parahnya Abit tak mematikan mesin mobilnya, dia langsung berlari ke dalam rumah sakit untuk memanggil petugas rumah sakit untuk membawakan brankar pasien.
Ketika brankar sudah tiba, Abit membuka pintu mobil bagian belakang, menggendong tubuh Kalila bridal style, dan meletakkan Kalila di brankar dengan hati-hati.
"Saya mohon, tolong selamatkan anak yang ada di kandungannya."
Dipikiran Abit, hanyalah anak yang ada di kandungan Kalila. Dia tak ingin menyesal nantinya, tak ingin keluarganya membencinya, dan tak ingin mendapatkan karma nantinya.
***
Abit sejak tadi hanya mondar-mandir di depan ruang IGD, menunggu dokter yang tengah memeriksa Kalila. Dia benar-benar tak bisa tenang, apalagi tadi saat Kalila pingsan, pikirannya benar-benar buntu.
"Pak, bisa tenang sedikit? Kalila pasti baik-baik aja," tegur Indi membuat Abit menghela napasnya.
"Kalila pingsan," kata Abit.
"Saya tahu dan dia pingsan karena hamil."
"Kamu tahu dia hamil?"
"Tahu. Saya juga tahu laki-laki brengsek mana yang udah hancurin masa depan dia, masa depan yang udah dia rancang sebagus mungkin," balas Indi menohok tepat di hati Abit.
"Saya akan tanggung jawab. Sekalipun Kalila gak mau," pungkas Abit kala dia melihat dokter keluar dari ruang IGD.
"Gimana, Dokter? Baik-baik aja, 'kan? Kandungannya gimana?"
Dokter tersebut tersenyum kecil, memaklumi Abit yang terus-menerus bertanya.
"Dehidrasi emang sering terjadi pada ibu hamil, apalagi jika ibu hamil sering sekali memuntahkan isi perutnya. Janin membutuhkan banyak nutrisi yang lebih. Pasien baik-baik saja, saya juga sudah memasangkan infus. Selain itu, saya juga akan memberikan obat pereda mual untuk pasien. Pasien juga boleh keluar hari ini kalau cairan infusnya habis," jelas dokter tersebut membuat Abit menghembuskan napasnya lega.
"Kalau bisa, Pak, istrinya ngidam tolong dituruti. Apa saja, jangan ditahan-tahan asal istrinya masih mau makan. Kalau begitu, saya permisi."
Abit mengangguk pelan, tak lupa juga dia berterima kasih pada dokter tersebut. Setelah dokter pergi, Indi mendelik tajam pada Abit.
"Saya gak tahu kalau pak Abit se-brengsek ini. Menghamili mahasiswi bimbingannya."
"Kamu mending diam, kamu gak tahu apa-apa."
"Kalila udah cerita sama saya. Pak Abit hanya menambah penderitaan Kalila."
***
Akhirnya .... Selesai juga bab ini.
Kalian pada kesal gak sih sama Indi?
Atau kesalnya sama Abit?
Btw, ditunggu updatenya besok yang bikin kalian greget bacanya 🤣🤣🤣
Jangan lupa tinggalkan jejak yah
Kalau perlu spam next.
Bye bye
KAMU SEDANG MEMBACA
KALILA (NOVEL TERSEDIA DI SHOPEE DAN TIKTOK)
RomanceBagi Kalila yang selalu dibanding-bandingkan dengan saudari kembarnya adalah hal yang paling menyebalkan. Di keluarganya, karir lebih penting dibandingkan pernikahan, membuat Kalila harus mengejar karirnya seperti saudari kembarnya yang sudah memili...