Seo Johnny tidak pernah main-main dengan ucapanya.
Hanya dengan menunggu keesokan harinya, pihak sekolah telah memanggil Jeno dengan alasan pemutusan beasiswa. Dengan terpaksa Jeno harus mengganti biaya pendidikannya yang bukan main jumlahnya. Hal yang menjadi mustahil mengingat profesi ayahnya yang sekarang hanya sekedar ojek online.
Bunda di rumah juga sengaja diberi tahu lewat telepon terkait pemutusan beasiswa tersebut. Wajahnya pias dan terlihat sangat sedih hingga memutuskan pergi ke kamar tanpa bicara sepatah kata pun. Jeno yang melihatnya menjadi frustasi. Kehadirannya tak lebih hanya pembawa masalah bagi keluarga.
Disaat-saat seperti ini, satu yang menjadi pilihan Jeno adalah mengasingkan diri. Dimatikan total ponselnya dan segera dia memacu motornya menuju tempat yang lebih tenang. Jalan berkelak-kelok membawanya sampai pada tujuan yang tak jauh dari rumah. Danau favoritnya dengan ayahnya.
Ada kalanya dia harus bersyukur. Dibalik rumitnya hubungan mereka, Johnny masih punya hati agar tidak menggunakan koneksinya —mengeluarkan Jeno dari sekolah. Bagaimana pun hidupnya akan lebih sulit jika nanti statusnya tidak tamat SMA. Kehamilan Jaemin masih tersembunyi. Tidak ada yang tahu kecuali teman terdekatnya. Beruntung mereka semua dapat diandalkan.
Sambil menatap satu foto di tangannya, Jeno mengingat saat-saat berat yang membuat dirinya seakan lelah batin maupun mental. Sebuah foto yang terkesan abstrak namun sangat berarti bagi Jeno karena tak lain adalah darah dagingnya sendiri.
"Anak kita laki-laki Jen." Ucap Jaemin waktu itu di taman belakang sekolah. Lima bulan setelah kehamilannya. "Aku pengen kasih nama dia, Theo."
"Theo?" Jeno bertanya. Tidak biasanya Jaemin memutuskan sendiri tanpa persetujuannya dulu.
"Dia adalah hadiah dari tuhan, aku harap kelak dia bisa tumbuh menjadi setegas Daddy atau sebijaksana Ayah kamu."
"Jadi sama sekali gak ada gen aku?"
"Gen kamu yang mana? Yang pelupa apa yang berantahkan?"
"Yang sayang sama mamanya." Pembicaraan yang diakhiri saling berpelukan antar keduanya.
Dasar Jeno!
Jaemin bahkan sudah memalingkan wajah mendengar gombalan itu. Ada segelintir saat-saat manis mereka walau di depan ada masalah yang lebih besar. Walau mereka sudah berjanji untuk menjalani bersama-sama tapi sama sekali tidak habis pikir kekacauan menjadi lebih besar jika menyangkut dua keluarga utuh.
Tidak akan pernah ragu Jeno akan perasaan Jaeminnya. Bagaimana secarik kertas yang disisipkan di saku jaketnya sebelum Jeno kembali ke rumahnya kemarin.
Tuhan itu baik yah, saat aku minta bunga mawar aku diberi taman yang indah, saat aku minta setetes air, aku diberi lautan. Saat aku minta malaikat aku diberinya kamu....
Psstt... Gak boleh senyum-senyum sendiri. Nanti disangkah orang gila. Cukup aku saja yang gila akan cintamu hehehe.
Aku sayang Jeno.
Dan Jeno pun demikian, sangat menyayangi Jaemin dan calon anak yang dikandungnya. Setiap malam dia selalu memantau bagaimana perkembangan si bayi. Dari dua minggu seukuran stroberry sampai tujuh bulan saat ini. Jeno juga membuatkan beberapa mainan dari tangannya sendiri yang nantinya bisa digantung pada box bayi lewat. Karena sejatinya orang tua akan benar-benar antusias menunggu perkembangan anaknya.
Seperti Ayah dan Bunda lalu, sebelum kekacauan itu terjadi, didengarlah mereka sedang berdebat di ruang makan terkait pemberian hadiah ulang tahun Jeno. Bunda yang berlari membawa majalah sambil menunjukkan ke Ayah.
"Ayah, kita beli ini buat kado ulang tahun Jeno yah?" Dia menunjuk satu tab apple keluaran terbaru. Agak nekat jika dalam keadaan kesulitan seperti ini Bunda masih memikirkan yang terbaik untuk anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TESTPACK (Nomin) REPUBLISH
FanfictionPengaruh buruk dari teman-temannya membuat Jeno dan Jaemin mencoba hal baru dalam gaya berpacaran mereka. CW: missgendering, bxb