8. Chilhood Memories

471 38 2
                                    

Untuk pertama kalinya Jeno membatalkan kunjungan ke perpustakaan kota minggu ini demi memilih melamun di dalam kamarnya. Pikirannya pusing, semalam Jaemin sama sekali tidak menjawab panggilanya. Menonaktifkan ponsel sehingga membuatnya khawatir. Tidak mungkin Jeno langsung datang ke rumahnya. Selama ini Jaemin benar-benar melarangnya karena kebaradaan Jungwoo si pengacau. Tapi melihat Jaemin hilang kabar begini, kemana lagi Jeno akan mencari.

Kemarin Jisung sempat menghubunginya. Bocah itu memang cepat tanggap. Mengerti kondisi labil kakaknya berikut soal kehamilannya. Jeno kira Jisung akan langsung menghabisinya malam itu, diluar dugaan bocah SMP itu justru memberikan kalimat dukungan, bahwa keduanya pasti bisa melaluinya.

Jdukk!!

Suara lemparan bola mengenai jendela kamarnya. Cukup tahu saja Jeno dengan ayahnya yang sebegitu tidak ada kerjaan bermain sepak bola di halaman belakang rumah. Karena tidak ada teman, terpaksa mengganggu Jeno.

"Main yuk, ayah gak ada lawan nih?" Ajak Jaehyun menghampiri Jeno lewat jendela kamarnya.

"Males yah!" Ucap Jeno singkat. Mengambil buku, pura-pura membaca sesuatu.

"Ayo dong, mumpung ayah libur dan gak ada lembur." Paksanya.

"Ayah main sama Bunda sana!"

"Kalau main sama bunda kan jatahnya nanti malam, di kamar?" Cekikikan Jaehyun disambut rotasian mata anaknya.

Jeno benar-benar tidak bisa diganggu. Alih-alih membuka jendela kamar agar menghirup udara segar namun malah mengundang gangguan Sang Ayah.

"Jangan bilang kamu males main sama ayah karena kamu lupa caranya nendang bola?" Pancing Jaehyun.

"Yah...?"

"Came on kid, biasanya kamu yang paling semangat kalau main bola, sudah gak hobby main bola? Mau main berbie saja?"

Sudah cukup! Jeno pun dengan terpaksa keluar dari kandangnya. Dengan memakai kaos putih polos dengan celaran trinning hitam. Begitu pun Ayahnya yang masih memakai pakaian olahraga, bekas jogging tadi pagi. Sekilas tidak ada perbedaan dari perawakan mereka. Jeno yang sekarang tinggi menjulang hampir melebihi Jaehyun. Dibanding Bundanya, Jeno lebih mirip ayahnya berikut hidung bangirnya, atau postur wajahnya yang kadang membuat Bundanya jengkel karena tidak menyumbang gen apapun pada fisik Jeno.

Jaehyun sudah memberinya umpan bola, disambut gerakan cekatan Jeno menggiring ke gawang. Sayangnya tak semuda itu. Jaehyun di umur yang hampir kepala empat ternyata masih aktif bergerak. Barangkali karena sering olahraga dengan mudahnya dia pun menghalau bolanya.

Lagaknya bukan seperti Ayah dan anak lagi,melainkan teman sepermainan yang butuh kesenangan. Belum ada gol yang tercipta, tapi siapapun yang melihat akan merasa setuju bahwa permainan tersebut sangatlah menarik.

"Bagaimana kalau kita buat peraturan. Yang kalah nurutin perintah yang menang?"

"Siapa takut?" Ucap Jeno memandang remeh ayahnya. Sepertinya dia sudah melupakan kebuntuan pikirannya.

"Suruh ajak Jaemin ke rumah yah, kalau Jeno kalah!" Bunda ikut berkomentar dari arah dapur.

"Gak masalah. Kalau ayah yang kalah, Jeno suruh bawah mantan ayah ke rumah."

"Jeno!" Bunda tidak terima.

"Tenang Bun, sudah pasti Ayah yang menang." Ucapan percaya diri dari seorang Jung Jaehyun yang sejatinya mantan kapten di club sepak bolanya dulu.

Pertandingan jadi lebih menarik dengan adanya pertaruhan. Walau tempatnya tidak begitu luas, yakni halaman belakang rumah mereka yang juga ditanami bunga-bunga cantik oleh Doyoung. Berkali-berkali bundanya mengatakan hati-hati agar tidak sampai merusak tamannya, sehingga mereka berinisiatif menjadikan tiang jemuran saja menjadi gawang.

TESTPACK (Nomin) REPUBLISHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang