09. Usaha Vier

890 107 11
                                    


.
.
.
.
.
Malang menjadi kota yang sebenarnya jarang di kunjungi oleh Vier, karena memang kedua orang tuanya tidak pernah mengajaknya kesana, apa lagi setelah Vion di kirim tinggal di rumah eyang.

Vier yang memang duduk di bangku belakang bersama San juga Dimas cuma bisa menatap jalanan yang mereka lewati, sedangkan di bangku tengah ada Hanan, Vion juga Kian, Arka dan Kaivan di depan.

"Kai, lewat tol kan?" Kaivan mengangguk.

"Iya biar gak lama, males aku lek macet." Kian tertawa mendengar gerutuan Kaivan.

"Yon, nanti jadi main ke alun-alun gak?" Vion menggeleng.

"Loh kenapa? Padahal kemarin minta ke sana naik motor." Vion memilih menyandarkan kepalanya pada pundak Kian.

"Males, nanti ada seng ikut tapi maunya bonceng." Jawaban Vion membuat Kian, Arka, Kaivan dan Hanan menahan tawa mereka.

"Ya kalau mau main pakai mobil ae, kayak orang susah ae pake motor." Ucapan ketus Dimas membuat Vion mengepalkan tangannya.

"Kon lek gak isok jogo omongan mu, kon tak turun no nang kene loh Dim, cangkem e kok koyok arek wedok, opo-opo di komentari." Bukan Vion yang membalas ucapan ketus Dimas, tapi Arka. Pemuda itu bahkan membalas lebih ketus.

"Isok meneng gak? Lek gak isok mandek o aku tak mudun." Ucapan dingin Vion langsung membuat mereka semua diam.

"Vion kok serem seh?"
.
.
.
.
.
Vier beberapa kali mencari kesempatan untuk mendekati Vion, tapi adiknya itu selalu saja punya cara untuk menjauh. Bahkan sekalipun Vier sengaja meminta satu kamar dengan Vion, adiknya itu menolak.

"Vier, ayo makan." Vier menatap eyang Asih yang baru saja memanggilnya. Mereka sudah sampai di rumah eyang sejak siang tadi, dan sekarang mereka sedang istirahat, sedangkan Hanan, ikut ke rumah Kaivan.

"Adek udah di ruang makan eyang?" Eyang Asih tersenyum.

"Belum, ini mau eyang panggil. Kamu kesana aja dulu, kasian temen kamu sendirian." Vier mengangguk paham.

Eyang Asih menatap punggung tegap Vier yang perlahan menjauh, punggung itu berbeda dengan punggung Vion yang rapuh namun dipaksa untuk tetap kokoh.

"Vion, eyang masuk ya?" Eyang Asih tersenyum saat menemukan cucu kesayangannya tengah berbaring di kasur nya.

"Ayo makan dulu." Vion segera bangkit dan memeluk tubuh sang eyang.

"Kenapa?" Eyang Asih mengelus kepala Vion pelan.

"Vion mau tinggal disini aja eyang." Eyang Asih tersenyum.

"Loh kenapa? Bukannya dua tahun lalu kamu seneng waktu di minta buat pulang?" Vion menggeleng.

"Vion bosen disana, gak bisa main ke alun-alun sama makan ketan durian."

"Kamu bisa pulang ke rumah eyang ini kapan pun kamu mau le, kan ini juga rumah kamu." Vion mengulas senyum tipis.

"Udah ayo makan dulu, kasian mas sama temen-temen nya kalau nunggu kelamaan." Vion mengangguk, dia mana bisa melawan eyang Asih.

"Vion sayang sama eyang."
.
.
.
.
.
Vier menghela nafas panjang saat tidak bisa menemukan Vion dimana pun, entah kemana adik nya itu pergi. San yang melihat Vier merengut hanya bisa menggeleng maklum, berbeda dengan Dimas yang justru kesal.

"Udah lah Vi, biarin aja Vion main kemana gitu, dia udah gede kok." Vier masih saja cemberut meskipun San mengatakan itu.

"Tapi aku kan pingin main sama Vion San, dia malah main keluar." Dimas berdecak kesal saat mendengar gerutuan Vier.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang