18. Kecelakaan

1.1K 114 10
                                    


.
.
.
.
.
Vier mendiamkan Maria, sejak sang bunda mengusir Vion, pemuda itu langsung memulai aksi diam nya pada sang bunda. Tidak peduli jika sang bunda mengajak nya bicara, yang Vier ingin kan adalah adiknya, Vion kembali ke rumah.

"Vier." Vier tetap melangkah melewati ruang makan meskipun Maria memanggilnya.

"Vier, jangan jadi anak durhaka!" Vier langsung berhenti dan menoleh pada sang bunda.

"Vier gak akan jadi anak durhaka kalau bunda gak ngusir adek kemarin!" Maria menatap nanar pada Vier, tapi tidak ada sedikit pun perasaan sesal pada bersalah karena sudah mengusir salah satu anak nya.

"Vion bukan adek kamu Xavier, dan bunda gak mau dia ada disini." Vier menggelengkan kepalanya tidak percaya, kenapa bunda nya menjadi sangat jahat seperti ini.

"Vier gak percaya bunda bisa ngomong gitu!" Vier kembali melangkah saat Maria mendekatinya.

"Vier."

"Vier mau sekolah, mau ketu adek Vier yang bunda usir kemarin!" Setelah mengatakan itu Vier langsung berlari meninggalkan rumah nya, bertepatan dengan itu dia melihat Hanan yang baru saja keluar dari rumah nya.

Grep

"Hanan!" Hanan sebenarnya cukup terkejut saat tiba-tiba ada yang memeluk tubuhnya dari belakang, tapi begitu tau itu Vier, pemuda tinggi itu langsung berbalik dan membalas pelukan Vier.

"Jangan nangis." Vier menyembunyikan wajahnya di dada Hanan, saat ini Hanan adalah tempat ternyaman nya untuk mengadu.

"Bunda jahat Nan, bunda jahat sama Vion." Hanan mengelus punggung Vier pelan.

"Jangan nangis, Vion ada di rumah Kian. Kemarin aku anterin dia kesana." Vier melepas pelukannya dan menatap lekat pada Hanan.

"Vion baik-baik aja kan?" Hanan tidak berani menjawab tentang hal itu, karena dia sendiri belum mengetahui bagaimana keadaan Vion pagi ini.

"Mau kesekolah kan? Nanti ketemu Vion disana." Vier mengangguk dan menghapus air matanya.

"Kenapa keluarga ku hancur kayak gini ya Nan?"
.
.
.
.
.
Kian menatap sendu pada Vion yang masih terlelap, pemuda itu baru saja bisa tidur setelah adzan subuh.

Kian bahkan memutuskan untuk tidak masuk sekolah dan menitipkan surat ijin nya pada Kaivan agar bisa menjaga Vion, sahabatnya itu tengah tidak baik-baik saja saat ini.

"Yon, jangan di pendem sendiri ya, nanti ceritain ke kita. Kita ada disini buat dengerin semua cerita kamu kok." Kian mengelus kepala Vion, menghela nafas lega saat suhu tubuh sahabatnya itu sudah kembali normal.

Semalam Vion sempat demam tinggi, pemuda itu bahkan mengigau dan membuat ketiga sahabatnya khawatir.

"Eungh.." Kian kembali mengelus kepala Vion saat mendengar lenguhan dari sahabatnya itu.

"Vion." Mata yang sejak semalam terpejam itu akhirnya terbuka, menampilkan manik hitam yang terlihat sayu.

"Kian." Kian tersenyum tipis saat mendengar gumaman Vion.

"Iya, apa yang kamu rasain sekarang?" Vion mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya kembali menatap ke arah sahabatnya.

"Pusing, sakit." Kian hanya mengangguk, dia sangat hafal dengan keluhan Vion saat sakit.

"Sarapan dulu ya, habis itu minum obat." Vion menggeleng kecil.

"Gak laper." Kian menghela nafas panjang.

"Harus maem Yon, nanti katanya kon mau pergi sama Hanan ke tempat papa e, masa kon gak maem. Nanti kalau kon malah di infus piye? Mau?" Vion kembali menggeleng.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang