17. Dibuang lagi

938 116 12
                                    


.
.
.
.
.
Liburan mereka sudah hampir berakhir, bahkan Vion sudah mengajak mereka semua pulang. Namun kepulangan mereka kali ini di sambut oleh Bumi dan Maria yang lagi-lagi meminta Vier memilih untuk tinggal bersama salah satu dari mereka.

"Vier." Vier menggeleng pelan.

"Kenapa Vier harus milih bun? Vier cuma pingin tinggal sama ayah sama bunda." Maria mendekati Vier dan memeluknya.

"Maafkan ayah sama bunda nak, tapi ayah sama bunda memang harus berpisah." Vier menggigit bibir bawahnya.

"Kalau gitu Vier mau tinggal disini sama bunda. Maaf ayah, maafin pilihan Vier." Bumi tersenyum dan menggeleng.

"Gak papa nak, nanti kamu bisa main-main ke apartemen ayah ya." Vier hanya mengangguk kecil.

"Vier sehat-sehat disini, jangan mikirin soal apapun karena semua kebutuhan kamu masih ayah yang penuhi." Vier hanya mengangguk kecil.

"Iya yah, tapi kenapa ayah gak tinggal sama Vion aja? Adek bisa nemenin ayah disana." Bumi seketika menggeleng.

"Gak bisa Vier, ayah cuma mau tinggal sama kamu, jadi kalau kamu milih tinggal sama bunda, ayah akan tinggal sendiri." Memang ini bukan pertama kalinya dia mendengar tentang ayah atau bunda nya yang tidak ingin Vion ada di sisi mereka, tapi rasanya kali ini jauh lebih menyakitkan.

"Minggu depan proses perceraian ayah sama bunda akan selesai, jadi mulai besok ayah akan tinggal di apartemen." Vier hanya bisa mengangguk, ingin menahan pun rasanya percuma.

"Hari ini Vier mau ayah dirumah, gak usah kemana-mana." Bumi mengangguk dan mengacak rambut hitam Vier.

Ketiganya bahkan tidak menyadari jika sedari tadi Vion berdiri di anak tangga dan mendengar semua percakapan mereka.

Vion kembali membawa langkahnya ke kamar, membatalkan niatnya untuk mengambil minum di dapur.

"Aku di tinggal lagi ya? Apa aku harus beresin barang-barang ku juga?" Vion menatap sekeliling kamarnya, tidak ada yang spesial bahkan terkesan kosong. Karena nyatanya Vion memang tidak memiliki banyak barang.

"Itu lebih bagus Yon, siapa tau besok bunda bakal minta kamu pergi kayak sebelumnya."
.
.
.
.
.
Vion hanya menatap datar pada keluarganya yang tengah duduk di meja makan, mereka terlihat sangat bahagia.

"Vion, sini ikut makan." Vion mendengus dan kembali melangkahkan kakinya ke arah pintu utama.

"Udah lah Vier, gak usah ajak dia makan disini. Ayah sama bunda cuma mau makan sama kamu aja." Vier mengernyit tidak suka saat mendengar ucapan ibunya itu.

"Vion itu adek Vier bun, saudara kembar Vier." Maria mengalihkan pandangannya saat Vier mengatakan itu.

"Vier, udah ayo makan. Katanya habis ini mau nonton film sama ayah." Vier akhirnya hanya menghela nafas kesal, karena lagi-lagi dia tidak bisa makan malam dengan adiknya.

Sedangkan disisi lain, Vion berjalan menjauh dari rumah. Dadanya terasa sakit setiap kali mendengar ucapan ayah dan bundanya, tapi kali ini jauh lebih sakit.

"Kenapa sakit?" Vion menyentuh dadanya pelan, kali ini dia tau rasa sakitnya bukan karena ucapan kedua orang tuanya, rasa sakitnya terasa sangat nyata.

"Aku kenapa?" Jujur aaja Vion merasa sangat tidak nyaman di dadanya saat ini.

Vion berdiri mematung di pinggir jalan, beruntung jalanan di sekitar kompleknya itu sepi jika tidak mungkin pemuda itu sudah di tegur oleh banyak orang.

"Vion!" Vion berjengkit kaget saat mendengar suara memanggil namanya.

Vion jelas merasakan denyutan menyakitkan di dadanya hingga membuat pemuda itu menekan dadanya sambil meringis kesakitan.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang