24. Di tampar kenyataan

1.4K 119 15
                                    


.
.
.
.
.
Arka menggenggam amplop yang baru saja dia terima, isi dari amplop itu adalah hal yang sangat ingin diketahui Vion beberapa waktu terakhir.

Arka baru bisa mendapatkan hasilnya hari ini, tapi Arka rasa semua itu sia-sia. Sahabatnya tidak akan bisa memekik bahagia atau bahkan mengulas senyum lega.

Vion nya sudah pergi, sahabatnya itu memilih menyerah sebelum mengetahui semua kebenarannya.

Dua minggu yang lalu adalah hari yang paling menyedihkan untuk mereka semua, bagaimana mereka mendengar langsung dari mulut sang dokter jika sahabat kesayangan mereka itu sudah pergi.

"Kamu pergi bahkan sebelum tau semua nya Yon, aku marah. Kon gak pamit sama kita, tapi aku janji bakal buat dua bajingan itu nyesel udah ngebuang anak kayak kamu." Arka kembali mengepalkan tangannya sebelum memutuskan keluar dari kamarnya.

"Arka mau kemana?!" Kaivan jelas panik melihat Arka keluar dari rumah dengan wajah datar. Sejak dua minggu lalu baik Arka tau Kian sama sekali tidak mau keluar dari rumah, bahkan kedua nya mengurung diri di kamar setelah mengantar Vion ke rumah baru nya.

"Kai, kenapa?" Kaivan berdecak dan langsung menyusul Arka yang baru saja akan masuk kedalam mobil, mengabaikan pertanyaan Kian.

Sret

"Kamu kemana kon?" Arka menatap lurus pada Kaivan yang menahan tangannya.

"Ke tempat orang tuanya Vion." Kaivan mendelik tidak percaya pada Arka, begitu juga Kian.

"Mau ngapain kesana?" Arka menatap pada Kian, pemuda itu melembutkan ekspresi wajahnya saat melihat wajah sendu Kian.

"Mau nepatin janji ku ke Vion, kalau mau tau ikut aja." Kian menatap lekat pada Arka dan mengangguk, begitu juga Kaivan yang melepaskan tangan nya dari tangan Arka.

"Tolong jangan macem-macem Ka, Vion gak bakal suka liat nya." Arka hanya berdehem saat Kaivan mengatakan itu.

"Biar aku yang nyetir, kamu duduk anteng sama Kian aja." Arka mengalah dan membiarkan Kaivan yang menyetir mobilnya.

Kaivan meminta Kian untuk menghubungi Hanan, namun pemuda itu tidak mengangkat panggilannya.

"San bilang Hanan lagi di rumah Vier, mereka ada disana. Vier ngamuk." Kaivan menghela nafas panjang, dia tau jika Vier pasti akan mengamuk saat tau semuanya, terutama karena kedua orang tuanya tidak memberitahukan semuanya pada Vier.

"Vier bakal lebih ngamuk lagi kalau tau apa yang buat adek nya pergi."

Arka dan Kaivan melirik ke arah Kian yang mengepalkan tangannya. Mereka tau jika pemuda itu marah, bukan hanya pada kedua orang tua Vion, tapi juga pada Vier. Namun mereka tau Kian tidak akan menyalahkan Vier atas perginya Vion, karena kembaran sahabat mereka itu tidak tau apapun. Sepenuhnya kesalahan adalah milik Bumi dan Maria.
.
.
.
.
.
Hanan mendekap Vier erat, tatapan matanya lekat pada sosok sepupunya yang baru saja datang bersama Kian dan Arka. Jangan lupakan jika di rumah itu ada Maria dan juga Bumi.

Kedua orang itu tidak akan mau meninggalkan Vier yang baru saja pulang ke rumah, meskipun nyatanya mereka sudah berpisah.

"Apa yang mau kalian sampaikan?" Maria menatap ke arah sahabat-sahabat Vion acuh.

"Kami kemari hanya ingin menepati jani kami pada Vion." Vier menyembunyikan wajahnya di pundak Hanan saat mendengar nama Vion kembali disebut. Air mata pemuda itu kembali mengalir, dia baru saja mengetahui kepergian adiknya seminggu lalu.

"Ck, anak itu sudah mati, lalu buat apa kalian menepati janji padanya." Ucapan Bumi mampu membuat para pemuda itu mengepalkan tangannya, bahkan Dimas pun kesal dengan ucapan Bumi.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang