.
.
.
.
.
Vion terpaksa pulang ke rumah sebelum subuh, karena jika tidak maka dia akan kembali dimarahi oleh sang bunda.Lagi pula pagi ini eyang Asih akan pulang, jadi tidak ada salah nya ada di rumah pagi hari.
Vion tau jika belum ada yang bangun, karena lampu rumah mereka masih menyala. Vion juga langsung menuju ke kamarnya begitu masuk.
Cklek
"Kamu dari mana aja Yon?" Vion terkejut saat melihat San ada di kamar nya, sepertinya pemuda itu tidur di kamar nya semalam.
"Dari rumah Kaivan." San beranjak dan menarik tangan Vion lembut, pemuda itu memaksa Vion untuk duduk di kasur nya.
"Sorry aku lancang masuk terus tidur di kamar mu semalem." Vion hanya mengangguk, dia sebenarnya sama sekali tidak keberatan jika San tidur di kamar nya.
"Udah di obati?" Vion kembali mengangguk.
"Udah sama Hanan." San menghela nafas lega saat mendengar jawaban Vion.
"Yon sorry ya, tapi apa itu alasan kenapa kon selalu jaga jarak sama Vier?" Vion menatap lekat pada San, tidak ada tatapan menghakimi dari pemuda dihadapannya itu. Vion juga tidak merasa terintimidasi oleh tatapan San.
"Hm."
"Vier gak tau sama sekali soal itu?" Vion lagi-lagi menangguk.
"Sorry ya, aku wakilin Dimas buat minta maaf ke kamu. Kalau aja Dimas gak maksa ngajak Vier main air, dia gak bakal sakit dan kon gak bakal di hajar kayak gitu." Vion tersenyum tipis saat mendengar ucapan San, namun San melihat itu sebagai senyum sendu.
"Gak usah minta maaf, gak papa udah biasa."
.
.
.
.
.
Eyang Asih sedikit terkejut saat melihat putra dan menantunya ada di rumah, yang ada di pikiran beliau hanya Vion saat ini."Tumben kalian ke sini?" Eyang Asih tau jelas jika Bumi, putra tunggal nya itu tidak akan ke malang jika tidak dalam keadaan emosi.
"Kami mau liat keadaan Vier buk." Eyang Asih hanya mengangguk, meskipun beliau sebenarnya ingin memarahi anak dan menantunya tapi tidak bisa sekarang karena ada teman-teman cucu nya disana.
"Oh iya, Vion eyang bisa minta tolong?" Vion yang memang sedari tadi hanya diam saja akhirnya mengangguk.
"Iya eyang."
"Tolong ke tempat nya Kian, bilang ke mas Bagus kalau eyang minta di kirim air sama gas." Vion mengangguk tanpa bertanya lagi. Pemuda itu bahkan bergegas pergi keluar.
"Ibuk, nanti Bumi sama Maria mau ngomong sama ibuk sama Vier juga."eyang Asih mengangguk sebelum beralih meninggalkan ruang tamu.
San dan Dimas jelas tau jika apa yang ingin di bicarakan Bumi adalah hal yang pribadi. Itulah kenapa San mengajak Dimas untuk diam di gazebo belakang, tempat favorite Vion.
"Ibuk, Vier, ada yang mau Bumi sampaikan ke kalian." Eyang Asih menatap Vier yang tengah kebingungan.
"Ayah sama bunda mau ngomong apa? Kok kayaknya serius amat." Maria tersenyum sendu pada Vier yang baru saja bertanya.
"Ibuk maaf sebelumnya kalau selama ini Maria belum bisa jadi menantu yang baik buat ibuk." Eyang Asih mengernyit saat mendengar kalimat lirih Maria, sejak Bumi membawa Maria sebagai calon menantunya, perempuan itu jarang mengucap maaf.
"Ada apa sebenarnya?" Bumi menatap lekat pada Vier juga ibu nya bergantian.
"Vier maafin ayah sama bunda ya, tapi ayah sama bunda audah mutusin buat berpisah."
Deg
Terkejut?
Tentu saja, memang siapa yang tidak akan terkejut saat mendengar kabar seperti itu secara tiba-tiba. Bahkan Vion yang baru saja pulang pun mematung di balik pintu.
"Apa maksud kalian?"
"Ayah sama bunda mau pisah? Tapi kenapa?" Bumi dan Maria menatap Vier sendu.
"Maafin bunda ya nak, bunda sama ayah sudah gak bisa hidup bersama. Terlalu banyak hal yang menjadi penyebab pertengkaran kami selama ini." Vier menggeleng tidak percaya, selama ini dia melihat jika orang tuanya selalu rukun dan hamonis.
"Apa kalian yakin? Pikirkan lagi soal anak-anak kalian." Bumi tersenyum sendu.
"Kami yakin buk, dari pada setiap hari kami selalu cekcok dan bertengkar. Soal Vier, itu adalah alasan kami, kami ingin menyakan hal itu pada Vier." Eyang Asih menatap Bumi tidak percaya, karena sejak tadi yang di sebut oleh Bumi dan Maria hanya Vier.
"Vier mau ikut ayah atau bunda?" Vier menggeleng.
"Vier gak mau kalian pisah! Vier mau nya tinggal sama kalian bukan salah satu dari kalian!" Bumi dan Maria sudah menduga jika Vier tidak akan menerima hal itu dengan mudah.
"Vier, tinggal menunggu waktu saat keputusan di buat nak, dan kamu harus memilih. Ikut bunda atau ayah?" Vier tetap menggeleng.
"Kenapa yang di tanya cuma Vier? Kenapa adek gak ditanya juga?" Bumi menggeleng.
"Dia akan tinggal sendiri atau dengan eyang. Tapi kami butuh kamu nak." Maria berucap enteng, seolah Vion memang tidak pernah di harapkan.
"Ayah harap kamu bisa tinggal sama ayah Vi, kita akan tinggal di apartemen baru ayah."
"Bunda juga berharap jika kamu mau tinggal sama bunda nak, bunda butuh kamu." Vier hanya diam dan tidak menjawab apapun, pikiran nya terlalu kacau saat ini.
Sedangkan di luar Vion hanya bisa mengepalkan tangannya erat, jantung nya berdetak cukup kencang hingga membuat pemuda itu sedikit meringis kesakitan.
Lagi-lagi dia mendengar jika orang tua nya lebih memilih Vier di banding dirinya, bahkan mereka mengatakan dengan sangat ringan.
"Kayaknya aku bakal di tinggal lagi."
.
.
.
.
.
Vion bersikap seolah tidak tau apa-apa, padahal jelas dia mendengar semuanya. Orang tuanya bahkan langsung pamit pulang setelah membahas itu."Eyang, kenapa?" Eyang Asih hanya tersenyum dan mengusap pundak Vion.
"Vion, nanti setelah lulus tinggal lagi disini sama eyang ya." Vion langsung mengangguk, karena dia tau jika dia tidak akan mempunyai rumah selain eyang Asih.
"Iya, nanti Vion kuliah di malang aja eyang." Eyang Asih tersenyum lirih.
"Kalau gitu Vion ke belakang ya eyang, mau kasih makan ikan." Eyang Asih mengangguk dan membiarkan Vion pergi ke halaman belakang.
Vion sedikit terkejut saat melihat San dan Dimas tengah duduk di gazebo sambil memainkan ponsel mereka, Vion kira kedua orang itu akan ke tempat Kaivan dan Hanan.
"Udah balik Yon?" Vion hanya mengangguk saat San bertanya.
"Dek." Vion menoleh saat mendengar suara lirih Vier.
"Apa?"
Grep
Bukannya menjawab Vier justru memeluk tubuh Vion dengan erat, jangan lupakan isak tangis yang yang terdengar dari pemuda jangkung itu.
"Loh Vi, kon kenapa?" Dimas dan San jelas terkejut dan panik saat mendengar tangisan Vier, apa lagi Vion yang menggeleng.
"Vier, kon kenapa? Vion bikin kon nangis lagi ya?!" Dimas tanpa sadar menaikan suaranya dan itu membuat San kesal.
Plak
"Bisa diem gak? Gak semua yang bikin Vier sedih itu berhubungan sama Vion!" Dimas langsung diam saat San memarahi nya.
"Vier, ada apa toh? Vion juga bingung itu." Vier hanya menggeleng dan itu membuat Vion mau tidak mau ikut membalas pelukan Vier.
"Gak usah nangis, aku benci liat orang nangis. Soalnya aku gak ngerti caranya ngebujuk orang nangis."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Adakah yang kesel di chapter ini?
Kesel sama Bumi atau kesel sama omongan pedesnya Dimas?
Enaknya gimana ya?Selamat membaca dan semoga suka...
See ya...
–Moon–
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Fanfiction"Sejak kecil, aku selalu melihat hal yang berbeda. Apa yang ada pada ku atau pada mas itu juga berbeda. Aku ada tapi tidak terlihat, mau seberapa sering dan seberapa parahnya aku terluka, ayah dan bunda tidak akan pernah peduli. Mereka hanya akan pa...