21. Aku anak siapa?

971 118 8
                                    


.
.
.
.
.
Vion benar-benar tidak mau menemui Vier, dan ketiga sahabatnya juga Hanan tidak bisa memaksa. Semua itu hak Vion, terlebih Vion sangat takut bertemu ayahnya.

Dimas sudah mengucap maaf pada Vion dua hari lalu, ya meskipun dia harus rela di pukul beberapa kali oleh Kian. Yang penting dia mendapat maaf dari Vion.

Hari itu, Hanan menarik Dimas untuk masuk dan melihat keadaan Vion saat di obati oleh Kian. Dan disana Dimas sama sekali tidak bisa percaya, jika punggung Vion terluka sangat banyak, dan itu karena perbuatan Bumi.

Vion sendiri hanya berani menanyakan kabar Vier pada Hanan, dia masih belum berani menemui Bumi. Apa lagi beberapa hari ini dadanya lebih sering sakit.

"Vion." Vion yang sedang berdiam di kelas langsung menoleh, dia menemukan Kaivan berjalan ke arahnya.

"Kenapa gak ke kantin?" Vion hanya menggeleng dan merebahkan kepalanya di atas meja.

"Males jalan." Jawaban yang sudah Kaivan kira. Sahabat mungilnya itu pasti sedang malas.

"Ya udah, ini makan dulu, habis itu minum obatnya." Kaivan memutuskan duduk di bangku Kian setelah menyerahkan sebungkus nasi goreng pada Vion.

"Makasih Kai." Vion tersenyum tipis dan mulai memakan nasi goreng nya.

"Vier udah boleh pulang, jadi kon gak usah khawatir lagi." Vion berhenti mengunyah dan menatap Kaivan lekat.

"Syukur deh kalau mas udah boleh pulang." Kaivan mengusak rambut Vion pelan.

"Kaivan, berantakan rambut ku!" Kaivan hanya tertawa mendengar gerutuan Vion.

"Xavion!" Beruntung Kaivan sigap menutup telinga Vion dengan tangannya, jika tidak Vion pasti terkejut saat mendengar suara nyaring Kian.

"Jangan teriak Yan, kon iki lupa opo piye?" Kian menggaruk lehernya canggung dan mengucap maaf pada Vion.

"Sorry sorry, lali." Vion menggelengkan kepalanya melihat tingkah Kian.

"Ada apa Yan?" Kian hanya menggeleng.

"Gak papa, manggil tok." Kaivan yang kesal mendengar jawaban Kian ingin sekali memukul kepala sahabatnya itu.

"Udah habisin Yon, terus obatnya diminum."
.
.
.
.
.
Kalau boleh jujur sebenernya Vion juga ingin bertemu dengan Vier, tapi sayang dia tidak seberani itu untuk bertemu dengan orang tua nya.

Meskipun ayah dan bunda nya sudah berpisah, jika untuk Vier sudah pasti mereka akan selalu ada, dan Vion yakin jika mereka akan selalu ada di sisi Vier.

"Hah." Vion menghela nafas panjang, saat ini pemuda mungil itu sedang ada di kantin, menunggu Kian dan Kaivan yang sedang ada ekskul basket, juga Arka yang masih ada urusan dengan osis.

Brak

"Xavion!"

Deg

Deg

"Ugh." San yang melihat Vion berjingkat kaget langsung panik, terutama saat mendengar lenguhan pelan dari pemuda dihadapannya itu.

"Yon, kon gak papa kan?" Vion terpaksa mengangkat kepalanya dan menatap pada San yang berdiri bersama Dimas.

"Apa?" San mengernyit saat menemukan wajah pucat Vion.

"Kon sakit ta?" Vion menggeleng.

"Gak usah ngagetin." San tertawa kikuk, dia merasa bersalah saat mendapat tatapan tajam dari Vion.

"Kenapa belum pulang Yon?" San memutuskan duduk di hadapan Vion saat mengatakan itu. Dia dan Dimas sedang menunggu pesanan batagornya.

"Nunggu Kian." San mengangguk paham.

"Yon, Vier udah pulang dari rumah sakit." Vion beralih menatap Dimas, memang sejak Dimas meminta maaf tempo hari, pemuda itu tidak lagi berucap ketus dan kasar pada Vion.

"Iya udah tau." Dimas melirik San setelah mendapat jawaban acuh dari Vion.

"Kita nanti mau ke rumah, kon mau nitip sesuatu buat Vier ta?" Vion terdiam sejenak sebelum mengambil sesuatu dari saku celananya.

Srek

"Tolong balikin ke Vier, bilang aja aku gak mau pake." San menatap lekat pada sebuah jam tangan yang baru saja di letakan Vion di atas meja kantin.

"Yon–" Vion menggeleng.

"Aku gak bisa pake itu, jadi tolong balikin. Lagian aku gak suka pake jam tangan." San menghela nafas panjang.

"Ya udah nanti tak balikin dan tak sampein pesen mu ke Vier."
.
.
.
.
.
"Vion bener-bener gak mau ketemu aku yo?" San, Dimas dan Hanan menghela nafas panjang saat Vier menatap nanar pada jam tangan yang baru saja di kembalikan San padanya.

"Mungkin Vion butuh waktu Vi, makanya cepet sembuh biar bisa ketemu Vion di sekolah." Vier meremas selimutnya, dia merindukan Vion, tapi kenapa rasanya sulit sekali untuk bertemu dengan adiknya itu.

"Aku kangen Vion Nan, aku cuma mau mastiin dia baik-baik aja." Hanan tidak lagi terkejut mendengar ucapan Vier.

"Vion baik-baik aja kok." Vier menggeleng pelan.

"Aku yakin adek ku gak lagi baik-baik aja San! Aku ngerasain itu, khawatir dan takut. Aku gak akan bisa tenang sebelum liat sendiri Vion baik-baik aja." San, Dimas dan Hanan tidak bisa lagi mendebat Vier jika seperti ini.

"Makanya istirahat, nurut sama tante Maria. Kalau kon sembuh kan bisa cepet sekolah, nanti kok bisa ketemu Vion." Vier hanya mengangguk kecil saat Dimas mengatakan itu.

"Minggu depan aku baru boleh sekolah sama bunda, masih lama!"

Saat Vier sedang merajuk karena tidak bisa bertemu Vion, sosok yang menjadi pembicaraan justru tengah berbaring malas di ranjang nya. Tentu saja dengan di temani oleh Arka, sedangkan Kian dan Kaivan belum juga pulang.

"Yon, aku dapet pesan dari San kalau Vier terus ngerengek mau ketemu kamu." Arka menatap ke arah Vion yang hanya diam.

"Aku gak mau, nanti kalau ayah tau aku di pukul lagi." Arka mengelus punggung Vion saat sahabatnya itu merubah posisi.

"Kalau di sekolah kan gak akan tau ayah kalian." Vion tetap menggeleng.

"Aku takut Ka, tubuh ku udah gak sekuat dulu, kalau aku di pukul dan kena dada atau punggung aku bisa langsung mati. Aku masih mau ngeliat bunda, ayah, mas Vier, eyang Asih, sama kalian, aku takut." Arka tidak lagi bisa membujuk Vion jika seperti ini.

"Iya iya, udah gak usah di pikir lagi." Vion tiba-tiba saja berbalik dan memeluk Arka, menyembunyikan wajah nya pada pundak sang sahabat.

"Kenapa Yon?" Arka spontan mengelus kepala Vion pelan.

"Bunda bilang kalau aku bukan anak nya, ayah juga bilang gitu Ka, terus aku anak siapa?" Arka tertegun, dia baru tau tentang ini. Tapi bagaimana mungkin orang tua mengatakan hal itu pada anak nya.

"Apa aku bener-bener bukan anak mereka ya Ka? Aku bukan kembaran nya mas Vier? Pantes aja aku beda sama mas Vier, makanya ayah sama bunda benci sama aku." Arka mendekap tubuh Vion saat suara pemuda itu memelan, Arka sama sekali tidak menanggapi ucapan Vion. Bagaimana pun itu sudah menjadi kebiasaan Vion saat mengantuk, merancaukan apa yang dia rasakan atau pikirkan.

"Aku bakal cari tau soal itu Yon, asal kon gak nyerah sekarang."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Hai...
Double up nih...
Udah kesel?
Atau mewek dikit?
Masih ada beberapa chapter sebelum end nih...
Jadi kemungkinan minggu depan udah end...

Selamat membaca dan semoga suka...

See ya...

–Moon–

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang