Dreeblissa
Kendaraan Jeka tiba di depan fakultas di mana Lily akan melaporkan diri sebagai mahasiswa baru. Gadis berkacamata itu tampak memerhatikan keadaan di luar sebentar dan hal itu disadari oleh Jeka.
"Kenapa? Nggak bisa buka pintunya lagi?"
Lily menoleh sembari menggeleng. "Bukan itu. Kamu yakin ini fakultas Pendidikan?"
Jeka memutar bola matanya. "Buset dah. Gue kuliah di sini udah dua tahun. Lo anak kemarin sore ya, Ly. Ini gedung Pendidikan sebelahan sama fakultas gue." Jeka menunjuk pada gedung merah yang bersebelahan dengan fakultas Lily.
Lily mengikuti arah pandangan Jeka dan mengangguk paham. "Makasih," ucapnya dan hendak keluar dari mobil, tapi suara Jeka sejenak menahannya.
"Lo yakin, Ly, keluar dengan model kayak begitu?"
Lily memutar pandangannya dan menatap Jeka dengan heran. Apa pemuda ini baru saja menunjukkan perhatian padanya? Maksudnya, bukankah hari pertama dia datang ke apartemen Jeka, pemuda itu terdengar selalu mengejeknya karena penampilannya? Tapi, apa yang dia dengar sekarang?
"Memangnya kenapa? Nggak ada yang salah kok. Kan aku cuma cewek kampung," kata Lily.
Kalimat terakhir itu seperti menampar Jeka. Panggilan itu adalah panggilan yang dia sematkan pada Lily selama ini. "Ya, gue emang sering ngejek lo sih soal penampilan lo, tapi itu karena gue dan ya yang ngatain lo cewek kampung cuma gue. Gue ... gue ..."
Lily menunggu kalimat sempurna dari belah bibir Jeka.
"... gue nggak suka kalo ada orang lain yang bakal ngehina lo karena penampilan lo yang kayak gini. Dan lo nggak tau cewek cowok di sini banyak kelakuannya kayak setan."
"Kayak kamu?" Lily dengan cepat menimpali setelah ucapan Jeka.
Jeka mendesis. "Ya, nggak gitu."
Lily terkekeh pelan dan menarik atensi Jeka untuk kembali menatapnya. Yang dikatakan Jeka itu benar. Mungkin Jeka terkesan tidak sopan, dan kejam dengan tutur katanya, tapi sungguh Jeka tidak senang jika tutur hina dia dengar dari orang lain pada Lily. Bahkan Kayla yang sempat merendahkan Lily pagi tadi sempat membuat Jeka jengkel dan memintanya untuk pulang dengan cara yang halus.
"Santai aja, aku udah biasa kok." Lily berkata dengan senyum di ujung bibirnya. "Oh ya, kalo aku mau pulang gimana?"
Jeka hampir lupa menunjukkan jalan pulang untuk Lily. Tapi, sungguh pengalamannya di hari pertama kuliah di kampus ini sempat membuatnya kesulitan mencari jalan keluar dari area kampus. Dia tak ingin membayangkan hal itu terjadi pada gadis cupu ini, walau dia menyadari bahwa di setiap depan gedung fakultas disediakan peta lokasi dan area kampus, tapi tetap saja ... Lily ini berasal dari kampung, membaca peta mungkin saja buta.
"Kasih aja nomor lo," ucap Jeka sembari menyodorkan ponselnya pada Lily. "Kalo udah selesai telfon gue, nanti gue tungguin."
"Ha? Nggak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Aku cuma butuh kamu nunjukkin jalan keluarnya saja."
"Ribet. Mending kasih nomor lo, kalo lo udah selesai dan gue masih ada kelas, gue bisa nyuruh ojol anterin lo balik. Lagian dari fakultas lo ke gerbang utama jauh. Dan lo belum punya kartu mahasiswa buat naik bus kampus."
Lily menarik sedikit senyumnya. Di balik sikap Jeka yang dingin dan tutur kata yang terkadang menyebalkan dan menyakitkan, tapi pemuda ini terlihat masih peduli dengannya. Jeka tidak benar-benar mengabaikan kehadiran Lily.
"Nggak usah mikir macem-macem lo," tukas Jeka seakan tau apa arti dari senyum di wajah Lily. "Nyokap bilang harus anggap lo kayak adek."
Wajah Lily sedikit memerah. Apa senyumnya tadi berlebihan?
Lily lalu mengambil ponsel Jeka dan mengetik nomornya. Setelah itu dia langsung turun dari mobil Jeka.
Tali tas punggung ungu yang dipikulnya digenggam erat oleh Lily. Demi Tuhan saat keluar dari mobil Jeka sontak saja semua pandangan mata setiap mahasiswa yang ada di sana tertuju padanya. Lily sudah menebak hal ini akan terjadi, tapi dia mencoba untuk tidak peduli. Sialan, ternyata lebih buruk daripada saat dirinya masih di kampung.
Ketika di kampung, mungkin yang didapati Lily hanya bisikan-bisikan tentangnya dan itu pun tak banyak. Tapi, hari ini, di kampus ini semua mata tertuju padanya, dan semua ungkapan merendahkan, suara tawa padanya dia dapati. Benar kata Jeka, penghuni kampus ini baik cowok pun cewek sudah seperti setan.
Tapi, Lily tidak peduli. Dia terus melangkah menuju loket akademik. Tapi, belum juga sampai di tempat yang dituju, ransel Lily ditarik oleh seseorang yang membuatnya refleks berbalik.
"Lo siapa?" Seorang perempuan berpenampilan menawan nan cantik ada di hadapan Lily kini. Lily tak ingin mendeskripsikan seperti apa perempuan ini, karena sebenarnya gaya perempuan ini hampir sama dengan mahasiswi lainnya. Apa celana dan baju itu sedang tren? Demi apa pun mereka semua terlihat sama.
Lily diam dan memandang bingung dari balik kacamata tebalnya.
"Lo siapanya Jeka?" Suara perempuan itu meninggi. "Gue liat ya lo turun dari mobil Jeka."
Oh wow. Apa ini salah satu kekasih Jeka? Sialan. Berapa banyak perempuan yang dipacari Jeka saat ini?
"Bukan siapa-siapa, kak." Panggilan itu Lily sematkan. Dia sadar diri bahwa dia adalah mahasiswa baru, dan perempuan ini sudah pasti seniornya.
"Terus kenapa bisa sama Jeka?" Mata perempuan ini sungguh mengintimidasi dan meremehkan.
"Aku sodaranya dari kampung," jawab Lily. Lebih baik begitu saja daripada memperpanjang pertanyaan perempuan ini, jika dia menjawab cuma anak dari sahabat ibu Jeka.
"Ooh cuma sodaranya dari kampung." Si perempuan mengulang ucapan Lily. "Pantesan keliatan kampungan."
This bitch. Otak dan bokongmu memang sama, sama-sama tidak menonjol. Ya, ya Lily memahami hal itu.
× × ×
Lily berdiri di depan fakultasnya setelah menerima pesan spam dari Jeka. Pemuda itu ternyata memiliki sisi yang menyebalkan juga ketika mengirimkan pesan.Sesekali tatapan mengejek tertuju padanya Lily berusaha mengabaikan semua itu. Percayalah sejauh ini belum ada teman baru yang mengajaknya mengobrol.
Saat tengah menunggu dalam keadaan damai, seorang pemuda menyambar Lily hingga minuman yang dipegang pemuda tersebut tumpah tepat di baju Lily.
"Ops, sorry gue sengaja," ucap si pemuda.
Lily mendongak dan mendapati pemuda dengan wajah tampan, tapi berperilaku brengsek ini tengah menertawakannya. Wajahnya sudah beberapa kali melintas di depan mata Lily. Dan sudah beberapa kali menyindirinya dengan kata-kata yang pedas. Sial. Untung saja kesabaran Lily telah terlatih setebal beton penyangga jembatan Suramadu.
Lily hanya bisa menarik napas dan tak acuh sembari mengelap tumpahan minuman berwarna merah itu dengan telapak tangannya.
"Eh, cewek kampung, lo nggak malu sama outfit murahan lo kayak gini?"
Si pemuda tertawa bersama satu orang temannya yang lain, tapi sama sekali tak menolong bahkan ketika mobil Jeka tiba dan sang empu keluar.
Jeka mendecih saat melihat apa yang terjadi pada Lily. Bajingan sialan, mengapa Jeka benar-benar kesal ketika melihat orang lain bertindak seenaknya pada Lily? Setan. Harusnya hanya dia yang bisa mengusik Lily. Tapi, sungguh usilnya Jeka pada Lily pun tidak sampai menumpahkan minuman di baju gadis itu.
Kepalan tangan Jeka mengerat. Langkahnya dengan cepat dia bawa mendekat pada Lily dan pemuda itu. Tanpa aba-aba dia menjatuhkan pukulan tepat di wajah si pemuda.
Lily kaget bukan main dan segera saja menarik Jeka sebelum pukulan berikutnya kembali jatuh pada pemuda itu.
"Anjing lo! Ngapain lo nyirem dia?" teriak Jeka. Dalam hitungan detik saja di sekitar mereka langsung ramai.
"Bangsat. Urusan lo apa, Jek? Emang dia siapa lo? Cewek lo?" Jayxell, nama pemuda yang menyiram Lily tadi, salah satu teman di tongkrongan Jeka.
"Kalo iya emang kenapa? Nyari mati lo?"
"Anjing, lo serius?"
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreeblissa • Liskook 18+ ✓
ChickLit[SELESAI] [M] Lily adalah cewek kampung pecinta warna merah muda di mata Jeka. Cewek norak dengan outfit jaman dahulu kala. Jeka bilang Lily bukan tipenya dan tidak pernah masuk standar cewek yang akan dia pacarin. Tapi, suatu malam yang larut tan...