Aku ingin kau, mungkin tak lama tapi hanya ingin denganmu saja.
Sore itu, setelah turun hujan. Garta memilih untuk keliling komplek dengan sepeda. Di rumah hanya ada kak Leo dan Dimas, ia bermain disana dari siang hari dan Garta tak betah di rumah karenanya. Maka ia memilih keluar. Ketika berkeliling, dia hanya ingin ketenangan. Tak ada hal menyedihkan, yang dia mau hanya dirinya seorang tanpa melibatkan emosi-emosi yang lain. Namun, ia salah. Masih ada Ari di setiap titik waktu yang ia habiskan seorang diri. Masih ada jejak-jejak sejarah dari lelaki itu di hidupnya, di hatinya, di ingatannya.
Garta menghentikan sepedanya di depan pohon besar, ia duduk disana. Seorang diri dengan isi pikiran yang berkecamuk di dalamnya. Biasanya jam segini, Ari main di rumahnya atau tidak mereka sedang jalan bersama tapi nyatanya kali ini berbeda. Hampa.
Ia ingat setiap hal tentang Ari. Lelaki itu suka membawa jajanan untuknya, sekalian membawa topik baru untuk di bicarakan. Ketika bersama Ari, ia tak pernah merasa lelah atau bosan. Dulu dia benar-benar tidak memperdulikan lelaki yang sekarang menjadi alasan ia patah hati. Dulu tak ada alasan untuknya memikirkan Ari, tak ada terbesit sekalipun senyum lelaki itu atau tingkahnya namun ketika kepergian bang Kaesang, Ari hidup begitu saja dalam ingatannya. Membawa rasa khawatir kalau-kalau Ari kenapa-kenapa atau melakukan tingkah yang aneh.
Ketika Ari berada di sekitarnya hanya rasa lega karena anak itu tak kenapa-kenapa. Lalu, ketika hubungan mereka menjadi lebih dari sekadar rasa khawatir dan rasa seorang teman. Ari mengambil ahli semuanya. Waktunya, pikirannya, hatinya, segalanya. Ari seakan poros tengahnya, anak itu selalu ia sertakan dalam segala hal tapi setelah semuanya berakhir begitu saja. Rasa sulit menguasainya, ia sulit untuk bergerak tanpa Ari, bahkan ia tak bahagia.
Dulu ketika hanya menonton video pendek lucu, Garta bisa tertawa. Kini mendengar suara tawa Ari, dia sudah paling bahagia. Lantas dia harus bagaimana?
Hubungan mereka tak serumit itu, kisah mereka begitu manis lalu kenapa sekarang begitu pahit? Garta bertanya-tanya, apa yang membuat mereka seasing ini? Hidupnya tak secanggung ini tapi kenapa setelah semuanya sirna dengan Ari, ia menjadi kaku. Tak bisa berjalan seperti dahulu. Garta bertanya-tanya.
Karena kebiasaan mendapatkan telepon dari Ari, ia selalu memandang ponselnya. Berharap ada panggilan dari lelaki tinggi itu, berharap kalau-kalau Ari berdiri di pagar depan rumahnya dengan sebungkus batagor dan coca cola andalannya di tangan kanannya sembari tersenyum. Ia berharap Ari datang ke mejanya lalu memanggilnya dengan nada jenaka sambil tertawa karena berhasil membuat kesal. Ia merindukan Ari.
Maka tertunduklah Garta, kenangan yang tak bisa ia hitung itu merasukinya. Ia mengambil handphonenya, membuka kontak panggilan dan menekan nomor telepon Ari. Iya, dia menghubunginya. Panggilan masuk, sedetik dan tak di jawab, dua detik tak di jawab juga, hingga akhirnya tulisan bergetar berubah menjadi angka.
'Halo, Garta?'
Garta melihat handphonenya, menatap dengan baik nama kontak yang tak ia hapus, Ari jelek. Masih menjadi nama kontak favoritnya.
'Halo, Garta? Kamu perlu sesuatu?'
Bahkan panggilannya masih sama, tutur katanya juga masih sama, lembut.
"Ari.." Hanya itu yang bisa ia keluarkan dari mulutnya. Tak ada jawaban dari seberang dan Garta tahu bahwa Ari hanya terdiam, menunggu ia bersuara.
'Iya, Garta.'
Tak bisa ia menjawab, maka Garta mematikan panggilannya lalu kembali tertunduk, ia frustasi. Ingin marah tapi sulit sekali rasanya. Berakhir Garta memukul-mukul tanah berumput hijau tersebut dengan amarah. Ia terlalu sulit mengatakan kalimat 'rindu' pada Ari. Dia kesal pada dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimatheo ||sungjake
FanfictionAri narsis, Garta insecure-an. Ari ceria, Garta galak. Ari ramah, Garta judes. Ari teaser, Garta tsundere. "gue... sayang sama lo, sampai mau mati rasanya" "Gue emang selalu pantas buat di sayang, hehe"