Sudah satu jam berlalu sejak kejadian panas tadi. Orang tuanya sudah masuk kamar setelah mengantar Ivanna ke kamarnya, tapi Ivanna tak bisa tidur. Ia harus melakukan sesuatu lebih dulu. Dan, disinilah dia. Di depan kamar Izora.
Ia harus menjelaskan suatu hal pada gadis itu, ia tak ingin Izora terus meyakini pemikirannya yang keliru. Tapi, Ivanna agak takut sebenarnya untuk masuk. Apalagi jika Rayden ada di dalam, bagaimana ia bisa bicara nanti? Ivana meneguk salivanya kasar berkali-kali.
"Tenang, Ivanna." Layaknya mengucap mantra, ia mengatakannya berkali-kali seraya mengatur pernapasan. Akhirnya diberanikan tangannya untuk mengetuk.
"Masuk aja, Kak. Enggak aku kunci." Tangan Ivanna terhenti di udara mendengar jawaban dari dalam. Katanya tadi ... kak?
Cepat-cepat Ivanna menggeleng, mengusir prasangka mustahil itu. Pasti Izora mengira Rayden yang datang, mana mungkin Izora sudi memanggilnya dengan sebutan kak? Huh, Ivanna pede sekali.
Tunggu, jika Izora mengira bahwa Rayden yang mungkin datang artinya ... Rayden tak sedang di dalam? Ivanna tersenyum tipis, bagus kalau begitu.
Perlahan Ivanna membuka pintu, bisa ia lihat Izora berbaring di tempat tidur besarnya. Selimut tebal sudah menutupi tubuh hingga kepala, mungkin karena hal itu Izora tak langsung sadar.
"Kakak lama banget mandinya," celetuk gadis itu dengan suara serak. Jelas sekali ia habis menangis tadi.
Ivanna mengangguk paham, ternyata Rayden sedang pergi mandi. Pantas gadis ini sendiri sekarang. Ivanna langsung menutup pintu kamar saudarinya, ia yakin nanti akan terjadi pertengkaran, jadi ia lebih memilih antisipasi lebih dulu. Setidaknya teriakan-teriakan yang mungkin ada nanti bisa diredam sedikit di kamar luas ini.
Ivanna kembali mengatur pernapasannya, lalu menguatkan tekad. Ya, ia harus berbicara sekarang juga dengan Izora.
"Ini aku, Zora." Selama beberapa saat, tak ada balasan dari orang dibalik selimut itu. Mungkin Izora sedikit shock?
Ivanna tersentak ketika selimut yang menutupi Izora terbang tinggi setelah dihempaskan, saudari kembarnya yang telah mengambil posisi duduk itu menatap Ivanna dengan tatapan murka yang kentara. Kan, Ivanna sudah menduga pasti akan terjadi pertengkaran sesi dua.
"Lo?! Ngapain lo ke sini, ha?!" pekik Izora kencang. Ia seperti melihat musuh, sangat ingin menendang keluar tamu tak diundang itu.
"Zora, please tenang dulu. Ada yang perlu aku omongin sama kamu," ucap Ivanna dengan nada selembut mungkin. Dengan pelan, ia melangkah mendekati Izora.
"Diam di sana!" Lagi, gadis itu berteriak. Langkah Ivanna langsung terhenti, menuruti perintah saudarinya.
"Oke, aku ngomong dari sini, boleh?" tanya Ivanna dengan raut memohon.
Izora tersenyum sinis. "Enggak ada yang perlu diomongin di antara kita. Sekarang lo pergi dari sini," celetuknya berusaha menetralkan emosi.
Ivanna menggeleng, ia harus tetap bicara. "Please, sekali aja, dengerin penjelasan aku." Entah kenapa, Ivanna merasa sedang membujuk pacar. Tapi, bodo amatlah! Yang penting, Izora mau bicara dengannya meski hanya sebentar.
"Gue bilang enggak mau, Sialan!" Dengan cekatan Ivanna mengindari serangan bantal yang dilayangkan Izora. Tampaknya gadis itu benci sekali dengan kehadiran Ivanna.
Ivanna yang masih terkejut, menatap tajam Izora. Ia menggeram marah. "Kamu bisa jangan kekanakan dulu?" Izora tersentak kaget, ia terdiam saat melihat raut marah Ivanna. Raut yang baru kali ini dilihatnya, menyeramkan, seperti Reno.
Tapi, bukan Izora namanya kalau langsung memperlihatkan perasaannya. Ia mendecih, lalu menatap Ivanna dengan sorot menantang. "Kekanakan lo bilang? Enggak pernah ngaca?" Dibanding Izora, Ivanna yang selalu dimanja orang tua mereka. Jadi, siapa yang lebih kekanakan?
![](https://img.wattpad.com/cover/332756246-288-k541815.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamatkan Mereka[On Going]
Teen Fiction[PLAGIATOR DILARANG MENDEKAT] [REVISI SETELAH TAMAT] Mati di tangan keluarga sendiri. Bagaimana rasanya? Sakit, kecewa. Meski hubungan mereka tak persis seperti keluarga yang sebenarnya, Mia tak pernah menyangka kalau bibinya bisa bertindak senekat...