Helaan napas panjang keluar dari bibir mungil Ivanna, dengan mata yang terus terarah ke tengah lapangan indoor ini. Sekarang jam pelajaran olahraga, dan dengan seragam olahraga berwarna putih, merah dan biru, Ivanna menonton dari pinggir lapangan.
Meski sudah tau ia pasti tak akan diizinkan praktek olahraga–atas perintah orang tuanya, tetap saja Ivanna sedikit menyayangkannya. Padahal, menurut Ivanna ia masih mampu jika sekedar melempar bola voli seperti yang sedang dilakukan teman-teman sekelasnya itu, tapi Pak Seno–Guru Olahraga–tidak mengizinkannya ikut. Alhasil, Ivanna hanya bisa menonton sambil menjaga sekotak besar air mineral dingin disampingnya. Sekali lagi, Ivanna menghela napas.
"Ngelamun aja nih," celetuk seseorang tiba-tiba, membuat Ivanna terperanjat. Ia refleks menoleh pada sosok itu.
"Ketua kelas?"
Pemuda bertubuh jangkung itu hanya tersenyum, lalu mengambil posisi lesehan di sebelah Ivanna. Tentu Ivanna langsung menggeser posisinya, enggan berdekatan dengan pemuda yang sedang mandi keringat. Berbeda dengan anak perempuan yang masih melempar bola, anak laki-laki sudah bertanding sebagaimana mestinya, jadi pantas jika sekarang beberapa dari mereka memilih untuk istirahat.
"Udah dibilang, gue lebih suka dipanggil Agam." Pemuda itu mengambil sebotol air mineral dari dalam box, lalu meneguknya guna memuaskan dahaga.
Jakunnya yang dialiri keringat bergerak naik turun, membuat Ivanna langsung memalingkan pandangannya.
"Tapi, aku lebih suka memanggilmu dengan jabatanmu. Supaya kamu sadar dengan batasan yang kubuat," balas Ivanna tanpa menatap lawan bicaranya itu.
Kekehan kecil terdengar dari sebelahnya, Ivanna tak menghiraukannya. Dengan tenang ia tetap memperhatikan permainan anak-anak perempuan di kelasnya yang sekarang mulai bermain volly dengan benar, tidak sekedar latihan melempar bola saja.
"Kenapa lo harus buat batasan sama gue? Temen sekelas lo sendiri."
Ivanna meliriknya sebentar, terpampang senyuman tipis pemuda itu yang sulit diartikan. Mengacuhkannya, Ivanna kembali menatap ke tengah lapangan.
"Apa karena gue bukan karakter?"
Seperti baru mendengar ledakan besar, Ivanna langsung menoleh pada Agam dengan mata yang membulat sempurna. Sementara pemuda itu tersenyum lebar, seakan puas dengan ekspresi terkejut Ivanna.
"Got it."
Selepas mengatakan hal itu, Agam beranjak dari duduknya. Berniat untuk kabur, namun Ivanna tidak membiarkannya. Ia menahan tangan Agam, membuat pemuda itu menoleh. Dalam sekali tarikan kencang, Ivanna mampu membuat Agam yang kehilangan keseimbangan, jatuh hampir menimpa dirinya. Untungnya Ivanna dengan cekatan berhasil menghindar, hingga Agam jatuh di sampingnya dengan tangan kanan dan lutut kiri yang menumpu tubuhnya. Sementara di sebelah kiri, Ivanna menodongnya dengan tatapan tajam.
"Siapa kamu?"
Agam yang masih shock dengan kejadian barusan yang terjadi sangat cepat, tetap terdiam dengan mata yang membalas tatapan Ivanna. Sedetik kemudian, ia tertawa kecil. Tawa yang menyiratkan rasa kaget serta tak percaya.
"Lo sadar di sini ada banyak orang, 'kan?" Dengan ujung alisnya, Agam menunjuk ke arah tengah lapangan, dan benar saja, hampir seluruh teman sekelas mereka memusatkan atensi pada mereka berdua. Bahkan termasuk anak-anak yang sedang istirahat.
Ivanna berdecih. Apa semua figuran di novel ini disetting untuk sangat peka dengan keadaan sekitar? Menyebalkan!
"Pak!" teriak Ivanna pada Pak Seno yang sedang berlari kecil ke arah mereka. Agam diam di posisinya, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Ivanna untuk terbebas dari situasi ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/332756246-288-k541815.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamatkan Mereka[On Going]
Novela Juvenil[PLAGIATOR DILARANG MENDEKAT] [REVISI SETELAH TAMAT] Mati di tangan keluarga sendiri. Bagaimana rasanya? Sakit, kecewa. Meski hubungan mereka tak persis seperti keluarga yang sebenarnya, Mia tak pernah menyangka kalau bibinya bisa bertindak senekat...