Bab 19. Rekrutmen Eskul Member

8 2 0
                                    

Ivanna menggeliat tak nyaman ketika alarm di samping kepalanya berbunyi kencang. Tangannya bergerak-gerak untuk mematikannya, kemudian ia bangkit duduk sembari menyandarkan punggung ke kepala kasur. Masih dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, Ivanna meraih kotak tisu yang ada di atas nakas, kemudian mengambil tiga lembar sekaligus. Dengan tenaga dalam, Ivanna mengeluarkan semua ingusnya hingga hidung mancung gadis itu berubah warna jadi merah. Ia melihat sekeliling dengan sulit, pasalnya kedua matanya susah dibuka sempurna. Bukan, bukan karena masih mengantuk. Tapi, karena aksinya semalam yang sok-sok-an menangis berjam-jam. Alhasil, ia butuh es batu sekarang untuk mengompresnya. Bisa kacau nanti kalau sampai terlihat Reno dan Vita.

Dengan kesadaran yang masih 80%, Ivanna turun dari kasurnya lalu berjalan keluar. Sesampainya di depan dapur, Ivanna melihat seorang ART-nya sedang mengupas sayur di meja makan. Yaa, hal itu memang biasa di rumah ini, asalkan saja ART tidak memakai meja makan saat tuan dan nyonya sedang makan. Itu namanya tak sopan.

"Bi, ada es batu nggak di kulkas?" tanya Ivanna, berusaha sebisanya untuk membuka mata dengan baik.

Wanita berusia 50-an awal itu tersenyum tipis sembari menggeleng-geleng, seperti merasa lucu akan sesuatu. "Kayaknya, Non. Sok dicek dulu kalau masih ada," jawabnya.

Respon Bi Narti sedikit membingungkan, membuat dahi Ivanna berkerut. Namun, enggan berpikir rumit karena ini masih subuh, Ivanna melanjutkan langkahnya setelah mengucapkan terima kasih.

Begitu memasuki dapur, Ivanna dikagetkan dengan kehadiran dua orang yang juga kaget melihat kedatangannya. Dua orang itu berada di depan kulkas sembari memegang kotak pencetak es batu.

Ivanna tak bisa menyembunyikan raut terkejutnya. Selain itu, entah kenapa ia ingin menertawakan diri sendiri, tidak, mungkin bertiga? Dua orang itu adalah Rayden dan Izora. Tampaknya mata mereka bernasib sama dengan mata Ivanna, karena itu es batu itu akan digunakan untuk mengompres mata. Sekarang Ivanna paham maksud senyuman Bi Narti tadi.

Belum sempat Ivanna membuka suara, pertanyaan Rayden lebih dulu menggelitik hatinya. "Mau ... kompres juga?" Pemuda itu mengangkat kotak cetak es, menunjukkannya pada Ivanna.

Sementara Izora membalikkan tubuhnya, enggan berhadapan dengan Ivanna. Mungkin malu juga? Karena bisa Ivanna lihat telinga gadis itu yang memerah.

"Eum, tolong sedikit, Kak." jawabnya sembari terkekeh canggung.

Alhasil, ketiga anak-anak Razaputra itu mengompres mata mereka yang bengkak agar nantinya tak menjadi bahan tertawaan di sekolah. Dalam hati, Ivanna merasa konyol sekali. Bukan main kekompakan mereka. Semalam menangis karena alasan yang sama, sekarang mengompres mata bersama-sama. Entah akan seberapa canggung mereka nantinya.

Dan kekhawatiran Ivanna betulan terkabul. Sepanjang perjalanannya ke sekolah bersama Rayden, suasana jadi super canggung. Tak ada satupun yang mau buka suara, mungkin bingung harus berbicara apa duluan. Ivanna menyayangkannya, padahal kemarin ia dan Rayden sudah sangat akrab, tapi sekarang? Apa mungkin aksinya kemarin terlalu terburu-buru?

Menghembuskan napas panjang, Ivanna sedikit menyesalinya.

"Tuan Muda, Nona, kita sudah sampai." Celetukan Pak Tama menyadarkan Ivanna dari lamunannya. Ia segera turun dari mobil, disusul Rayden.

Kedua bersaudari itu hanya saling menatap di depan mobil mewah mereka. Mulut mereka sama-sama terbuka untuk berbicara, namun tak ada apapun yang terdengar.

"Kak ... eum, aku ke kelas, ya?" ujar Ivanna tersenyum kikuk. Ingin kabur saja.

"O-oh? Udah mau ke kelas? Yaudah, dadah." Tangan yang sebelumnya memegang belakang kepala, kini Rayden goyangkan ke kiri-kanan untuk melambai pada adiknya. Ivanna membalas dengan lambaian kecil, kemudian kabur begitu saja.

Selamatkan Mereka[On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang