Sejak pagi Ivanna merasa gelisah dan bingung. Otaknya bekerja keras mencari solusi paling memungkinkan, namun tak satupun memuaskan hatinya.
Nanti malam adalah waktunya. Puncak konflik yang akan mengubah hidup Hanna. Saat bapaknya Hanna akan pulang sembari mengamuk, memukuli Hanna beserta ibu dan adiknya, lalu Hanna melawan dan kecelakaan itu terjadi. Hanna menusuk bapaknya menggunakan pisau dapur.
Ivanna mengacak rambutnya frustasi, lalu membenamkan wajahnya di antara kedua lengan yang bertumpu di atas meja. Tiara yang sejak tadi menjadi saksi ketidakjelasan temannya itu, menatap Ivanna dengan raut kebingungan.
"Vanna," panggilnya menepuk bahu Ivanna pelan, membuat yang dipanggil mendongak." Kamu gak pa-pa?" Lanjutnya.
Senyuman kecil hinggap di bibir Ivanna, ia lalu mengangguk. "Iya, gak pa-pa kok."
Kebohongan yang aneh. Tanpa banyak berpikir pun, Tiara yakin kalau Ivanna tengah berbohong. Selepas guru keluar beberapa menit yang lalu, gerak-gerik Ivanna amat mengkhawatirkan, seperti banyak pikiran. Tiara segera memposisikan kursinya menghadap teman sebangkunya itu.
"Jangan bohong. Aku tau kamu lagi gak baik-baik aja."
Ivanna terkekeh kecil kala menatap raut serius Tiara yang menurutnya lucu. "Iyadeh, ada masalah kecil. Tapi gak yang mengkhawatirkan, kok. Aku cuma sedikit kepikiran," jawabnya dengan senyum menenangkan.
"Kalau kamu pengen cerita, aku siap kok dengerinnya. Kalau pun gak mau cerita, ya gak pa-pa." Meski sebenarnya ada sedikit rasa kecewa yang mengganggu hatinya, Tiara tak ingin memaksa Ivanna untuk bicara. Tiara akan memahami segala sikapnya.
Tiba-tiba, Ivanna menyandarkan kepalanya di pundak Tiara membuat gadis itu tersentak. "Nanti aku cerita deh, kalau udah siap." Tiara hanya berdehem menanggapi, namun tak ayal bibirnya tersenyum. Rasanya senang jika Ivanna bermanja-manja padanya seperti ini.
Tiara merasa ... dibutuhkan.
"Ivanna," panggil seseorang membuat senyum Tiara luntur. Ia menatap tajam si pemanggil, namun orang itu tak memperhatikan rautnya.
"Ya?" jawab Ivanna seraya mengangkat kepalanya dari pundak Tiara, membuat temannya itu cemberut kesal tanpa ada yang menyadari.
Agam dengan lesung pipinya yang manis kembali menyapa. "Bantuin gue ke perpus nganter buku, bisa?" tanya cowok itu.
Belum sempat Ivanna menjawab, Tiara lebih dulu menyambar. "Kenapa gak sama Aldo aja?" tanyanya membuat dua orang itu sadar akan keberadaannya.
"Aldo lagi ke toilet. Lama kalau nungguin dia," jawab Agam. Tiara langsung menoleh ke tempat duduk Aldo, ternyata orangnya memang tidak ada di sana.
Tatapan tajam Tiara kembali mengarah lada Agam. "Anak cowok lain aja kalau gitu. Ivanna 'kan perempuan, masa harus ngangkat buku banyak-banyak ke perpus," ucapnya lagi membuat Agam menatap Ivanna seperti meminta pertolongan.
"Bukunya dikit, temen lo gak bakal keberatan. Gue janji," kata Agam lagi, namun Tiara sudah siap untuk mendebat kesekian kalinya.
"Tapi—"
"Gak pa-pa, kok, Ra. Ada yang mau aku omongin juga sama ketua kelas," celetuk Ivanna, menenggelamkan kembali kata-kata Tiara yang sudah sampai di tenggorokan.
Gadis berkuncir kuda itu terpaksa mengangguk. Matanya menatap sinis Agam yang tersenyum penuh kemenangan.
Entah sejak kapan, tapi Tiara benci jika Ivanna dekat-dekat dengan Agam. Padanya Ivanna selalu menyimpan rahasia, tapi Tiara merasa semua rahasia itu diketahui Agam. Padahal Tiara-lah sahabat karib Ivanna, tapi kenapa bukan dia yang tau duluan? Tiara mengaku, dia merasa cemburu.
![](https://img.wattpad.com/cover/332756246-288-k541815.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamatkan Mereka[On Going]
Genç Kurgu[PLAGIATOR DILARANG MENDEKAT] [REVISI SETELAH TAMAT] Mati di tangan keluarga sendiri. Bagaimana rasanya? Sakit, kecewa. Meski hubungan mereka tak persis seperti keluarga yang sebenarnya, Mia tak pernah menyangka kalau bibinya bisa bertindak senekat...