Ivanna mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan. Tangan kanannya digunakan untuk menumpu tubuh ke dinding, sementara tangan kirinya mencengkeram dada yang terasa sedikit sesak.
"Sa-tu domba, dua domba, tiga ... domba haaahh." Ia menghembuskan napas panjang dan berat, mencoba mengendalikan diri.
Entah sejak kapan, tapi Ivanna memakai cara yang ia peroleh di dunia asli, untuk meredakan sesak-nya. Yaitu, menghitung domba. Biasanya orang-orang menghitung domba saat ingin tidur, tapi Ivanna melakukannya saat asma-nya kambuh. Memang cara yang aneh, tapi itu manjur. Lebih baik daripada Ivanna harus terus bergantung pada inhaeler hingga kecanduan.
"Okee, tenang." Beberapa kali ia menarik dan membuang napasnya dengan pelan. Merasa sudah cukup baik, Ivanna membuka pintu menuju ke rooftoop sekolah. Sudah tau kenapa dia ngos-ngosan 'kan?
"Akhirnya," ujar Ivanna tersenyum lega setelah pintu terbuka, dan mendapati orang yang dicarinya di depan sana.
Ivanna mendekat, bunyi sepatu yang beradu dengan lantai mengusik ketenangan orang di depan sana. Orang itu berbalik, dan membelalak kaget ketika mendapati Ivanna.
"Vanna?" Ivanna hanya tersenyum menanggapinya. Ia tak berhenti melangkah untuk mendekati sosok itu.
"Ketemu," celetuk Ivanna ringan, membuat Tiara membatu.
Kini keduanya sudah berhadapan. Tiara hanya diam dengan kepala yang menunduk, tangannya bertaut gelisah.
"Aku minta maaf." Ucapan Ivanna membuat Tiara mendongak. Raut menyesal Ivanna sangat jelas terlihat di mata Tiara.
"Eh? K-kenapa?"
Ivanna membuat ekspresi murung. Gantian, ia yang menunduk dalam. "Aku pasti udah melakukan kesalahan. Mungkin ada ucapanku atau perbuatanku yang bikin kamu tersinggung." Ivanna mengangkat kepalanya, menatap Tiara penuh sesal. "Karena itu kamu marah sama aku, ngejauhin aku. Tolong, kalau bisa maafin aku Tiara. Aku ngaku salah."
Mulut Tiara menganga kecil, ia menggeleng cepat sembari memegang tangan Ivanna erat. "Kamu nggak ada salah, Vanna. Kenapa kamu mikir gitu?"
Ivanna melirik Tiara dengan raut cemberut, lalu ia melepas paksa genggaman Tiara membuat gadis itu terkejut.
"Kamu nggak usah bohong. Aku tahu, kamu pasti ada marah sama aku, karena itu kamu nyuekkin aku."
"Maaf, Tiara. Tapi, kamu harus ngaku dengan mulut sendiri, dan ini adalah satu-satunya cara agar kamu ngaku." Ivanna membatin.
Ia sengaja bersikap menyalahkan diri sendiri agar Tiara mau mengaku kalau dia diancam Angel. Jika bukan dengan cara begini, Tiara tak akan pernah bicara jujur.
Tiara menggeleng lagi, matanya sudah berembun. Mungkin merasa bersalah karena Ivanna menyalahkan diri atas kesalahan yang tidak ada.
"Kamu beneran nggak ada salah, Vanna. Aku yang pengecut, aku terlalu penakut. Aku-aku terlalu takut kalau ucapan Angel itu beneran." Tiara mulai terisak. Ia sangat takut dengan Angel, tapi lebih dari itu, ia lebih takut dengan ancaman Angel.
Ivanna memegang kedua pundak Tiara, membuat sang empu terperanjat. Tiara makin kaget mendapati tatapan tajam Ivanna. Entah kenapa, ia malah merasa ada yang salah di sini.
"Angel bilang apa? Jujur, Tiara." Sejujurnya, tatapan Ivanna yang sudah bertekad itu jadi menakutkan.
Tiara bahkan baru sadar kalau ia telah membocorkan hal yang seharusnya ia simpan sendiri. "Nggak, aku—" Gadis itu berusaha memberi alasan, tapi Ivanna tak membiarkannya.
"Berhenti bohong, kalau kamu beneran anggap aku temanmu."
Tiara bungkam sambil terus terisak. Ivanna sebenarnya tak tega juga mendesak gadis ini, tapi jika tak begini, Tiara akan terus berbohong. Jadi, Ivanna beralih memegang kedua tangan Tiara, lalu mengurungnya di dalam kepalan tangannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Selamatkan Mereka[On Going]
Teen Fiction[PLAGIATOR DILARANG MENDEKAT] [REVISI SETELAH TAMAT] Mati di tangan keluarga sendiri. Bagaimana rasanya? Sakit, kecewa. Meski hubungan mereka tak persis seperti keluarga yang sebenarnya, Mia tak pernah menyangka kalau bibinya bisa bertindak senekat...