Sudah hampir sebulan Ivanna bersekolah, baru kali ini ia mengunjungi halte bis yang berada di depan. Karena sudah pukul 04.25 sore, keadaan sekitar dapat terbilang sepi. Hanya satu sampai dua orang yang berlalu-lalang, melewati jalan.
Seperti kesepakatan dengan Tiara tadi, Ivanna disuruh menunggu di halte ini. Baru sekitar lima menit Tiara pergi, Ivanna sudah sangat bosan. Ditambah lagi, perutnya mulai keroncongan. Terakhir kali makan tadi pas istirahat makan siang, Ivanna butuh makan lagi sekarang.
Saat sedang lapar, indra penciuman seseorang akan lebih peka terhadap bau makanan. Ivanna membuktikannya. Bau roti yang mungkin baru diangkat dari panggangan, menggugah seleranya. Wangi sedap itu berasal dari toko seberang, tanpa sadar Ivanna meneguk salivanya.
"Lapar banget," lirihnya tak kuasa menahan godaan duniawi itu. Setelah mengirimi pesan singkat pada Tiara, Ivanna langsung menyeberang dengan hati-hati.
Begitu pintu toko dibuka, terdengar bunyi bel yang berbunyi. Mungkin belnya menjadi penanda datangnya pelanggan, Ivanna hanya mengedikkan bahu tak acuh kemudian langsung menuju meja kasir untuk memesan.
"Selamat datang di Love's Bakery, Kak. Mau pesan ap—eh, Izora?" Ivanna yang sebelumnya sedang melihat-lihat roti yang dipajang di lemari kaca dengan sorot lapar, langsung mendongak menatap si pegawai.
Perempuan muda yang mencepol rapi rambut hitam kemerahannya, dengan kulit kuning langsat itu menatapnya dengan pandangan ragu. Meski perempuan, tubuh gadis itu tinggi dan terlihat tegas, seperti orang terlatih.
Kening Ivanna mengernyit bingung, orang ini kenal Izora?
"Eum, saya Ivanna, kembarannya Izora." ucapnya memberitahu. Pegawai perempuan itu mengangguk paham dengan mulut yang dibulatkan, seakan sudah paham.
"Pantas aja lo kelihatan lebih mungil. Kirain tadi Izora yang kekurangan gizi," ujarnya sembari tertawa kecil. Sedetik kemudian, ia membulatkan matanya sembari menggigit bibir bagian bawah. Mulutnya sudah melakukan kesalahan pada pelanggan!
"Ma-maaf, Kak. Maksud saya bukan begitu. Mohon maaf atas ketidaksopanan saya," mohonnya sembari membungkuk 90°. Bisa dipecat dia kalau sampai ketahuan bos mulut ceplas-ceplosnya itu.
Ivanna gelagapan melihatnya, ia mengangkat tangannya sembari menggeleng-geleng panik. "Eh? Enggak pa-pa, Kak. Saya enggak tersinggung kok."
Pegawai itu mendongak, ia menatap haru Ivanna yang dengan mudah memaafkannya. Jika melihatnya yang ikut panik seperti itu, langsung terlihat jelas adik siapa dia. Tentu Rayden, si malaikat bodoh.
"Terima kasih, Kak. Sebagai permintaan maaf, saya akan melayani Kakak dengan baik. Kakak mau pesan apa?" tanyanya sudah siap dengan note kecil dan pena di tangan, entah dia dapatkan dari mana kedua benda itu.
Ivanna meringis kecil, sedikit risih dengan tatapan berbinar pegawai itu. Walau begitu, pikirannya melayang jauh pada deretan kalimat novel yang sekarang ia tempati. Visualisasi pegawai ini pernah di bahas dan Ivanna berusaha mengingat siapa orangnya.
"Saya mau roti susu itu satu sama cokelat satu. Yang cokelat tolong dibungkus, sementara yang susu mau saya makan di sini. Itu aja," kata Ivanna memesan.
"Baik, Kak. Sebentar, ya." Ivanna mengangguk, membiarkan pegawai itu pergi ke belakang.
Tak lama ia kembali sembari membawa nampan dan piring kecil, lalu ia meletakkan roti susu di atas piring putih itu. Sementara roti cokelat dibungkusnya dan di sajikan di nampan yang sama.
"Totalnya Rp. 38.000, Kak." ucapnya seraya menyodorkan nampan itu.
Ivanna mengeluarkan selembar uang berwarna biru, lalu memberikannya. Ia menatap lamat-lamat pegawai yang sedang mengotak-atik mesin penyimpanan uang. Sekarang sudah terpikirkan satu nama dalam benaknya.
"Kakak ... Kak Hana?" Pergerakan pegawai itu terhenti. Ia menatap Ivanna dengan pandangan terkejut.
"Kakak kenal saya?" tanya pegawai itu. Meski tahu kalau Ivanna itu adik kelasnya, tapi ia harus tetap memanggilnya 'kakak' karena etika pekerjaan. Biasanya pelanggan suka dianggap dewasa, bukan?
Ivanna tersenyum tipis. Tebakannya tak meleset, seperti yang diduga. Pantas saja tadi perempuan ini kenal Izora. Ivanna langsung mengangguk semangat guna menjawab pertanyaan Hana.
"Kakak ketua eskul bela diri, 'kan? Ketua-ketua eskul lumayan terkenal di kalangan siswa kelas sepuluh," ucapnya setengah berbohong.
Hana memang lumayan terkenal di angkatannya, tapi Ivanna mengenalnya sudah sejak lama. Sejak ia membaca novel Guardian Angel. Di novel itu, Hana memiliki peran penting. Ia adalah satu-satunya sahabat Rayden yang bukan anggota OSIS, meski begitu ia tetap memiliki peranan penting di sekolah.
Hana Malekha, gadis penerima beasiswa atas prestasinya di perlombaan non-akademik. Tepatnya, di seni bela diri. Kemampuannya itu bukan hanya membuatnya mendapat beasiswa, tapi juga dipercayakan sebagai ketua eskul bela diri. Dengan karir cemerlang seperti itu, hidup Hana tak langsung enak. Sedari kecil ia menekuni seni bela diri agar suatu saat bisa mendapat beasiswa, untungnya impian itu terwujud.
Kondisi keluarga Hana juga jauh dari kata baik. Keluarganya miskin dan tinggal di lingkungan yang sangat berbeda dari tempat Ivanna tinggal. Ibunya hanya seorang buruh kasar, dan ayahnya? Pria tak berguna itu hanya menambah penderitaan. Kerjanya tiap hari hanya mabuk dan berjudi, tak kadang ia bermain tangan pada ibu dan adik Hana. Bahkan Hana pun tak terlepas dari kekerasan itu. Karena keadaan keluarga yang sulit, Hana harus bekerja paruh waktu setiap pulang sekolah. Ia bekerja di berbagai tempat, tak ada hari libur baginya yang sibuk mencari pundi-pundi rupiah.
"Oalah, begitu ...." Gadis itu nampak malu-malu mengetahui bahwa dirinya terkenal. "Ini kembaliannya Rp. 12.000, Kak. Silahkan nikmati rotinya selagi hangat," lanjutnya seraya memampangkan senyuman ramah.
Ivanna balas tersenyum, lalu duduk di kursi yang mengarah ke luar kaca jendela yang memperlihatkan langsung halte yang dia tempati tadi. Jaga-jaga jika Tiara tak sempat melihat pesannya dan mencari ke sana, Ivanna bisa langsung menghubunginya dari sini.
Sembari meresapi rasa manis dan gurih dari roti susu miliknya, Ivanna memperhatikan Hana yang sedang sibuk di meja kasir. Entah apa yang sedang diperiksanya melalui komputer khusus kasir itu.
Tanpa sadar, bibirnya menyeringai tipis. Akhirnya, ia bertemu dengan Hana. Bahkan, tanpa perlu repot-repot mencari, mereka dipertemukan secara kebetulan. Sekarang Ivanna harus menyusun rencana untuk mendekati orang itu, target keduanya. Si calon kriminal yang akan membunuh ayahnya sendiri.
Kringg!
Lamunan Ivanna buyar ketika terdengar bunyi bel dari arah pintu masuk. Ia tersenyum seraya mengangkat tangan begitu tau siapa yang baru saja masuk.
"Tiara! Di sini," panggilnya setengah berteriak. Untung toko ini sedang sepi, karena itu Tiara dengan mudah menemukannya. Gadis itu datang dengan paper bag cokelat yang ada di tangannya.
"Untung aku langsung liat pesan kamu, Van. Kalau enggak, panik sendiri aku nyari-nyari," curhat gadis itu sembari duduk di depan Ivanna.
"Sengaja aku langsung kasih tau kamu, karena aku tau, kamu pasti panik lihat aku enggak ada di sana." Tiara hanya tersenyum kecil menanggapinya.
"Kamu ganti roknya dulu. Itu di dalam aku beli celana panjang sama sepatu, ada syal juga jangan lupa dipake." Kening Ivanna berkerut.
"Syal?"
"Ini bentar lagi malam, bakal dingin. Kamu harus pake biar tetap hangat."
Ivanna merengut. "Kan aku udah pake hoodie kamu, Ra. Udah hangat kok."
Tiara menggeleng tegas. "Aku enggak terima penolakan. Pake aja," titahnya mutlak dengan raut serius.
"Okey, aku nurut. Makasih," ucapnya dengan raut cemberut. Baru berdiri dari duduknya, Ivanna kembali menoleh pada Tiara yang menatapnya full senyum. "Itu ada roti cokelat, harus kamu makan." Ivanna pura-pura judes, lalu meraih paper bag cokelat itu dan membawanya pergi. Tiara terkikik geli melihat tingkah sahabatnya itu.
Sementara dari meja kasir, Hana memperhatikan interaksi mereka diam-diam dengan tatapan menyelidik. "Anak itu emang banyak berubah, kayak yang dibilang Rayden." Dia menggumam tanpa bisa didengar siapapun.
Bersambung.
![](https://img.wattpad.com/cover/332756246-288-k541815.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamatkan Mereka[On Going]
Genç Kurgu[PLAGIATOR DILARANG MENDEKAT] [REVISI SETELAH TAMAT] Mati di tangan keluarga sendiri. Bagaimana rasanya? Sakit, kecewa. Meski hubungan mereka tak persis seperti keluarga yang sebenarnya, Mia tak pernah menyangka kalau bibinya bisa bertindak senekat...