Bab 32. Klimaks Hanna

4 0 0
                                    

Pukul 12.16 dini hari. Namun netra Ivanna masih saja terbuka, meski cahayanya redup karena menahan kantuk. Berkali-kali Ivanna mengecek ponselnya, namun tak kunjung mendapat kabar dari partnernya. Ivanna bersumpah, jika sampai pukul satu ia tak mendapat informasi, ia akan nekad untuk pergi sendiri.

Untungnya, niatnya itu terurungkan saat menerima chat dari orang yang ia tunggu kabarnya sejak tadi.

[Ke lokasi sekarang, bapaknya Kak Hanna udah ngamuk.]

Seketika Ivanna membelalak kaget, tak ada lagi rasa kantuk yang tersisa saat membaca pesan itu. Dengan hati-hati ia beranjak turun dari kasur, menciptakan bunyi berderit yang cukup berisik membuat Ivanna menggigit bibirnya seraya memejamkan mata. Melihat sekitar, untung tak ada anak yang terbangun. Meraih tas ransel berukuran sedang di ujung ranjangnya, ia lalu keluar dari kamar itu menuju ke pintu belakang, sesuai jalur yang diberitahu Agam tadi.

Gadis itu memakai hoodie tebal yang disimpan dalam tas ransel dan juga celana panjang yang menutupi hingga ke ujung. Kakinya dilapisi kaos kaki dan juga sepatu, menjaga agar seluruh tubuhnya tetap hangat. Ia juga memakai tudung hoodie hingga hanya menyisakan bagian wajah saja yang diterpa angin malam. Bisa sangat merepotkan jika asmanya kambuh saat akan menjalankan rencana.

Kedua tungkainya melangkah dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan saat melewati pekarangan panti. Suasana yang gelap dan sepi cukup menciutkan nyali gadis itu, apalagi terdengar suara-suara dari gemerisik dedaunan yang diterpa angin, membuat Ivanna menelan salivanya takut. Dengan mata yang menyisir was-was, Ivanna berhasil keluar dari area panti.

Ia cukup bingung dengan kehadiran mobil hitam yang terparkir tak jauh darinya, apalagi mobil itu tampak familiar. Namun, segera ia tepis segala kecurigaannya dan lanjut melangkah menuju kediaman Hanna. Untungnya ingatan gadis itu bagus, jadi ia tak perlu takut tersesat.

Tanpa Ivanna sadari, seseorang dari dalam mobil hitam tadi menurunkan kacanya dengan mata yang menelisik curiga. Hingga kemudian ia turun, mengikuti seorang gadis dengan hoodie cokelat yang dikenalinya.

Sementara itu, di tempat lain.

Dari balik dinding rumah tetangga, Agam terus mengintai rumah Hanna dengan raut serius. Sengatan-sengatan yang mengganggu dari gigitan nyamuk hanya ditepuk dengan kesal, sebelum kembali memusatkan atensi pada rumah sederhana di depan sana.

"Ivanna lama banget, ngapain sih?" gumamnya sebal, sesekali melirik belakang–arah di mana panti terletak.

Sudah sekitar lima menit sejak pemuda itu mengabari Ivanna mengenai kedatangan Hendra ke dalam kediaman Hanna. Selama itu juga terdengar suara ribut-ribut dari sana yang pasti mengusik tetangga, namun enggan dipedulikan. Mungkin karena terlalu sering terjadi.

Pemuda itu menajamkan pendengarannya ketika mendengar suara langkah kaki dari arah belakang, belum sempat ia menoleh, sebuah panggilan dari suara yang dikenalnya terdengar.

"Ketua kelas." Ya, hanya satu orang yang selalu memanggilnya begitu.

"Lo lama banget dateng—"

Omelan pemuda itu tertelan kembali saat ia menoleh, mendapati kehadiran Ivanna yang tak sendiri. Dari raut cemas dan gugup gadis itu, Agam sadar kalau kehadiran sosok yang tak diduga-duga di samping Ivanna itu tak direncanakan sama sekali.

"Jadi, bisa jelasin ada keperluan apa kalian tengah malam gini, di sini?" tanya Rayden dengan raut datar yang mengkhawatirkan.

Tamatlah mereka.

"IBUUU!!!"

Pekikan panik yang terdengar dari rumah seberang berhasil menarik atensi mereka bertiga. Tanpa sempat saling berucap, ketiganya lari sekencang mungkin ke arah sebuah rumah. Sumber teriakan yang suaranya sangat mereka kenali, itu suara teman mereka.

Selamatkan Mereka[On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang