"Mama di mana?" tanya Ivanna begitu pelayan di kediamannya membuka pintu.
"Nyonya ada di ruang keluarga," jawab wanita itu yang kemudian berlalu pergi setelah menunduk sebentar.
"Yuk, ketemu Mama dulu, Ra." Ivanna menggandeng tangan Tiara akrab, lalu melangkah menuju tempat beradanya Vita. Sementara Rayden mengikuti mereka dari belakang layaknya bodyguard.
Setibanya di ruang keluarga, bisa Ivanna lihat Vita yang sedang bersantai seraya menonton tv. "Selamat sore, Ma," salamnya yang langsung mengambil atensi wanita itu.
"Eh? Sore, Sayang." Ivanna segera mencium tangan wanita itu, diikuti oleh Rayden lalu diakhiri Tiara.
"Sebentar, anak manis yang ini ... Tiara, 'kan?" tebak Vita membuat Tiara mendongak dengan kaget. Bagaimana wanita itu tahu?
"Betul, Tante. Saya Tiara," jawabnya sopan.
Vita tersenyum bangga. "Tebakan tante pasti bener, soalnya Ivanna selalu ceritain kamu ke tante. Makanya tante tahu," ujar Vita menjawab tanda tanya dalam benak teman putrinya itu.
Ivanna hanya terkekeh canggung menanggapinya. Bagaimana dia tidak bercerita pada Vita tentang Tiara, jika setiap dia pulang Vita sudah berada di kamarnya dengan ribuan pertanyaan yang siap diajukan. Seperti ....
"Gimana sekolahnya hari ini?"
"Belajar apa aja?"
"Temenan sama siapa aja?"
"Tadi makan apa? Sama siapa?"
"Ceritain aktivitas kamu tadi, ya? Mama pengen tahu, deh."
Dan, sejenisnya. Karena itu Ivanna menceritakan tentang Tiara juga. Setidaknya, agar ibunya itu merasa puas.
"Ma, aku ke kamar dulu, ya?" pamit Rayden yang hanya ditanggapi deheman tak peduli Vita. Berbeda sekali dengan responnya terhadap teman Ivanna, sangat antusias.
Dan Tiara sangat menyadari perbedaan respon itu. Sepertinya, ini juga yang ingin ditunjukkan Ivanna padanya di rumah ini. Tiara tersenyum miris, bodoh sekali dia sempat percaya omong kosong Angel. Tak dipedulikan apanya? Ivanna bahkan terlihat seperti memborong habis kasih sayang di rumah ini.
Setelah kepergian Rayden, Vita mengajak Tiara untuk menonton tv bersamanya. Sementara Ivanna pamit sebentar untuk mengganti pakaiannya agar bisa bergerak lebih nyaman.
Tiara duduk dengan sopan di samping Vita, ia tak banyak bicara karena masih sangat canggung. Untungnya, Vita seakan menyadari perasaan gadis itu.
"Nak Tiara nggak perlu sungkan-sungkan sama Tante, ya? Anggap aja kayak mama kamu sendiri, soalnya 'kan kamu temen anak tante." Tiara hanya tersenyum tipis menanggapinya sembari mengangguk pelan.
"Omong-omong, papa mama kamu kerja apa, Nak?" tanya Vita dengan tatapan antusias.
Sekarang Tiara sadar, sesungguhnya Vita tak mengajaknya nonton tv. Itu hanya alasan, Vita pasti ingin menginterogasinya saat ini. Astaga, Tiara gugup!
"Papa jualan peralatan rumah tangga, Tan. Sedangkan mama ... eum, udah meninggal sejak aku 8 tahun." Tiara menunduk dalam, memainkan jemari tangannya dengan gelisah. Meski begitu senyum tetap ia sunggingkan meski pelupuk matanya sudah menampung banyak cairan kesedihan.
Tak disangka-sangka, Vita menarik Tiara erat, langsung ke dalam dekapannya yang hangat. Mata Tiara membulat sempurna, lengkap dengan tubuh yang menegang kaku.
"Maaf, Nak, tante enggak tau hal itu." Dalam damainya pelukan Vita, Tiara hampir menjatuhkan air matanya lantaran terharu. Sudah cukup lama ia tak merasakan pelukan hangat dari seorang ibu.
"Bu-bukan salah Tante," ujar Tiara dengan suara bergetar.
"Nak, kalau kamu kangen sama mama kamu, bisa kok peluk tante selama yang kamu mau. Kamu beneran boleh anggap tante sebagai mama kamu sendiri." Perkataan yang dipenuhi kasih sayang, usapan hangat yang terus menyentuh pucuk kepalanya, membuat Tiara tak mampu mempertahankan ketegaran diri. Air matanya tumpah, bahkan isakan-isakan kecil lolos dari bibir mungilnya yang telah menyimpan banyak kepedihan.
Vita beberapa kali mengerjap-kerjapkan matanya yang terasa panas. Kelemahan yang ditunjukkan gadis muda di dekapannya itu sungguh menyayat hati, ada keinginan besar dalam diri Vita untuk melindungi anak ini. Rasanya, Tiara sama seperti putrinya Ivanna yang lemah, mereka sama-sama butuh untuk dilindungi dan dijaga seperti permata yang rapuh.
Setelah beberapa saat, Tiara menjadi lebih tenang. Ia melepas diri dari pelukan Vita, kemudian mengusap air mata yang membanjiri pipinya. Ia merasa makin canggung setelah menangis seperti anak kecil tadi, padahal ini pertemuan pertamanya dengan Ibu dari temannya, tapi ia sudah menunjukkan sisinya yang rapuh. Apa yang nanti akan dipikirkan Vita? Apalagi Vita saja bisa sampai tak mempedulikan putra dan putrinya yang lain, bagaimana dengannya yang hanya orang asing?
"Ma-makasih, Tante. Dan, aku minta maaf udah bikin baju Tante basah." Di luar dugaan, Vita malah terkekeh kecil.
"Enggak usah minta maaf, kamu nggak ada salah kok. Tante malah seneng kamu mau berbagi sedih sama tante, 'kan biar kita bisa jadi lebih deket." Jawaban enteng Vita sempat membuat Tiara kaget.
"Nak Tiara," panggil wanita paruh baya itu, membuat sang empu nama langsung memusatkan atensi sepenuhnya padanya.
"Iya, Tante?"
"Tante boleh minta tolong nggak sama kamu?" tanya Vita sembari menggenggam jemari gadis itu lembut dan penuh harap.
"Boleh, Tan. Apapun itu, kalau aku bisa bantu, pasti akan aku bantu kok." Tiara harus bisa terus memberi kesan baik mulai dari sekarang, agar sikap lemahnya tadi bisa tertutupi.
Vita tersenyum lembut. "Tolong terus temenan sama Ivanna, ya? Tolong jagain dia selama di sekolah, karena meski dia sekolah bareng dua saudaranya, hubungan mereka enggak terlalu baik. Karena itu, tante cuma bisa minta tolong sama kamu." Tiara terdiam. Sejujurnya, ia sangat shock mendengar ucapan Vita yang terkesan blak-blakkan.
"Sebenarnya, Ivanna itu lemah, Nak. Dia seumpama permata yang rapuh, berharga tapi sangat rentan. Sejak kecil, tante selalu jaga dia dengan sangat baik seperti di dalam kotak kaca yang indah. Tante enggak mau dia kenapa-napa, karena itu, mungkin tante jadi sedikit mengekang dia." Pandangan Vita terjurus lurus ke depan, namun Tiara tahu kalau Vita tidak sedang menatapnya, tapi menatap kilasan memori yang terpasang di dalam kepala wanita itu.
"Sejak berusia 7 tahun, Ivanna terus di home schooling karena kesehatannya yang mudah drop. Karena itu dia tidak memiliki banyak teman, dia selalu kesepian. Dan, entah kenapa dia juga menjauh dari kedua saudaranya. Sampai sebelum ke sekolah, yang Vanna miliki hanya mama dan papanya saja." Tiara merasa sayang dan sedih ketika setetes bulir kesedihan jatuh membasahi pipi wanita itu. Lantas, ia memegang tangan Vita lembut, seolah memberi kekuatan.
Vita yang tersadar langsung tersenyum sembari menghapus air matanya. Ia membalas genggaman Tiara. "Tapi, sekarang Vanna enggak akan kesepian lagi, karena udah ada kamu di sampingnya."
Bibir gadis berkacamata itu ikut tertarik, menciptakan senyum tipis yang manis. "Aku janji akan terus ada di samping Vanna, Tan. Karena aku 'pun butuh dia." Itu benar, dengan adanya Ivanna, hidup Tiara semakin berwarna. Bagaimana mungkin ia menjauhi gadis itu setelah ini? Setelah tau, seperti apa latar belakang gadis itu.
"Tapi, maaf sebelumnya, Tan. Meskipun aku belum lama kenal dengan Vanna, tapi aku rasa perlu mengoreksi satu hal dari ucapan Tante." Kening Vita berkerut bingung.
"Ivanna bukan permata yang rapuh, Tan. Dia permata yang kuat, bahkan sangat kuat."
Tanpa mereka ketahui, ada dua orang dengan wajah sama persis yang ternyata sedang menguping pembicaraan mereka. Seorang menunjukkan ekspresi terharu dari lantai atas, sementara seorang lagi menunjukkan ekspresi muak di balik tembok pemisah ruang tamu dengan ruang keluarga.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Selamatkan Mereka[On Going]
Novela Juvenil[PLAGIATOR DILARANG MENDEKAT] [REVISI SETELAH TAMAT] Mati di tangan keluarga sendiri. Bagaimana rasanya? Sakit, kecewa. Meski hubungan mereka tak persis seperti keluarga yang sebenarnya, Mia tak pernah menyangka kalau bibinya bisa bertindak senekat...