Bab 29. Cerai

10 0 0
                                    

Warning!
Terdapat banyak kata-kata kasar.


Malam semakin larut, namun Hanna masih saja menyibukkan diri dengan tugas-tugas sekolah. Meski matanya beberapa kali terpejam paksa, ia tetap bertahan karena masih banyak tugas yang perlu diselesaikan.

Hubungan sebab-akibat. Karena setiap pulang sekolah Hanna harus bekerja dan melakukan berbagai kegiatan lain, tengah malam seperti sekarang-lah waktunya mengerjakan tugas sekolah. Meski menjadi penerima beasiswa bidang non-akademik, Hanna harus tetap bertanggung jawab terhadap nilai akademiknya. Karena bisa saja beasiswanya dicabut bila nilainya rendah.

Dengan mata yang mulai rabun karena menahan kantuk, Hanna tiba-tiba saja dikagetkan dengan ketukan pintu yang teramat kencang dari luar. Daripada mengetuk, mungkin lebih tepat jika disebut menggedor. Melihat jam pada ponselnya, sudah hampir pukul satu dini hari. Seketika raut Hanna berubah datar. Hanya ada satu tamu yang akan datang jam segini. Tamu tak diundang yang lebih menakutkan dari setan.

Dari pintu yang tak ditutup, Hanna melihat ibunya tergesa ke depan, hendak membuka pintu. Dengan gerakan malas, Hanna menutup pintu kamarnya guna menghindari keributan yang akan terjadi tak lama lagi.

Melirik ke kasur, ada Gia yang tertidur pulas di sana. Hanna segera mengeluarkan dua pasang kapas berukuran kecil dari dalam laci lemari, lalu menyumpal telinga adiknya. Sepasang lagi ia gunakan agar tetap fokus dalam mengerjakan tugas.

Meski telinganya sudah disumpal, tapi ribut-ribut dari ruang tengah tetap saja terdengar. Tangan Hanna mengepal tanpa sadar, sangat geram.

"GUE MINTA DUIT!"

"Gak ada, Mas. Kemarin aku masuk rumah sakit, semua uangnya kepake untuk pengobatan."

"Halah! Alesan lu Anj*ng! Cepet bagi duit!"

"Sumpah, Mas, gak ada lagi. Aku gak ada duit lagi!"

Bisa Hanna dengar suara ibunya yang kini bercampur tangis. Urat-urat tangannya yang mengepal terlihat menonjol, jika bisa Hanna ingin sekali membogem pria yang berstatus bapaknya itu.

Namun, ia tak bisa melakukannya. Ibunya akan menyuruhnya berhenti dan berceramah tentang menghargai sosok bapak, hingga nanti berakhir dengan mereka yang dipukuli. Hanna juga tak habis pikir dengan otak ibunya itu.

"Mana anak lu? Panggil Hanna buat kasih gue duit, kerja kan dia? Hanna! Hanna, sini!"

"Mas, cukup, Mas. Kamu lagi mabuk, jangan buat keributan lagi. Anak-anak udah tidur, jangan ganggu mereka."

"BACOT BANGET SIH LU ANJ*NG! PANGGIL HANNA GUE BILANG!"

Prang!

"Mas!"

Hanna memejamkan matanya. Satu barang kembali melayang malam ini, sudah biasa. Jika pria berstatus bapaknya itu pulang, pasti piring ataupun gelas di rumah akan pecah dibuatnya.

"Padahal dia gak ada beli apapun untuk keperluan rumah, bisa-bisanya ngehancurin. Bangs*t banget," gumam Hanna dengan emosi yang dia tahan sekuat tenaga.

Jika ia juga kehilangan kesabaran malam ini, hanya ibunya saja yang akan repot. Dan Hanna tentu tak ingin hal itu terjadi.

"Cukup, Mas! Cukup aku bilang!" Suara ibunya yang menangis tersedu-sedu membuat dada Hanna sesak. "Setiap kali pulang dari minum-minum dan judi, kamu selalu bikin kekacauan. Aku udah capek, Mas! Harapanku kalau kamu bisa berubah lagi udah hilang! Batas sabarku udah abis, Mas!"

Hanna membuka mata dengan perasaan kaget. Apa yang ia dengar itu benar? Apa pendengarannya tak bermasalah? Ibunya ... melawan bapak.

"Bertahun-tahun aku sabar jadi samsak kamu, ngebiarin anak-anak kita juga disiksa kamu, karena aku masih berharap kamu yang dulu balik Mas. Tapi apa? Kamu gak pernah berubah! Kamu selalu aja kasar! Kamu cuma bikin kita menderita!"

Selamatkan Mereka[On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang