13. Luka Bisma

4.3K 317 2
                                    

Suara erangan menggema di penjuru ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara erangan menggema di penjuru ruangan. Disusul dengan suara teriakan histeris dan tangis yang tak terelakkan. Pukulan dan tendangan terus bersarang di tubuh yang sudah terkulai.

“Cukup Bisma! Tolong berhenti!” teriak seorang wanita yang berusia sekitaran empat puluh tahun.

Wanita itu menahan Bisma yang tengah kewalahan mengatur napas. Wajah laki-laki itu basah dengan keringat dan air mata. Tidak lupa juga terdapat darah di ujung bibir. Rahangnya mengetat, Bisma menatap tubuh yang terdampar di atas lantai itu dengan nyalang.

Amarah Bisma masih membara. Ia belum cukup puas memukuli pria itu. Jika perlu, sampai tidak bernyawa lagi pun akan ia hadapi. Kalau bukan karena Mamanya, sudah habis sudah di tangan dia sejak tadi.

Bisma kembali mengerang saat mendapati pria yang terkapar itu hendak bangkit. Baru saja akan melayangkan pukulan baru, lagi-lagi tangannya ditahan oleh sang Mama, Putri.

“Jangan, Nak! Mama mohon jangan! Bagaimanapun dia papamu, Bisma!” mohon Putri di tengah isakannya. Ia susah payah memeluk sang anak dari belakang yang ingin memberontak.

“Papa?”

Tawa Bisma tidak tertahan lagi. Laki-laki itu tertawa sembari menahan perutnya. Ia tertawa keras hingga menggaum ke seluruh penjuru ruangan. Hingga tawanya perlahan memelan dan menatap mamanya dengan tawa yang tersisa.

Wajah basah dan penuh lebam. Rambut berantakan. Penampilan yang sangat kacau. Berbanding terbalik dengan kesehariannya yang selalu nampak anggun dengan pakaian dinasnya. Guru yang selalu dihormati di sekolah, terlihat hancur saat di rumahnya sendiri.

Apa bisa Bisma baik-baik saja melihat Mamanya hancur seperti ini? Sudah empat tahun berlalu, mengapa harus terjadi lagi?

“Dia bukan Papaku,” desis Bisma sangat tajam. Hingga membuat merinding untuk siapapun yang mendengarnya.

“Nak…” Putri menggeleng pelan. Ia tidak ingin anaknya bersikap seperti itu. Bagaimanapun ikatan darah tidak bisa terhapus.

“Bukankah sejak awal bajingan ini nggak pernah menganggapku anak?”

Bisma menendang pria itu tiba-tiba dan membuat Putri memekik. Bisma menepis pegangan Mamanya dan menyejajarkan tubuhnya untuk bisa melihat pria itu lebih dekat. Bisma menarik kerah pria itu dan mendengkus setelahnya.

Rama, pria itu terlihat meringis saat Bisma menarik kerahnya. Wajahnya sudah tidak karuan. Penuh lebam dan luka Untuk membuka mata saja pun, rasanya sulit karena seperti ada sesuatu yang mengganjal.

“Kenapa harus datang lagi, hah? Nggak puas kamu siksa batin kami dari dulu? Nggak puas kamu sakitin Mama kayak gini lagi? Apa penjara itu nggak cukup buat hukum manusia biadab kayak kamu? Mau apa lagi, sih? Hah?” Bisma lelah. Sungguh.

Bisma tidak peduli dengan luka fisik dan batin yang ia dapatkan akibat pukulan dari papanya, tapi ia tidak bisa terima kalau pria itu menyakiti satu titik pun pada mamanya.

Langit Tak Selalu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang