Kata siapa semua akan baik-baik saja? Sesampainya Bisma, Dara dan Bani di posko yang ditempati oleh mereka sudah berkumpul beberapa tetangga dan tentu saja Pak Dasa bersama Gala di sana. Teman-teman mereka terlihat sangat kebingungan dan meminta penjelasan pada Bisma karena Pak Dasa secara terang-terangan meminta mereka untuk keluar dari posko saat ini.
“Nah, anaknya sudah datang!”
Bisma dapat melihat raut amarah yang terpancar dari wajah Pak Dasa saat menatap ke arahnya. Di belakang pria paruh baya itu terdapat Gala yang berdiri tegak dengan mengangkat sedikit kepala. Angkuh.
Rupanya Gala sudah mengibarkan bendera perang sesungguhnya. Pantas saja, laki-laki itu tidak melakukan perlawanan apa pun dan bereaksi seolah pukulan-pukulan itu tidak membuatnya tersulut emosi. Namun, Bisma salah menilai. Gala memilih terlihat kalah dan maju dua langkah ke depan. Buktinya, tanpa menunggu hari berganti atau mungkin tak sampai satu jam saja, laki-laki itu sudah mengadukan hal ini pada Pak Dasa, selaku orang tuanya dan pemilik posko tempat Bisma dan kawan-kawan tinggal.
“Bis, apa yang sebenernya terjadi? Kok nggak ada angin, nggak ada hujan kita tiba-tiba diusir sama Pak Dasa?” bisik Aksa saat Bisma, Dara dan Bani bergabung dengan teman-teman lainnya.
Bisma tidak menjawab. Laki-laki itu langsung berjalan menghadap ke arah Pak Dasa dan sedikit menundukkan kepalanya. “Sepertinya, Bapak sudah dengar apa yang baru saja terjadi, saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya atas kejadian pemukulan tadi. Tapi, tolong jangan libatkan mereka dalam hal ini. Mereka benar-benar nggak tahu menahu soal ini, Pak.”
Bisma menoleh ke arah teman-temannya yang masih kebingungan dan belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Mereka seperti terkejut mendengar pernyataan Bisma.
“Kamu pukul siapa, Bisma?” tanya Nadin bersuara panik. Gadis itu hendak mendekat ke arah Bisma, namun diberi kode oleh laki-laki itu untuk tidak mendekat.
Nadin menghela napas berat. Ia menoleh ke arah Dara hendak mencari tahu apa biang dari masalah ini.
“Bisma mukul siapa?” bisik Nadin sangat pelan pada Dara.“Gala,” balas Dara dengan gerakan mulut dan tak bersuara.
Karena suasana masih begitu tegang, Nadin memilih untuk tidak bertanya lagi walau sebenarnya ia sangat penasaran. Kalau keadaan sudah lebih dingin, ia akan siap bertanya semuanya.
Pak Dasa terlihat begitu murka. Ia bahkan tidak segan untuk menunjuk-nunjuk wajah Bisma dengan telunjuknya. “Halah! Saya nggak mau dengar kata-kata kamu! Kalian keluar dari sini sekarang! Saya nggak mau rumah saya dijadikan tempat untuk orang yang suka pukul-pukul seenaknya! Mahasiswa macam apa kamu? Udah jadi beban keluarga, nggak usah sok jagoan!”
Tajam dan menusuk. Lidak tak bertulang itu menikam bak belati. Para penonton yang berada di sana pun sama terkejutnya dengan Bisma yang kini sudah mengepalkan tangan. Rahangnya sudah mengetat. Kalau bukan karena menyangkut nasib para anggotanya, mungkin Bisma sudah melayangkan tinju pada lelaki tua itu.
Bisma menghela napas dalam-dalam, mencoba menetralkan segala bentuk amarah dalam hatinya. Ia menatap Pak Dasa dan berbicara setenang mungkin. “Mereka nggak salah. Kalau pun ada yang harus keluar dari rumah ini, itu artinya saya saja yang harus keluar, karena memang hanya saya yang memukul anak bapak. Jadi tolong, biarkan teman-teman saya tinggal di sini sampai semuanya selesai.”
“Saya nggak mau tau! Pokoknya kalian semua harus pergi dari sini!” Pak Dasa tidak bisa dibantah. Ia sungguh kecewa dengan anak-anak ini. Mengapa tidak? Bisa-bisanya salah satu dari mereka membuat ulah pada anaknya sendiri. Siapa yang terima jika anak semata wayangnya dipukuli seperti ini?Di wajah Gala terdapat beberapa lebam dan luka di ujung bibirnya.
Tidak tahan untuk diam, Dara pun maju untuk berdiri di sebelah Bisma dan menatap Pak Dasa dan Gala secara bergantian. “Tapi bukannya seharusnya Pak Dasa dengar dulu alasan kenapa teman saya pukul anak bapak? Bukankah nggak akan ada asap, kalau nggak ada api?”
Dara sedikit melirik ke arah Gala yang tampak biasa saja. Bahkan Dara dapat melihat seulas senyum miring terbit di wajah laki-laki itu. Gala yang menganggumkan di mata Dara, seketika musnah begitu saja. Laki-laki itu terlihat berbeda saat ini, bukan seperti Gala yang ia kenal sebelumnya. Atau mungkin memang seperti ini tabiat aslinya?
Pak Dasa mendengkus. Ia menatap Dara dengan penuh telisik. Pria tua itu menyusuri tatapnya dari bawah sampai atas, setelah itu sebuah senyum meremehkan terbit di sana.
“Oh, ini perempuan yang udah keganjenan sama anak saya? Sudah jelas sekali bukan levelnya anak saya!”
Jantung Dara melengos, spontan ia menoleh ke arah Gala yang juga menatapnya rendah. Ini gila! Pernyataan itu membuat Dara terpaku beberapa saat.
“BISMA!”
Banyak suara yang menahan perlakuan Bisma yang tiba-tiba hendak menarik kerah baju pak Dasa. Mata Bisma memerah dan nyalang. Emosinya sudah berada di puncak. Kalau saja Janu, Aksa dan Bani tidak gerak cepat untuk menahan dan menjauhkan Bisma dari Pak Dasa, habis sudah laki-laki tua itu.Amarah Bisma memuncak saat dengan terang-terangan Pak Dasa meremehkan Dara. Andai saja Pak Dasa tahu kalau selama ini anak semata wayangnya lah yang gencar mendekati Dara. Kendalinya makin hilang ketika melihat Gala lagi-lagi tak mempedulikan apa pun hal buruk yang menimpa Dara hanya karena berhubungan dengan laki-laki itu. Dasar laki-laki culas!
“Nah! Benar, bukan?” Pak Dasa menoleh ke arah para tetangga seolah membuktikan kalau dugaannya itu benar adanya. Anak muda bersumbu pendek. “Sudah seharusnya anak-anak ini pergi dari rumah saya! Kalau bisa, pergi aja dari kampung ini! Rusak kalian semua!”
Sialnya, para tetangga hanya menjadi penonton tanpa ada yang mau menengahi. Tidak ada yang melapor ke pak RT atau aparat desa lainnya. Kuasa Pak Dasa membuat para tetangganya takut untuk sekadar membela atau melaporkan ke ketua RT. Maka dari itu, lebih baik tidak berurusan dengan Pak Dasa, karena akan seruwet ini masalahnya.Siapapun yang mengenal Pak Dasa itu pasti akan menilai laki-laki tua itu baik, dan akan selalu baik jika tidak ada yang mengusiknya, sekaligus keluarganya.
“Baik, kalau seperti itu, biar kami pergi dari rumah bapak. Tanpa mengurangi rasa hormat, saya beserta teman-teman, kami ucapkan terima kasih karena sudah bersedia memberikan tumpangan. Dan tolong beri kami waktu sampai sore ini untuk membereskan semua barang-barang,” putus Aksa yang mewakili Bisma yang masih tersulut emosi.
Keputusan Aksa ini membuat beberapa dari temannya mendengkus tak terima, tapi ada juga yang tetap diam mengikuti alur. Ia tahu, ini tidak akan mudah untuk mereka. Namun, daripada perdebatan ini terus berlangsung panjang dan justru menimbulkan masalah baru, lebih baik ikuti saja keinginan Pak Dasa.
Walau pada akhirnya mereka sendiri belum menemukan solusi untuk kepindahan dadakan ini.
Pak Dasa dan Gala meninggalkan posko, setelah berhasil mengalahkan Bisma dan kawan-kawan. Sementara para tetangga hanya bisa menatap mereka dengan iba tanpa bisa membantu hal lainnya.
Aura ruangan ini berubah begitu mereka masuk ke dalam posko setelah huru-hara yang terjadi. Helaan napas kecewa, sedih tumpah ruah bercampur aduk dengan perasaan yang tak menentu. Tidak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun, mereka terlalu kecewa hingga takut untuk melontarkan kata-kata yang mungkin akan menyakiti satu sama lain. Mereka akhirnya memilih mengikuti intruksi untuk membereskan semua barang milik mereka tanpa suara.
“Maaf…” Suara bergetar Bisma memecah keheningan.
Laki-laki itu tertunduk di sudut ruangan. Ia tidak memiliki nyali untuk menatap teman-temannya satu persatu. Ini terlalu menyakitkan. Bisma merasa kalau dia sudah gagal untuk menjaga teman-temannya. Ia merasa gagal menjadi ketua yang seharusnya memimpin di jalan yang benar. Ia gagal untuk mengendalikan dirinya sendiri.
“Saya udah bikin kalian terlibat dan kesusahan karena kesalahan saya,” ucap Bisma yang mulai tercekat.
Masih dengan tertunduk, Bisma menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. “Saya gagal,” lirih Bisma yang sudah tidak bisa lagi menahan isaknya.Thank you for reading, yorobuuuun!
Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
RomanceBisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selama satu bulan, me...