Takdir sepertinya belum puas bermain-main dengan perasaan Dara. Setelah diusir Bisma karena kelancangannya, rahasia Dara yang pernah memiliki hubungan dengan Bisma terbongkar oleh Bani dan nyaris terkecoh dengan pertanyaan Nadin tempo hari, Dara makin hati-hati untuk bersikap. Ia sebisa mungkin mengurangi interaksi dengan Bisma atau memilih diam jika perbincangan dengan teman-temannya sudah menyangkut laki-laki itu.
Rupanya, berurusan dengan Bisma ini sangat berbahaya. Tidak baik untuk kesehatan jantung Dara. Bawaannya selalu tidak tenang. Terlalu banyak kekhawatiran yang ada di benaknya. Takut semua orang tahu kalau dia adalah mantan kekasihnya Bisma dan terlalu takut untuk terbawa perasaan.
“Yuk, pulang!”
Kepala Dara mengadah dan matanya membulat saat mendapati Bisma tengah berdiri di hadapan. Ia yang tengah mengikat tali sepatunya pun sontak memutar kepala untuk mencari teman-teman. Tidak ada siapapun selain anak-anak yang sedang berhamburan keluar dan juga memakai sepatu masing-masing.
Mata Dara kembali beredar. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Ia benar-benar tidak menemukan teman-temannya, selain Bisma di sini.
“Kamu cari siapa?”
“Yang lain ke mana?” tanya Dara yang tentu saja panik. Ia tidak bisa membayangkan jika harus jalan berdua saja dengan Bisma.
Ditambah lagi jarak dari taman baca ke posko mereka cukup jauh. Mungkin dengan waktu tempuh setengah jam. Memikirkannya saja, Dara frustrasi sendiri. Ini pertama kalinya mereka jalan berdua. Benar-benar berdua, tidak ada teman-teman yang lain.
“Mereka balik duluan. Katanya, sih, ada keluarga Manda yang jenguk dan Manda nggak mau jalan sendirian ke sana. Jadi, Caca sama Aksa pulang bareng sama Manda.”
Dan ninggalin si Bisma untuk jalan bareng aku, gitu? Daripada harus kayak gini, bukannya lebih baik si Bisma ikut Manda aja, ya? Jadi, aku jalan sendirian aja. Dara membatin.
Dara menghela napas dalam-dalam, lalu menganggukkan kepalanya. Kalau sudah begini, mau tak mau dia harus jalan berdua dengan Bisma, kan?
“Kayaknya beban banget jalan sama saya,” sindir Bisma yang melihat Dara ogah-ogahan.
Dara tersenyum miring dan memilih tak menanggapi. Ia bangkit dari duduk setelah memasang sepatu dengan baik, kemudian menepuk-nepuk bagian belakangnya yang kotor. Setelah itu ia memberi kode pada Bisma untuk jalan lebih dulu.
“Harus banget, ya, kamu jalan di belakang saya?” tanya Bisma setelah menyadari Dara memilih berjalan di belakangnya.
Dara mendengkus. Kali ini dia berjalan lebih cepat dan mendahului Bisma. Kalau laki-laki itu tidak ingin Dara berjalan di belakangnya, maka ia akan maju jauh ke depan.
“Cepet banget jalannya, kayak dikejar setan,” celetuk Bisma lagi sembari menahan tawa.
Dara memutar bola matanya sebal dan terus berjalan tanpa peduli dengan Bisma yang mencoba menyejajarkan langkah. “Iya, setannya kan kamu!” rutuk Dara.
Kali ini tawa Bisma pecah seketika. Ia berjalan makin cepat dan meraih tangan Dara setelah berhasil sejajar dengan gadis itu. “Nah, gini kan enak, Ra!” ucap Bisma dengan memamerkan deretan gigi rapinya.
Langkah Dara sempat terhenti beberapa detik, sebelum akhirnya ia mencoba menepis genggaman tangan Bisma.
“Nggak usah pegang-pegang!” kata Dara setelah berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Bisma.
Karena tidak ingin Bisma macam-macam lagi, Dara menyamakan langkahnya dengan laki-laki itu. Namun, sedikit memberi jarak di antara keduanya.
Percaya atau tidak, degup jantung Dara benar-benar terasa tidak karuan. Siapa bilang ia biasa saja saat Bisma berhasil menggenggam tangannya tadi? Sesaat itu pula, Dara nyaris menyerahkan diri sebelum akhirnya ia menyadari kalau ini bukanlah hal yang tepat.
Mengenang masa lalu memang indah, tapi bukankah hidup harus terus maju ke depan? Dara terus mewanti-wanti dirinya agar selalu sadar diri.
Lagipula masa lalunya itu menyakitkan dan akan selalu sakit jika diingat.Bisma juga sudah punya Nadin. Itu artinya Dara harus menepis harapan-harapan yang tiba-tiba naik ke permukaan hanya karena genggaman tangan. Sungguh dahsyat, bukan?
“Kamu banyak berubah, ya, Ra? Dulu, kamu paling seneng kalau pegang tangan aku,” ucap Bisma dengan senyum tipis di wajahnya.
Dara mengernyitkan kening. Ia menoleh ke arah Bisma dengan tatapan tak percaya. “Kamu kesambet apaan, Bis?”
Selain tiba-tiba membicarakan masa lalu, kata ‘saya’ pun sudah kembali lagi menjadi ‘aku’. Bisma aneh, pikir Dara.
“Dulu, kamu—”
Kalimat Bisma terhenti saat Dara tiba-tiba menyimpan telunjuknya di depan bibir. Bersamaan dengan langkah mereka yang kembali terhenti.
“Berhenti, Bisma! Kita nggak lagi hidup di masa dulu!”
Dara memberi peringatan. Ini terlalu tiba-tiba untuknya karena perubahan Bisma yang secepat ini. Padahal kemarin laki-laki itu dengan tegas mengusirnya seolah ia tak berarti, mengapa semuanya berbalik dengan mudah?
“Apa kita nggak bisa balik ke masa itu?”
Bolehkah Dara tertawa sekencang-kencangnya dengan pertanyaan konyol yang terlontar dari mulut Bisma?
“Aku kangen kita, Dara.”
Dara mengusap wajahnya dan menghela napas dalam-dalam. Kali ini tawanya tidak lagi ia tahan. Dara tertawa sampai keluar air mata. Ia tidak peduli dengan wajah Bisma yang terlihat begitu nelangsa dan frustrasi. Kata rindu yang Dara nantikan selama ini, nyatanya tak membuat gadis itu tersentuh.
Mereka berhenti di sebuah jalanan dekat persawahan yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang petani yang sibuk dengan garapannya.
“Kalau bisa balik ke masa itu pun, aku nggak pernah mau datang lagi ke sana dan harus ngulang semuanya dengan kamu! Kamu yang pergi, Bisma! Kamu yang tinggalin aku! Kamu pikir aku baik-baik aja di masa itu, hah? Kamu salah!”
Dara menelan salivanya dengan susah payah dan kembali menatap Bisma dengan nyalang. Emosi yang sudah lama ia tahan sudah saatnya tumpah ruah.
“Kalau aku tau rasanya bakal sesakit itu, aku nggak pernah mau memulainya dengan kamu! Kenangan yang kamu kangenin itu, kenangan yang katanya indah di masa itu adalah hal yang paling omong kosong buat aku! Terlalu sakit buat aku untuk inget semuanya, Bisma! Sialnya, aku selalu inget! Semua gara-gara kamu!”
Napas Dara naik turun. Ia mengadahkan kepalanya dengan cepat untuk menghalau air mata yang hendak turun. Menangis di hadapan Bisma adalah kemenangan untuk laki-laki itu, maka ia putuskan ini tidak akan terjadi. Sekalipun sesak di dadanya sudah tak tertahan, tapi Dara harus tetap kuat untuk menahan.
Tidak ada lagi kalimat yang terlontar dari bibir Dara. Gadis itu pergi meninggalkan Bisma yang mematung tak berkutik. Ia sudah tidak peduli hubungannya dengan Bisma setelah ini. Entah menjadi lebih buruk, atau akan selalu buruk.
Dara sudah tidak peduli dengan takdir yang terus bermain-main.
Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
Romance[SEGERA TERBIT] Bisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selam...