17. Berubah

4.1K 291 3
                                    

"Gue mencium gelagat aneh."

Gumaman Janu sontak membuat empat orang yang ada di sana, Aksa, Bani, Dara dan Manda, menoleh ke arah laki-laki itu dengan bingung.

"Aneh apaan? Eh, siapa yang aneh?" sahut Bani penasaran.

Janu menggerakkan kepala dan menunjukkan dengan dagunya ke arah luar yang membuat ke-empat orang itu dengan kompak menoleh ke arah yang ditunjukkan Janu. Di luar sana, tepatnya di teras depan, terdapat Bisma yang tengah bersandar di tiang sembari menyesap rokok bersama dengan Hansel. Tidak lupa ada Nadin di sebelahnya.

Dara yang dari awal 'ngeh' membicarakan Bisma, langsung memilih untuk memainkan handphone. Ia malas untuk terlibat pembicaraan mengenai laki-laki itu.

"Anehnya gimana? Perasaan cuma ngerokok doang," timpal Manda yang tidak mengerti arah pembicaraan Janu.

Sementara Aksa, Bani dan Janu spontan saling melirik satu sama lain dan juga melirik sesaat ke arah Dara secara bersamaan. Setelah itu mereka melempar pandang ke arah Manda yang masih kebingungan dengan pernyataan Janu.

"Justru itu, setahu gue si Bisma tuh yang paling jarang nyebat di antara kita. Nah, akhir-akhir ini gue liat dia ngerokoknya kenceng juga. Sering banget, nggak biasanya. Ya, kan, Dar?"

Dara menurunkan handphone, lalu menoleh ke arah mereka yang tengah menantikan jawaban darinya. Gadis itu mengangkat kedua bahu, "Sorry, aku nggak merhatiin," balas Dara yang setelahnya kembali memainkan handphone.

Bohong kalau Dara bilang tidak memerhatikan sama sekali. Justru ia pun sama herannya seperti teman-temannya itu. Ia sangat tahu kalau Bisma memang sangat membatasi diri untuk merokok. Laki-laki itu hanya akan mengonsumsi nikotin di saat butuh saja, bukan yang dijadikan kebiasaan sehari-hari. Makanya, saat ia menyadari Bisma banyak merokok akhir-akhir ini, pikiran Dara langsung terlempar pada kejadian tempo hari.

Kejadian di mana Bisma mendengar semua curahan hati Dara yang sudah lama dipendam. Kesakitan hati gadis itu karena tingkah lakunya. Mungkin bisa saja, Bisma banyak pikiran dan mengalihkannya pada rokok. Seharusnya Dara tidak mempedulikan lagi keadaan laki-laki berengsek bernama Bisma itu, tapi tetap saja jauh dalam lubuk hati Dara, ia mengkhawatirkannya.

"Tapi beneran, deh, saya juga perhatiin emang si Bisma itu agak aneh belakangan ini. Perasaan hubungannya sama si Nadin anteng-anteng aja. Nggak kayak orang berantem, malah makin nempel," ucap Bani sembari melihat ke arah Bisma dan Nadin yang tengah mengobrol di luar ruangan.

Dara menghela napas dalam-dalam, sebelum akhirnya ia bangkit dari duduknya.

"Mau ke mana, Dar?" tanya Manda dan juga Bani secara bersamaan.

Dara menggaruk rambutnya yang tak gatal, lalu pura-pura menguap. "Aku ngantuk. Mau nyusul Caca. Tidur duluan, ya!" pamit Dara pada keempat orang temannya.

"Gimana? Ketahuan, kan, penyebabnya si Bisma jadi aneh?" tanya Janu setelah Dara masuk ke kamar.

"Udah saya duga, sih," sahut Aksa yang sejak tadi memilih diam dan menyimak saja.

Bani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Walau sebenernya saya patah hati, kalau saya nggak pernah dilirik sama Neng Dara, tapi kalau kasusnya begini, saya mau dukung aja yang kisah lamanya belum kelar," celetuk Bani mendramatisir.

Sementara itu, Manda yang masih di antara mereka hanya bisa melongo kebingungan. Sejak tadi, ia kesulitan untuk menangkap kata-kata atau mungkin kode yang dikatakan oleh teman-temannya itu.

"Emang sebenernya ada apa, sih? Aku dari tadi ngang-ngong aja kagak ngerti apa-apa," protes Manda sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. "Jadi, sebenernya si Bisma itu aneh kenapa? Ada yang bisa jelasin?"

"Lu tidur aja, deh, kayaknya, Nda," titah Janu setengah mengusir.

Hal ini membuat Manda mendengkus tak terima. Sudah dibuat penasaran, eh, malah diusir. Kurang ajar memang teman-temannya. Berhubung Manda tidak ingin ambil pusing, ia pun akhirnya menuruti perkataan Janu.

"Sorry, ya, Man. Ini masih rahasia soalnya," gumam Bani yang tentu saja tidak akan terdengar oleh Manda.

***

Jika diberi kesempatan untuk memilih, Dara ingin pergi bertemu dengan Moza. Ia merindukan celotehan ajaib dari bibir sahabatnya itu. Mereka masih sering bertukar kabar, terhitung setiap hari, walau hanya melalui pesan singkat. Namun, akan lebih membahagiakan kalau ia bisa bertemu langsung dengan Moza dan memeluk gadis itu erat-erat.

Kalau saja Dara sudah siap menceritakan perihal masa lalunya pada Moza, mungkin saat ini ia sudah menceritakan panjang lebar mengenai perasaannya. Dara dilema. Di sisi lain, ia merasa hatinya sakit karena masih terbelenggu di masa lalu. Namun, di sisi lain ia juga merasa sudah kelewatan pada Bisma. Memang, berdamai dengan keadaan itu sangat sulit. Apalagi kalau keadaan itu sangat membekas dan menyakitkan.

Omong-omong soal Moza, Dara jadi kepikiran kalau ia ingin mengenalkan gadis itu pada Bani. Menurut Dara, karakter Bani yang kocak dan polos ini pasti akan cocok dengan sahabatnya yang juga banyak berbicara. Membayangkan mereka bertemu saja, Dara sudah bisa merasakan bagaimana berisiknya Moza dan Bani jika disatukan.

"Duh, Neng Dara senyum-senyum bae. Ada apa, nih?"

Bukan Bani namanya kalau tidak kepo. Sebelas dua belas bukan dengan Moza?

Eh, tapi, memang Bani dipanggil Dara untuk mendekat karena ada yang ingin ia bicarakan.

"Ban, bisa request nggak kalau acara puncak nanti, aku di bagian konsumsi aja? Aku bosen tau, bagian acara terus," bisik Dara yang tengah bernegosiasi dengan Bani, selaku penanggung jawab acara puncak nanti di penghujung bulan.

Tatapan Bani berubah menjadi memicing. Sebelumnya ia menoleh ke sekitar dan memastikan tidak ada orang lain selain mereka berdua di sana.


"Halah! Bilang aja nggak mau bareng sama si Bisma! Iya, kan?"

Dara segera menutup mulut Bani dengan cepat. Ia panik. Wajar saja, karena Bani berbicara tanpa filter seperti tadi.

Usai penemuan foto dan pengakuan Bani saat itu, akhirnya Dara jujur mengenai masalalunya dengan Bisma pada laki-laki itu. Dengan syarat, Bani harus tutup mulut dan tidak membocorkan pada siapapun. Termasuk pada teman-teman perempuan mereka. Ia masih berusaha untuk menjaga perasaan Nadin, gadis yang sedang dekat dengan Bisma.

"Ngomongnya nggak usah pake toa, bisa?" rutuk Dara setelah melepaskan tangannya dari bibir Bani. Ia mendelik sesaat, lalu mengubah tatapannya jadi memohon. "Pindahin, ya? Please! Aku barter aja sama Nadin, pasti mau tuh anak. Ya! Ya! Ya!"

Bani terlihat berpikir keras. Tak hanya alisnya yang bertaut, bibirnya pun ikut mengerucut. Perihal kepanitiaan acara puncak ini cukup sulit untuk dirombak, apalagi urusannya juga bekerja sama dengan karang taruna di desa ini. Akan ruwet pula urusannya.

"Duh! Sorry, Neng Dara, untuk yang satu itu mah nggak bisa diganti. Jadi, sabar-sabarin aja, ya, Neng! Keprofesionalanmu sedang diuji. Semangat!" Bani terkekeh puas setelah ia menepuk-nepuk bahu Dara yang melemas.

Tentu saja Dara merasa berat dengan keputusan ini. Namun ia mengerti atas keputusan Bani. Tidak mudah bagi laki-laki itu merombak susunan kepanitiaan yang sudah terbentuk jauh-jauh hari, apalagi secara mendadak seperti ini.



"Kamu pasti bisa, kok, Neng! Ada aa Bani yang setia mendukung kamu di sini!" Bani menepuk dadanya sendiri dengan bangga.

Sementara Dara mencebik dan terkekeh geli setelahnya. Tidak tanggung-tanggung, Dara menggeplak bahu laki-laki itu. "Sebel banget, sumpah!"

Benar kata Bani, ini saatnya Dara menunjukkan keprofesionalannya. Toh, acara ini tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi antara dirinya dan Bisma, bukan?


Luv,HD💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Luv,
HD💜

Langit Tak Selalu BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang