Bani dengan sekuat tenaga mencoba melepaskan tangan gadis—yang disinyalir pacarnya Gala—yang tengah menjambak rambut Dara. Jambakkan itu sangat kuat, bahkan sampai tubuh Dara pun nyaris terhuyung kalau saja Bani tidak datang untuk menahannya.
“Mbak, tolong dilepas, ya!” Bani sebisa mungkin berbicara setenang itu.
“Enak aja! Saya nggak akan lepas, kalau rambutnya belum lepas dari kepala cewek pelakor ini! Botak, botak dah! Saya nggak peduli,” balas gadis yang bernama Najla itu dengan menggebu-gebu.
Amarah Najla rupanya masih terus berkobar. Ia menatap tajam Dara yang masih mengerang kesakitan. Ia masih belum puas untuk menyakiti gadis itu.
Masih dibantu oleh Bani, Dara mencoba melepas jambakan Najla. Ingin rasanya ia membalas untuk menarik rambut gadis itu, tapi masih tertahan karena Dara sadar diri kalau ia harus tahu diri sebagai orang asing di desa ini.
Beberapa detik kemudian terdengar suara tumbukkan dua benda yang disertai erangan. Suara itu sontak menarik perhatian tiga orang yang sedang sibuk dengan adegan jambak-jambakkan. Najla langsung menghentikan aksinya. Dara melepaskan diri setelah mendapat kesempatan. Sementara Bani membantu Dara untuk berjarak dengan Najla.
Mata mereka membulat saat melihat Gala terkapar di atas tanah. Dengan cepat dan bahkan melupakan huru-hara perjambakkan tadi, mereka berlari menghampiri laki-laki itu.
“Aa Gala!” pekik Najla yang panik melihat Gala yang mengerang kesakitan.
Bisma baru saja menonjok laki-laki itu hingga terhuyung dan tergeletak di sana. Gala sama sekali tidak punya ancang-ancang, bahkan tidak sadar saat Bisma mendekat dan tiba-tiba memukulnya.
“Bisma! Kamu teh apa-apaan?” Bani yang panik segera menahan Bisma dari belakang ketika laki-laki itu hendak melayangkan satu tonjokkan lagi ke tubuh Gala.
Bisma menepis pegangan Bani, lalu menarik kerah baju Gala hingga tubuh laki-laki itu terangkat. Napasnya terlihat naik turun begitu menggebu-gebu. Wajahnya memerah dan rahangnya menegang. Bisma tidak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya menatap Gala dengan tajam.
“Bisma! Cukup!” Kali ini Dara yang berusaha menjauhkan Bisma dari Gala, dibantu dengan Bani.
Sementara Gala dipapah oleh satu anggota karang taruna yang tadi masih berada di sana dan juga Najla yang memeluk laki-laki itu dengan erat. Untung saja keadaan lapang begitu sepi. Bisa-bisa jadi tontonan warga kalau begini ceritanya.
Gigi Bisma bergemeletuk dan masih menatap Gala seolah ingin menerkam. Laki-laki itu melangkahkan kakinya ke arah Gala yang tidak ada perlawanan sama sekali. Pergerakan Bisma lagi-lagi membuat Bani dan Dara menatap was-was laki-laki itu.
“Kalau kamu nggak bisa jaga hati perempuan, jangan pernah main-main sama hatinya!” bisik Bisma dengan suara dingin dan menusuk. Ia memberi kode agar Gala melihat ke arah Najla dan Dara. “Lihat, kan, sekarang? Ketika kamu bermain hati, ada perempuan yang tersakiti dan berujung menyakiti.”
Tidak ada yang bersuara selepas itu. Aura Bisma ketika sedang marah memang bisa membuat siapapun yang ada di sekelilingnya bungkam seribu bahasa. Bahkan Najla yang tadi menggebu-gebu pun tak berkutik, Gala pun tak membalas apa pun.
Bisma sadar sesadar-sadarnya kalau ia sedang membuat masalah baru. Entah akan makin dibenci oleh Dara ataupun masalah tentang imej-nya sebagai mahasiswa di sini. Namun, ia tidak bisa lagi menahan amarahnya.
Bisma paling tidak bisa saat melihat perempuan diserang seperti ini. Apalagi saat dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat rambut Dara ditarik dengan sebegitu kuat. Seolah seperti de javu, kilasan rambut sang mama dijambak dengan kuat oleh papanya membuat amarah Bisma tak bisa dibendung. Yang membuatnya makin merasa kesal adalah ketika Bisma menangkap Gala tak melakukan apa pun untuk memisahkan dua perempuan itu.
Pasalnya, bagaimanapun juga amukan Najla pada Dara itu dikarenakan Gala. Najla menganggap Dara adalah seorang yang merebut kekasih gadis itu. Hal ini membuat Bisma naik pitam.
Gala dibawa pulang oleh Jaka dan Najla. Laki-laki itu hanya terlihat ada luka di ujung bibirnya. Sementara Bisma, Dara dan Bani masih terdiam di sudut lapangan.
“Ban, kamu bawa Dara pulang. Pastikan nggak ada luka di kepalanya. Saya mau cari angin dulu,” ucap Bisma tanpa menoleh sedikitpun ke arah Bani ataupun Dara.Tidak ada pergerakan dari Bani dan Dara yang membuat Bisma menoleh ke arah dua orang itu. “Kenapa?”
“Kita pulang bareng!” balas Dara seolah tak terbantahkan.
Bisma menerbitkan seulas senyum, lalu menggelengkan kepala. Ia menatap kondisi Dara yang sudah terlihat begitu lelah. Rambut gadis itu berantakan tak berbentuk. Bagian belakang baju terdapat kotoran pasir karena nyaris terjungkal saat menahan tubuhnya tadi. Bukankah lebih baik gadis itu segera membersihkan diri?
“Kalian duluan, ok? Biar masalah ini saya yang selesaikan. Saya nggak mau kalian terlibat karena kegegabahan saya,” pungkas Bisma sembari mengusir Dara dan Bani.
“Nggak! Kita pulang bareng-bareng!” tolak Dara sekali lagi. Gadis itu termenung beberapa saat, lalu menoleh ke arah Bani. “Kayaknya, kamu pulang duluan aja, deh, Ban. Kondisikan aja anak-anak yang lain, biar Bisma bareng sama aku,” putus Dara yang membuat Bisma dan Bani tercengang.“Eh, ngapain?” Mata Bisma membulat tak terima karena Dara malah justru mengusir Bani dan ingin tetap bersamanya. “Saya mau ke rumah Pak Dasa, Ra. Nggak usahlah kamu ikut-ikut urusan ini. Kan, saya yang udah gebugin Gala.”
“Iya, tapi semua awal mulanya gara-gara itu cewek jambak aku,” kilah Dara beralasan. Ia tidak mungkin membiarkan Bisma menyerahkan diri sendirian. Toh, secara tidak langsung, akar permasalahannya memang bermula dari Dara.
“Mending kamu pulang aja, deh, beneran. Liat tuh rambutmu udah kayak singa ngamuk,” celetuk Bisma yang sudah kehabisan akal untuk mengusir Dara.
Jauh dalam lubuk hatinya Bisma ketakutan sendiri. Ia takut kalau ini menjadi interaksi terakhirnya dengan gadis itu, karena ia lagi-lagi sudah melakukan hal yang mengecewakan. Bisma sudah benar-benar pasrah jika pada akhirnya Dara akan membenci."Kita bakal pulang, kalau kamu ikut pulang. Kita harus hadapi ini bareng-bareng, Bisma. Emang sih, aku nggak membenarkan kelakuan kamu yang sok jagoan itu, tapi tetep aja kita harus hadapi ini bareng-bareng. Iya kan, Ban?”
Diberi pertanyaan itu, Bani sontak menganggukkan kepala dengan cepat. Bagaimanapun Bisma adalah bagian dari mereka. Akan lebih mengkhawatirkan kalau laki-laki itu menghadapi semuanya sendirian. “Ya udah, kita pulang dulu aja, Bis. Tenangin diri dulu. Nanti kita datengin rumah Pak Dasa, sekalian minta maaf sama Gala yang udah dijadiin samsak sama kamu!”
Bisma terdiam beberapa saat, lalu menganggukkan kepala. Dua lawan satu, jelas kalah suara Bisma ini. Laki-laki itu menoleh ke arah Dara yang tengah merapikan rambutnya sendiri.
“Kamu nggak marah sama saya, Ra?” Pertanyaan itu terlontar dari bibir Bisma begitu saja.
Dara menatap Bisma dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Aku nggak suka cowok yang sok jagoan, main tangan, main fisik di situasi yang nggak seharusnya. Kalau niatnya untuk bela perempuan, boleh nggak, sih, kalau dinormalisasi?”
Bisma kembali membeku, sementara Bani menggeleng-gelengkan kepalanya tak habis pikir. “Kalian mah bener-bener, ya!”
Begini kalau ada rasa yang membutakan sesuatu. Ada saja hal abnormal yang dinormalisasi. Bukan begitu?Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
Romance[SEGERA TERBIT] Bisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selam...