“Kalau mau bahas soal kemarin, saya rasa nggak perlu. Saya nggak mau dengar apa-apa lagi, termasuk permintaan maaf dari kamu,” ucap Dara dengan tegas saat Bisma kini berada di sebelahnya.
Dara menyadari sejak kejadian kemarin malam, Bisma mencoba untuk berbicara kepadanya. Namun, laki-laki itu terus ditahan oleh teman-teman yang lain, karena memang Dara masih membutuhkan waktu sendiri dan tidak ingin diganggu.
Keduanya kini sedang berada di halaman belakang. Pagi-pagi sekali, Dara sudah menghabiskan waktunya di sana untuk merenung. Sampai akhirnya Bisma berusaha menyusulnya.
Siapa yang tidak sakit hati dikatakan sebagai wanita murahan? Terlebih perkataan itu terlontar dari mulut Bisma di depan anak-anak yang lain. Dara sudah biasa mendengar bisikan tetangga mengenai kedekatannya dengan Gala. Ada yang berkomentar positif dan tentu saja tak luput dari komentar negatif. Komentar paling jahat yang Dara dengar hanya dibilang ganjen dan selebihnya ia tidak mempermasalahkan itu. Toh, ia sendiri tidak merasa seganjen itu saat dekat dengan Gala.
Namun, saat kata-kata itu keluar dari bibir Bisma, Dara tidak bisa bersikap biasa saja. Hatinya terlalu sakit untuk mengingat kata-kata itu lagi. Wanita murahan? Lidahmu setajam belati, Bisma!
“Maaf, Ra.”
Senyuman sinis tercipta di wajah Dara ketika mendengar kata itu. Ia melirik ke arah Bisma dan mendengkus kesal. “Kamu tuli?”
Dara sudah tidak peduli seberapa jahat lagi kata yang akan terlontar dari mulutnya. Dara sedang dalam keadaan marah, seharusnya Bisma mengerti akan hal itu. Biarkan api itu padam dengan sendirinya, bukan malah mematik api lebih ganas lagi. Pernah empat tahun bersama, nyatanya tak membuat Bisma mengenal Dara dengan baik.
“Ra…” Bisma terlihat memohon saat Dara bangkit dari duduknya. “Saya sadar, saya keterlaluan,” ucap Bisma yang masih tetap dalam pendirian dan turut membuntuti Dara.
Geram dengan perilaku Bisma yang tidak bisa mengerti, Dara pun mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam. Gadis itu berbalik dan berhadapan langsung dengan Bisma. Tatapannya begitu tajam dan menusuk.
“Ternyata kamu emang nggak pernah kenal aku dengan baik, Bisma,” desis Dara yang sudah tidak peduli dengan banyaknya kepala yang menyembul di balik pintu.
Anak-anak itu berebutan agar bisa menguping dengan jelas.
Kalaupun rahasia tentang hubungannya dengan Bisma terbongkar hari ini, Dara tidak peduli. Dia sudah tidak peduli bentuk apa pun perkataan buruk tentangnya nanti.
Dara mendengkus sebal saat harus melihat wajah Bisma. Ia kemudian tertawa kecil sembari memicingkan matanya. “Seharusnya, kamu jangan pernah peduli dengan apa yang jadi urusanku! Urus aja urusanmu sendiri! Gitu, kan, yang kamu bilang waktu itu sama aku? Kenapa kamu nggak bisa terapin itu ke diri kamu sendiri?”
Anggap saja ini pembalasan dendam dari Dara untuk Bisma, setelah laki-laki itu bersikap seenak jidat kepadanya. Dikit-dikit bikin terbang setinggi-tingginya, dikit-dikit bikin jatuh sedalam-dalamnya. Bertemu dan berinteraksi dengan Bisma memang membuat Dara seperti sedang bermain rollercoaster. Memicu adrenalin.
“Saya masih menghargai kamu sebagai ketua di sini. Jadi, tolong untuk nggak bicarain lagi hal-hal di luar program kerja. Terima kasih!”
Dara benar-benar pergi dari sana. Gadis itu melewati anak-anak yang kini sedang berpura-pura melakukan pemanasan. Mereka terlihat kikuk dan gugup saat ketahuan oleh Dara. Ingin menyusul gadis itu, tapi sepertinya Dara memang sedang dalam mode tidak bisa diganggu.
Bisa-bisa kena amukan sadis.
Bisma bergeming. Lidahnya terasa kelu untuk sekadar membalas kata-kata Dara. Ia bahkan tidak memiliki tenaga lagi untuk menyusul gadis itu. Raut wajah kekecewaan Dara, kilat amarah di mata gadis itu nyatanya membuat hati Bisma mencelos perih.
Ini kali kedua Bisma melakukan kesalahan fatal. Pertama, memutuskan hubungannya bersama Dara dengan alasan yang paling bajingan. Kedua, secara tidak langsung ia sudah merendahkan gadis itu.
Bukankah sangat pantas jika Dara enggan menoleh ke arahnya lagi?***
Dara benar-benar memegang ucapannya. Gadis itu hanya akan berinteraksi dengan Bisma jika membicarakan perihal program kerja atau yang berhubungan dengan kegiatan. Seperti saat ini, mereka tengah berdiskusi mengenai tata letak panggung yang akan digunakan untuk acara pentas seni nanti.
Tidak ingin mencari masalah lagi, Bisma tentu saja bersikap seolah tidak ada terjadi sesuatu antara mereka. Ia tidak mau Dara akan makin marah kepadanya atau mungkin naik satu tingkat menjadi benci. Tidak! Begini saja sudah cukup membuatnya kewalahan. Bisma hanya akan membiarkan hubungan ini mengalir seperti air. Ia akan mengikuti ke mana arus yang Dara bawa.
“Kalau di sini, nanti nggak dapet sinar mataharinya. Ketutupan pohon. Kalau mau, bisa disimpan di ujung sana. Cahaya mataharinya cukup, tapi orang-orang juga masih bisa pakai tenda tanpa menutupi cahaya yang langsung sorot ke panggung,” ucap Dara mengutarakan letak panggung sambil menunjuk ke arah lahan kosong beberapa meter dari mereka.“Kalau kayak gitu, kasian yang jadi performer-nya nggak, sih? Emang cahaya alami itu perlu, tapi kenyamanan performer-nya juga perlu diperhatikan. Nggak mungkin, kan, mereka tampil sambil kesialauan?” sanggah Bisma sambil menyipitkan matanya mempraktekan seolah ia adalah seorang penampil.
Bukan hanya Bani dan teman-teman lain yang tiba-tiba tertawa lepas, melainkan Dara juga ikut tertawa karena Bisma yang terlalu ekspresif.
“Ya ampun, Bis!” Bani menepuk pundak Bisma di sisa kekehannya. Setelah itu, ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pendapat Bisma perlu dipertimbangkan juga, sih. Gimana kalau kita ambil jalan tengahnya aja? Gimana caranya masih bisa dapet cahaya alami, tapi nggak bikin yang tampil atau yang nonton kepanasan?” tanya Bani pada orang-orang di hadapannya.
Untuk rapat acara hari ini, hanya dihadiri oleh beberapa perwakilan saja. Dari dua kelompok lain masing-masing tiga orang, dari kelompok Bisma juga tiga orang dan dari perwakilan karang taruna tiga orang, termasuk Gala di sana.“Mungkin bisa dialihkan ke arah sini,” ucap Gala sembari menunjukan posisi yang pas untuk panggung nanti. Bergeser lima meter dari pilihan Dara dan berputar lima belas derajat dari posisi pilihan Bisma. “Kayaknya cahaya di sana lebih cukup. Kalaupun kekurangan cahaya, itu nggak akan terlalu gelap. Masih bisalah didokumentasikan dengan baik,” usulnya lagi.
Semua setuju dengan usul yang disarankan oleh Gala, karena memang posisi yang paling pas di sana. Dan untuk serba-serbi kekurangannya, akan dibicarakan lagi secara berkala. Rapat hari itu dinyatakan berakhir. Beberapa orang sudah pulang ke tempat masing-masing. Kecuali, Bani, Bisma, Dara, Gala dan satu orang lagi dari karang taruna yang masih ada di lapangan. Mereka masih betah untuk melihat-lihat lokasi yang akan jadi tempat acara pentas seni nanti.
“Kamu nyumbang lagu nggak, nih? Kata Nadin suaramu bagus,” tanya Bani sembari menaik turunkan kedua alisnya.
Bisma mengangkat bahunya tak peduli. Ia sendiri tidak tahu akan naik panggung atau tidak, nanti.
Suara teriakan tiba-tiba terdengar membuat Bani dan Bisma terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Mereka dibuat tercengang saat mendapati Dara tengah dijambak oleh seorang gadis yang datang dengan penuh amarah.
“Oh jadi ini yang udah rebut pacar saya, hah?”Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
RomanceBisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selama satu bulan, me...