“Pa, tante Putri sekarang gimana kondisinya? Aku takut papanya Bisma balik lagi. Kasian anaknya di sini, banyak pikiran. Mana kayak orang patah hati lagi.”
Dara memundurkan langkahnya saat mendengar Nadin tengah berbicara dengan orang di telepon. Mendengar nama Bisma disebut-sebut membuat Dara memilih untuk bersembunyi di balik tembok dan menempelkan telinganya di benda datar itu.
Niatnya, Dara sedang ingin menghirup udara segar pagi hari di taman belakang. Sementara anak-anak yang lain ada yang masih tertidur, berjibaku di dapur atau olah raga kecil di halaman depan. Namun, langkahnya tertahan saat menemukan Nadin tengah berdiam diri di halaman belakang.
Katakan saja Dara sedang menguping sekarang. Pasalnya ada yang lebih membuatnya penasaran dari sekadar patah hati seorang Bisma. Mendengar nama tante Putri alias Mamanya Bisma disebut-sebut, membuat Dara penasaran apa yang sebenarnya terjadi.
“Syukurlah kalau udah mendingan. Di sini juga luka di tangannya Bisma udah mulai kering. Memarnya juga udah pudar. Cuma ya, kayaknya, si Bisma lagi galau, deh, Pa. Dia porsir terus aja badannya, rajin ngerjain ini itu, yang nggak penting aja dia kerjain. Tapi jangan bilang-bilang tante Putri, takutnya malah khawatir sama kepikiran. Di sini, biar Nadin dulu yang handle anak nakalnya tante Putri,” celoteh Nadin panjang lebar. Sepertinya ia sedang berbicara dengan papanya.
Tentu saja Nadin tidak sadar ada yang sedang menguping di balik tembok yang ia sandari. Sementara itu, mendengar sayup-sayup celotehan Nadin berhasil membuat alis Dara bertaut. Ia kebingungan atas fakta yang baru saja didengar.
“Tante Putri sakit?” bisik Dara pada dirinya sendiri.
Ingatan Dara terlempar pada tempo hari di mana Bisma meminta izin untuk pulang selama dua hari, tanpa ada yang tahu jelas alasan sebenarnya Bisma pulang. Mungkin yang tahu hanya Aksa selaku wakil ketua dan juga Nadin yang dekat dengan Bisma. Apa kepulangan Bisma pada hari itu ada hubungannya dengan sakitnya tante Putri?
Terus… tentang luka-luka di tangan Bisma?
Memikirkannya saja membuat kepala Dara pening. Saking antengnya bergelut dengan pikirannya sendiri, Dara tidak menyadari kalau Nadin sudah menyelesaikan panggilannya dan hendak masuk ke dalam rumah.
“Kamu ngapain, Ra?” tanya Nadin kebingungan melihat Dara tengah memukul-mukul kepalanya sendiri. Tangan Nadin terulur untuk memegang kening gadis itu. “Kamu sakit?” tanyanya panik.
Tubuh Dara seketika menegang. Ia menghentikan aksi pukul-pukul kepalanya dan menatap Nadin dengan panik juga. Ia sedikit khawatir kalau ia ketahuan sedang menguping, meskipun pada akhirnya sedikit lega karena Nadin menangkapnya saat sedang pukul-pukul kepala. Walau ujung-ujungnya disangka seperti orang sakit oleh gadis itu.
Dara meringis. Ia berdeham sebelum akhirnya bersuara. “Aku oke, kok. Cuma agak pening aja,” balas Dara yang berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
Pening mikirin si Bisma! Dumel Dara dalam hati.
Dara cukup terkejut karena tiba-tiba Nadin datang merangkul dan membawanya ke dalam rumah. Gadis itu terlihat mengkhawatirkan Dara.
Dara akui, Nadin memang anak yang baik dan hangat. Gadis itu akan melakukan apa pun yang ia bisa, untuk membantu siapa pun. Hanya karena kedekatan Nadin dengan Bisma saja, yang membuat Dara selalu menilai Nadin secara berlebihan dan berujung membandingkan dirinya sendiri dengan gadis itu.
Padahal setiap manusia ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, karena rasa tidak percaya diri, bisa membuat manusia selalu merasa tidak puas dan membandingkan diri sendiri.
“Dar, kalau kamu butuh informasi tentang Bisma, aku bisa cerita semuanya kok. Kamu nggak perlu capek-capek nguping lagi.”
Bisikan Nadin berhasil membuat langkah Dara terhenti. Mata gadis itu membulat dan menatap Nadin dengan horor. Sementara Nadin mengedipkan sebelah mata dengan seringaian jail terpampang di wajahnya.
Ini gila! Dara ketahuan.
***Memancing di empang Pak Sanusi rupanya sudah menjadi kebiasaan rutin anak-anak posko kalau lagi tidak ada kegiatan, atau sudah menyelesaikan kegiatan. Pak Sanusi senang jika melihat anak-anak itu berkumpul di rumah atau empangnya. Seperti mengingatkannya pada jaman dulu, rumah Pak Sanusi selalu ramai dijadikan basecamp oleh teman-temannya. Jadi, beliau seringkali mengundang anak-anak itu ke rumah. Entah sekadar memancing, makan bersama atau mengobrol biasa.
Seperti sore hari ini, hampir semua anak-anak berkumpul di rumah pak Sanusi karena istri beliau sudah memasakkan beberapa lauk untuk makan malam bersama.
“Wah, Bu Eni, nggak usah repot-repot padahal. Kami kan jadi keenakan,” celetuk Bani saat bu Eni menyuguhkan sepiring gorengan panas untuk mereka.
“Halah! Si ujang kasep mah bisa aja!”
Saking akrabnya, anak-anak yang lain sudah biasa jika saling melempar canda. Toh bu Eni serta pak Sanusi adalah sepasang suami istri yang suka bercanda.
“Dimakan ya, Bu!”
Semuanya langsung menyerbu gorengan itu dalam sekejap. Cuaca sore ini mulai dingin, sangat pas ditemani gorengan panas dan cabai rawit. Paling mantap sih ini!“Gue baru nyadar, si Manda sama si Dara ke mana? Mereka nggak ikut?” tanya Janu saat menyadari hanya ada tiga orang perempuan di sini, empat jika ditambah bu Eni.
Ternyata bukan hanya Janu, tapi teman-teman yang lain juga baru menyadari kalau dua gadis itu tidak ada.
“Kalian nggak ada yang tau mereka ke mana?” Kali ini Bani bertanya pada tiga perempuan di hadapannya.
Nadin dan Indah menggelengkan kepala. Mereka benar-benar tidak melihat kedua orang itu. Lagi pula, kegiatan mereka dibuat terpisah hari ini. Untuk Nadin, terakhir berinteraksi dengan Dara saja pas di halaman belakang itu, sementara dengan Manda, pas mereka siap-siap dandan di kamar.
“Kamu pasti tau, kan, Dara sama Manda ke mana?” tanya Aksa yang langsung menunjuk Caca. Karena daritadi gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa pun selain gugup.
Dugaan Aksa tidak salah. Caca memang bersama Dara dan Manda tadi. Kebetulan mereka punya kegiatan yang sama untuk urus taman baca. Tapi, karena ada panggilan alam dan tidak mau buang air di tempat lain selain posko, alhasil Caca izin untuk pulang duluan.
“Terakhir kamu sama mereka, kan?” Bisma yang sejak tadi diam mulai bersuara.
Aura intimidasi Bisma membuat Caca tanpa sadar bergidik. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Caca yang terduduk di posisi sontak menggenggam tangan kedua temannya, Indah dan Nadin.“Awalnya sih iya, tapi aku kan pulang duluan,” jawab Caca dengan suara yang mulai bergetar. Ia tidak terbiasa ditatap dengan tatapan menuntut oleh banyak orang seperti ini. Rasanya seperti diintimidasi, walau sebenarnya Caca tahu kalau mereka sedang merasa panik karena dua orang itu tidak ada bersama mereka, tanpa kabar pula.
Pasalnya, Dara dan Manda tidak dapat dihubungi. Hanya ada jawaban dari operator yang menandakan kalau nomor mereka sedang berada di luar jangkauan area.
Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Tak Selalu Biru
Romance[SEGERA TERBIT] Bisa berada satu kampus dengan Bisma-mantan kekasihnya saat SMA-saja, sudah membuat Dara merasa dunia ini begitu sempit. Terasa makin sempit ketika Dara dan Bisma berada dalam satu kelompok untuk pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata. Selam...