Brother or Lover? [3]

200 15 13
                                    

Hiiiii,
Masih ada yang nungguin kah? Wkwkwk
Karena akhirnya Goyoo tayang, bonus untuk kalian 😊
Boleh mampir part sebelumnya ya, kalau lupa ceritanya.
Janlup tekan bintangnya ya ⭐️
Thank you!

🐣


Alvan duduk di kursi di samping bed Rania. Lelaki itu menggenggam erat tangan Rania yang tidak diinfus sementara Rania duduk bersandar pada bed nya yang sudah disesuaikan dengan posisinya agar lebih nyaman. Beberapa saat kemudian, terdengar ponsel Alvan berbunyi. Lelaki itu pun segera mengangkat telepon tersebut.

"Iya, Ma?... Mama gak usah ke sini, biar malam ini aku yang jagain Rania... Iya, Mama di rumah aja sama Quin... Siap, Ma," ucap lelaki itu masih sambil menggenggam tangan Rania.

"Mama ya, Mas?" Rania bertanya dan Alvan mengangguk. "Mama yang minta Mas Alvan ke sini nemenin aku?"

"Emm... Sebenarnya Mama gak ngasih tau siapa yang sakit. Mama cuma minta supaya aku bawa baju ganti. Dan aku kaget pas tau ternyata kamu yang sakit. Kukira Mama yang sakit. Maaf, Rania, dua minggu ini aku gak ke rumah ataupun nanyain kabar kalian," ucap Alvan menyesal.

"Gapapa, Mas. Aku sebenernya minta ke Mama supaya gak ngasitau Mas Alvan. Aku gak mau ngerepotin kamu, Mas," ujar Rania lirih.

"Rania, kita akan menikah, jadi jangan merasa sungkan buat minta tolong sama aku. Aku siap kamu repotin kapanpun," ujar Alvan dengan kedua tangannya yang menggenggam erat tangan kanan Rania. Namun, perempuan itu hanya diam memandang tangan mereka yang saling menggenggam.

"Kenapa Mas Alvan berubah pikiran dan memutuskan berjuang buat aku?" Rania meresponnya dengan bertanya.

"Mmm... Ucapan kamu malam itu bikin aku goyah. Dua minggu ini aku kontemplasi, mikirin apa sebenernya tujuan hidupku... Aku ingin bahagia. Dan kebahagiaanku ada pada kalian; kamu, Mama, dan juga Quin. Aku ingin bersama kalian tapi aku sadar, aku gak bisa kembali ke rumah dengan status sebagai kakak kamu," ucap Alvan lirih namun terdengar jelas di telinga Rania. "Makanya aku memutuskan untuk kembali ke rumah dengan status yang lain, suami kamu dan ayah Quin... Aku ingin bahagia bersama kalian."

"Gimana kalo aku gak bisa bales perasaan Mas Alvan?"

"Hmm?" Alvan merenungkan jawaban untuk pertanyaan Rania. "Aku akan berjuang, seperti yang aku bilang."

"Mas Alvan," panggil Rania lirih. "You will stay with me no matter what happens, right?" Rania bertanya pelan. Alvan mengangguk.

Beberapa sekon kemudian, Alvan mendengar Rania terisak. "Rania, why?" Alvan mengeratkan genggamannya.

"Sakit, Mas. Kaki aku sakit banget," ucapnya sambil menyeka air matanya. Rania baru kali ini menangis di depan seseorang setelah dioperasi. Ia tidak ingin membuat Mamanya dan Quin sedih, jadi Rania berusaha menyimpan tangisnya. Namun, di depan Alvan, entah kenapa dirinya ingin menangis, menumpahkan segala yang dirasa olehnya.

"Aku takut, Mas. Gimana kalo aku gak bisa jalan dengan normal lagi? Gimana kalo aku pincang seumur hidup?" Rania menjadi emosional. Alvan pun langsung memeluk Rania dengan sangat erat.

"Rania, please don't say that. Kamu pasti bisa sembuh. Aku janji bakal temenin terapi sampai kamu bisa jalan normal lagi," ujar Alvan sambil menenangkan Rania.

"Aku takut gak bisa nganterin Quin kemana-mana lagi, Mas."

"Bisa. Kita bisa temenin Quin kemanapun ia mau."

Mereka pun larut dalam obrolan tentang segala hal yang ingin mereka bahas, obrolan panjang pertama mereka setelah lima tahun terpisah karena ego masing-masing.

MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang