Part 16 : Hari-hari MIPA 2

5 3 0
                                    

— science —

Pagi hari seperti rutinitas manusia pada umumnya, Ona gadis yang sedang berkutat dengan jadwalnya. Hari ini dia akan berangkat sekolah usai PTKU kemarin.

Tidak ada kata libur setelah perkemahan.

Sembari membawa ransel yang di sampirkan dipunggungnya kakinya melangkah menuruni satu persatu anak tangga menuju meja makan untuk menunaikan kewajiban sarapan.

Karena jika tidak sarapan dirinya akan terkena getokan sendok sayur Bundanya, itu poin pertama. Kedua, dia akan kelaparan di jam belajar. Sudah sarapan saja kadang masih lapar, begitulah Ona.

"Wezeh, rajin banget. Tumben kaga alfa dek." Sapa abangnya saat mendongak mendengar decitan kursi yang di tarik.

Ona menatap abangnya dengan malas. "Dari zaman apa seorang Tectona Grandis ini alfa bang."

Raka pura-pura mengelus keningnya berpikir. "Zaman Azali mungkin."

"Sangat tidak memungkinkan." Balas Ona pura-pura bercakap kritis seperti mbak-mbak hakim.

Raka meneliti wajah adeknya itu. "Apa bang liat-liat? Nanti benci." Kikik Ona sambil tersenyum geli.

"Bukannya jatuh cinta dek?." Balas Bunda yang datang membawa senampan masakan dengan kepulan asap hangat.

Ona mengalihkan pandangannya kepada perempuan setengah abad itu. "Sekarang beda bun. Kalo natap lama-lama bukannya cinta malah benci." Ona tertawa kecil oleh perkataannya sendiri.

Mereka juga ikut tertawa meramaikan. "Apa nih rame-rame." Celetuk seorang laki-laki memakai sarung yang sedikit melorot dan kaos seadanya.

"Ya ampun, sarungnya benerin dulu kali yah." Balas Raka sambil geleng-geleng melihatnya. Bukan pemandangan asing melihat ayah dari dua anak itu hobi sekali memakai sarung seadanya.

Bukan pertama kali juga Raka mengingatkan.
"Ayah mah suka banget bikin gemes tuh sarungnya." Balas Ona membetulkan celetukan abangnya.

Laki-laki itu mendekat dan duduk diantara mereka. "Yang penting nyaman." Balasnya dengan santai membuka tutup gelas dan meminum kopi didalamnya.

"Bunda sama ayah nyadar gak?." Ucap Raka yang menghadirkan kerutan-kerutan halus di kening setiap insan yang akan menyantap hidangan di meja.

"Kenapa bang?." Balas bunda yang akan melepas celemek yang melekat ditubuhnya. Sedangkan ayahnya hanya menyipitkan matanya menunggu jawaban.

"Ona jadi item nggak si?." Ucapnya yang mengundang tawa kedua paruh baya tersebut.

Ona cemberut dibuatnya. "Kirain apa? Malah cuma ngeledek lo bang." Protes Ona yang hendak memasukan makanan kemulutnya.

Bunda Lita hanya tersenyum geli menatap wajah anak perempuannya. "Ona mah gak pernah item, palingan merah padam itu muka."

"Betul bunda. Merah merona." Goda Lukman--- Ayah Ona dan Raka.

Semua orang tertawa kecil melihat ekspresi anak terakhir kerluarga mereka. Ona ini kulitnya memang putih kemerah-merahan, sekali kena panas bukannya item melainkan merah seperti terbakar. Begitulah dirinya.

LOVING AMBULANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang