10. RedFlag

11 0 0
                                    

+Kakak-kakak....sebelum mulai membaca, bagi bintangnya dulu dong+



"Apa kau tahu?" Erik menengadahkan wajahnya menatap Almeera, Almeera sibuk menyiapkan meja dan mengatur makanan untuk makan malam mereka berdua.

Almeera tersenyum dan menatap Erik "Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu, perbaiki posisimu dan kita akan makan sekarang" lalu Erik menurut, dia tidak ingin melawan, baginya kata-kata Almeera adalah tabu, segalanya harus di lakukan apapun yang terjadi.

"Apa kau akan menginap disini malam ini?" Tanya Erik kemudian memasukkan beberapa potong labu ke dalam mulutnya.

"Kau mau mati?" Almeera menyumpitkan ikan kepada Erik, dan untuk dirinya sendiri.

"Apa kau tidak takut pulang jam segini?" Tanya Erik lagi.

"Apa kau tidak akan mengantarku pulang?" Almeera bertanya bailk. Erik menghentikan makannya dan terkikih.

"Hei! Aku ini pasien! Kau tidak tahu? Aku bahkan mengambil cuti sakit di kantor dan pacarku sendiri tidak tahu" celoteh Erik mencoba menggoda, tapi Almeera masih tanpa ekspresi dan terus mengunyah makanannya.

"Kalau begitu aku akan pulang sekarang" Almeera meletakkan sumpitnya di atas meja dan berdiri dari duduknya saat Erik menarik tangannya dan cekikikan.

"Aku bertanya-tanya apa kau sedang 'dapat' sehingga membuatmu sensitif seperti ini" Tanya Erik, kini matanya dan Almeera saling bertemu, "tapi sepertinya kau memang sedang sensitif, sayang, harusnya 'tanggalmu' sudah lewat sejak seminggu yang lalu" dan Erik menarik Almeera hingga terduduk di pangkuannya. Wajah Almeera semerah kepiting rebus, dia mencoba melawan dan berontak saat Erik memeluk pinggangnya erat, tapi percuma, apa Erik sungguh sedang sakit?

Erik mendekatkan wajahnya ke wajah Almeera. Tangannya yang bebas mulai nakal, membuka satu persatu kancing kemeja Almeera, mata mereka masih saling bertemu. Kancing pertama, kancing kedua, kancing ketiga, jarak wajah mereka kurang dari 3 cm, jelas terlihat hasrat di mata Erik, Almeera tahu jelas itu, maka dia menghembuskan nafas panjang, pasrah, jika ini saatnya maka...dengan satu hentakan Almeera menginjak kaki Erik membuat Erik mengerang keras karena kesakitan.

"Jangan berharap melakukan apapun, dasar bodoh!" Almeera memperbaiki letak kemejanya dan mengancingkan kembali kancingnya. Erik tersenyum gemas sambil memegangi kakinya yang kesakitan, yah, seperti itulah Almeera yang ia kenal, tidak akan mudah luluh meski siapapun tahu, Almeera sendiri berusaha keras menahan keinginannya untuk di sentuh oleh Erik.

"Baiklah, baiklah, lanjutkan makanmu" ucap Erik kembali meraih sumpitnya, Almeera meringis dan duduk kembali di kursinya, kembali makan dengan tenang.

Fade

"Mereka seharusnya bisa menikah lebih cepat," ucap ibu Almert berjalan di lobi kantor, dengan setia mendorong kursi roda suaminya tentu saja.

"Sayang, kurasa kau harus sedikit lebih bersabar" ucap Ayah Almert tenang.

"Yah, kupikir putra kita adalah calon suami sempurna, bahkan semua wanita yang ada di gedung ini pasti menginginkan Almert menjadi suami mereka, tapi Almeera..." si istri menghembuskan nafas, seharusnya, gadis sekelas Almeera tidak butuh waktu untuk mempertimbangkan, seharusnya dia langsung meng-iyakan saja, agar tak ada lagi kerisauan di hati sang ibu. Apa mungkin karena harga diri Almeera yang terlewat tinggi? Ibu Almert pernah mendengar kalau Almeera adalah seorang gadis yang angkuh dan keras kepala, meskipun begitu, dia yakin pilihannya tepat.

"Kita akan segera mendapatkan jawabannya, kau tenang saja sayang, apapun yang kau inginkan semuanya akan aku penuhi" ucap suaminya yakin. Ibu Almert tersenyum lebar. Meski usia mereka sudah lanjut, tapi cinta yang diberikan oleh sang suami untuknya sedikit pun tak berkurang. Terlebih lagi, karena Tuan besar ini selalu memanjakan sang istri, untung saja hal inilah yang di warisi Almert. Almert sama persis seperti ayahnya, dia rela memberikan apa saja kepada orang yang dia cintai.

FadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang