"Aku ingin menjadi seorang ayah yang baik." Lirih Erik, Almeera menatapnya, sedikit terkejut dan sedikit heran dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Erik padanya. Berkali-kali dia mengedipkan matanya, menatap jika dia sedang salah mengenali orang, yang berada didepannya ini sungguh Erik yang di kenalnya?
"Aku ingin menjadi seorang ayah, itu impianku sejak dulu. Menjadi ayah yang baik untuk anak-anakku kelak, menjadi satu-satunya pahlawan super mereka, memberikan mereka kasih sayang yang cukup, dan membuat mereka bergantung padaku, aku hanya ingin di kenang sebagai seorang ayah yang baik, bukan sebagai siapa-siapa" lanjut Erik, pria itu mengerti, Almeera sedang kebingungan sekarang, tapi, dia senang karena dia bisa membagi mimpinya kepada seseorang yang penting dalam hidupnya.
"Dan aku ingin, kau menjadi ibu dari anak-anak yang sangat aku sayangi kelak" Erik berpindah tempat duduk ke samping Almeera, kemudian menggenggam tangan kekasihnya.
"Jangan bodoh, aku tidak mengatakan aku akan menjadi ibu dari anakmu kelak! Jangan banyak berharap padaku! Dasar kau bodoh!" Almeera berhasil melayangkan sebuah pukulan telak ke kepala Erik bahkan sebelum pria itu sempat mengelak.
"Yah, seperti jawaban yang selalu kita dapatkan dari seorang Almeera" lirih Erik mengelus bagian kepalanya yang terkena pukulan, dan mereka tertawa bersama.
Kedua mata Almeera memerah, kejadian itu seperti baru terjadi kemarin, Erik sepertinya masih berada di sekitar Almeera, tapi lihat yang terjadi sekarang, lihat betapa Almeera sangat merindukan pria itu.
"Kau sudah siap? Waktunya kau masuk..." suara ayahnya mengagetkan Almeera, buru-buru dia menghapus air matanya dan berbalik menyambut ayahnya yang akan mendampinginya untuk berjalan diatas altar pernikahannya. Ini harinya, hari yang sangat di nantikan oleh Almeera, meskipun pada akhirnya, siapa yang akan menduga kalau yang menjadi mempelai prianya justru adalah Almert dan bukannya Erik?
"Ayah tidak percaya akhirnya hari dimana ayah harus melepas putri ayah datang juga" lirih Pak Sutomo memandang Almeera.
"Ayah...jika kau berkata seperti itu aku tidak akan sanggup berjalan diatas altar dengan mataku yang sembab karena menangis" rengek Almeera. Pak Sutomo terkikih, kemudian meraih tangan putrinya, menggiringnya menuju altar pernikahan.
Pernikahan Almert dan Almeera di selenggarakan di sebuah hotel mewah di tengah kota, karena persiapan mereka cukup matang dan tidak terburu-buru, jadi semuanya terasa sempurna. Cukup banyak tamu yang di undang, termasuk semua karyawan perusahaan.
Pernikahan mereka berlangsung khidmat sampai mereka selesai mengucapkan janji pernikahan, dan menyematkan cincin.
"Kenapa kau tampak gugup?" goda Almert pada Almeera.
"Sangat banyak orang disini, bisakah kita skip bagian ini saja?" bisik Almeera memberi isyarat melalui mata kalau dia merasa tidak nyaman.
Sementara dari para tamu undangan, mereka mulai menyuarakan kata "cium, cium, cium" yang membuat Almeera makin gugup, tapi sepertinya Almert tampak biasa saja, pria yang sekarang berstatus sebagai suaminya itu bahkan tersenyum dengan mata tajamnya.
"Bukankah kita sudah sering melakukannya?" bisik Almert sensual di telinga almeera, pria itu kemudian menjilat telinga Almeera, membuat Almeera makin merinding dan memandang Almert dengan horor. Apa katanya? Sering melakukannya? Tidak juga, atau iya? Almeera tidak tahu, dia bingung, pokoknya, sekarang ini dia hanya gugup dan ingin ini cepat berakhir.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Almeera mulai memejamkan matanya ketika Almert melingkarkan tangannya di pinggang Almeera, dan menariknya mendekat hingga dia merasakan sentuhan dingin dari labia sang suami. Ciuman itu berlangsung cukup lama, beberapa menit, sampai Almert melepaskan pagutannya, dan disambut dengan tepuk tangan meriah dari semua tamu. Ketika Almeera membuka matanya, dia bisa melihat senyum bahagia Almert menyambutnya, di sertai dengan ibu jari pria itu yang mengusap bagian bawah bibirnya yang basah.
"Thank You" lirih Almert nyaris tanpa suara, kemudian menarik Almeera untuk mendekat lagi padanya, melingkarkan tangannya di pinggang istrinya, dan kembali membawanya berjalan melalui altar, untuk bertemu dengan para undangan.
Fade
Tidak ada yang bisa mengubah takdirmu, kecuali dirimu sendiri. Kamu tidak pernah tahu akan berada dimana dengan siapa, bahkan kamu tidak akan pernah tahu hari esok akan ada sosok orang baru yang kau temui yang mungkin kehadirannya akan sangat kau sukai, atau mungkin sosok asing yang kehadirannya akan sangat menyulitkan hidupmu.
Evelyn terdiam di depan nurse station. Pria itu adalah pasien gawat darurat professor Robert yang di transfer dari salah satu rumah sakit besar di negara lain. Pasien itu mengalami sirosis hati yang cukup parah yang nyaris saja tak tertolong jika bukan professor Robert yang menerimanya.
Evelyn tahu betul, karena dia adalah dokter yang di tunjuk oleh professor Robert untuk menjadi asistennya saat operasi. Operasi pria itu berjalan lancar, dan berhasil. Bisa di bilang seperti itu karena sekarang Evelyn sedang mengamati pria itu yang sedang berjalan-jalan sambil membawa selang infusnya kemana-mana, menyapa setiap perawat yang di laluinya hingga dia menghampiri Evelyn, tepat di depan nurse station.
"Good Morning" sapa Erik pada Doctor Eve, begitu biasanya dia di panggil.
"Good Morning Mr. Erik, How are you today?" Eve berusaha mengembalikan fokusnya, dia tidak seharusnya salah tingkah saat Erik menyapanya.
"Sangat baik. Semuanya sempurna" ucap Erik masih dengan senyum yang menurut Eve sangat menawan.
"Senang mendengarnya" ucap Eve.
"Apa professor Robert akan berkunjung hari ini?" tanya Erik lagi, dari nada bicaranya dia terdengar antusias.
"Kenapa? Kau terdengar sangat bersemangat dengan kedatangan professor, apa kau sudah bosan melihatku setiap harinya?" Eve tidak bermaksud sarkastis, dia hanya bercanda dan Erik sudah terbiasa dengan itu, atau bisa dibilang dia cukup mengenal Eve sekarang, jadi dia tahu kalau dokternya ini tidak se sarkastis itu sebenarnya, dia hanya bercanda.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggu untuk bisa berada di saat-saat seperti ini, rasanya, keajaiban seperti memelukku" Erik terlihat antusias, senyum tak berhenti menghiasi bibirnya, tapi matanya memupuk air mata, entah apa yang ia ucapkan tulus, atau hanya sebagai penghiburan, untuk dirinya sendiri atau untuk meyakinkan orang lain bahwa dia sungguh bersyukur bisa sembuh, transplantasinya berhasil.
"Terima kasih Mr. Erik, karena anda sudah berjuang" hanya itu yang bisa di ucapkan Evelyn, sejujurnya, ada lebih banyak lagi yang ingin dia sampaikan, dia ingin menyemangati, atau jika boleh dia ingin memberi pelukan hangat yang menenangkan.
Enam bulan yang lalu saat pertama kali Erik datang ke rumah sakit ini bersama temannya, Jimin, dia tampak sangat putus asa, dia sepertinya bahkan sudah memasrahkan dirinya jika dia tak bisa di selamatkan lagi, keputus asaan itu terserita jelas di matanya. Bahkan dalam menjalani terapi pengobatan pun, Erik tampak pasrah saja, dia mungkin hanya menjalaninya saja tanpa merasa harus untuk sembuh, dia mungkin merasa wajib untuk menjalani terapi tetapi merasa tidak harus untuk sembuh, se pasrah itu Erik saat itu.
Evelyn menyadari semua itu, jujur saja, ada banyak kasus dimana seorang pasien bahkan tidak bersemangat untuk sembuh, salah satunya dalam kasus seperti Erik, Jimin sempat bercerita pada Evelyn bahwa Erik telah melalui hidup yang sangat berat untuk bisa sampai di posisinya sekarang, tapi baru saja akan bahagia, dia sudah harus menderita penyakit dan dilarikan ke rumah sakit ini. Hanya itu sebenarnya yang Jimin katakan, tapi karena Erik saat itu selalu memandangi sebuah polaroid seorang wanita, Evelyn bisa menebak sendiri kalau ke putus asaan yang tersirat di mata Erik tidak lebih karena seorang wanita.
"Keajaiban itu sungguh ada" ucap Jimin menghampiri mereka berdua dengan bersemangat seperti biasa.
"Selamat pagi dokter Eve" sapa Jimin.
"Selamat pagi Mr. Jimin" sapa Eve.
"Selamat pagi semua" sapa seorang pria paruh baya dengan jas dokternya, melangkah menuju nurse station.
"Selamat pagi, Proffesor Robert"
Fade
KAMU SEDANG MEMBACA
Fade
RomanceWarning!!! Cerita mengandung unsur 21+ bijaklah dalam memilih bacaan sesuai usia. Genre : Romance, Fluffy, Angsat. Bukan perihal yang mudah untuk jatuh pada sebuah hati, tapi lebih tidak mudah untuk terus bertahan pada rasa yang sama, pada hati yan...