21. Him

6 1 0
                                    

*Hati-hati dengan typo*

Almeera sebenarnya tidak mempersiapkan diri untuk hal ini, dia pun sudah berusaha untuk menganggap pria ini sudah mati, tapi mengapa sekarang dia muncul di hadapan Almeera?

"Al, Almert?" almeera tergugup, menatap suaminya, mungkin meminta penjelasan, Almert pun terkejut, sama terkejutnya dengan almeera, tapi bukan soal kedatangan pria ini kehadapannya sekarang, karena dia sendiri beberapa hari yang lalu sudah diberitahu bahwa keduanya akan kembali, jadi ketika meihatnya, almert sudah tak terlalu terkejut lagi, almert hanya lupa mengantisipasi hal ini, kehadiran almeera. yah, padahal almert berencana merahasiakan kedatangan erik dulu kepada almeera, dia akan mencoba menahan agar mereka tak bertemu dulu, selama apapun kesanggupannya, tapi sayangnya, almert baru akan memutar otaknya, dia sudah mendapati istrinya berdiri di ambang pintu, menatap terkejut kepada erick. wajah almeera spontan menjadi pucat pasi, dan ketika almert berjalan menghamipirinya, istrinya bahkan nyaris tumbang, untung saja almert segera menahan tangannya.

"Almert, perasaanku tidak enak, aku akan makan siang di rumah saja" almeera membalik tubuhnya, di bantu oleh almert.

"almeera, tunggu..." itu erick, ia mencoba berjalan ke arah almeera.

"nanti saja erick, nanti saja" bukan almeera yang mengatakan itu, melainkan almert, setelah itu keduanya menghilang, dengan almert yang masih setia menuntun almeera. ada percikan kecil di jantung erick melihat hal itu, dia sempat tertegun dan baru tersadar ketika jimmy menepuk pundaknya untuk menyadarkan.

"kau tetap harus mengikhlaskan" lirih jimmy, namun erick tak bereaksi apapun, matanya merah jelas menahan tangis.

almert sungguh mengantar almeera pulang. di perjalanan mereka hanya diam saja, meskipun almert berusaha untuk mencairkan suasana dengan memutar lagu ataupun mengajak mengobrol, tapi almeera tetap diam saja, tanpa reaksi apapun, wajahnya masih pucat, sepucat mayat hidup, dan akhirnya almert memilih menyerah. bahkan ketika mereka sampai di rumah pun, almeera masih enggan bersuara, almeera hanya memilih langsung berjalan menuju kamar mereka, dan menutup pintu dengan keras,membuat almert yakin, jika istrinya sedang tidak ingin di ganggu, maka dia memutuskan untuk duduk di sofa ruang tengah saja, sembari memikirkan segala hal yang terjadi hari ini.

semuanya memang terjadi begitu tiba-tiba, dia juga tidak bisa menyalahkan Erick dan Jimmy atas hal itu, karena mereka sama sekali tidak berniat buruk, justru mereka ingin membuat kejutan untuk Almert, mengingat betapa suntuknya almert akhir-akhir ini dengan pekerjaannya yang seolah tak ada habisnya untuknya karena dia hanya bekerja sendiri, tanpa seorang pun yang membantunya. dia memang memiliki banyak karyawan tetapi, dia tidak mempercayai mereka, setidaknya, tidak 100% dia masih harus merevisi pekerjaan dan laporan yang di berikan padanya, belum lagi dengan adanya beberapa kejanggalan yang mengarah ke korupsi dana perusahaan oleh beberapa oknum, semua itu dilakukan Almert sendiri sekarang, sejak erick dan jimmy pergi. Tapi sekarang mereka disini, jika situasinya tidak serunyam sekarang tentang almeera, dia dan erick, mungkin almert akan sangat bersyukur, mengingat kedua sahabatnya, dua orang yang dia percayai didunia itu telah kembali ke sisinya, dan akan membantunya dalam segala hal. almert pun telah menerima laporan kesehatan erick, yang menyatakan jika kawannya itu hanya akan melakukan kontrol dua kali dalam setahun selama tidak ada keluhan serius, yang artinya erick sangat sehat sekarang, asalkan dia mempertahankan pola hidup sehatnya.

almert masih diam, memikirkan segalanya, ketika sebuah panggilan masuk pada ponselnya, dan itu dari nomor yang tidak dikenal. ragu, almert biasanya tidak menerima panggilan dari nomor yang tidak dia kenal, tapi entah kenapa, dia hanya ingin saja, menerima panggilan itu.

"Om?!" suara itu terdengar riang, sepertinya cukup lama menunggu hingga panggilannya terjawab. almert terdiam. menunggu. "ini aku ziva" ucapnya girang lagi. Almert seketika teringat, gadis kecil yang mengembalikan dompetnya.

"kau..." belum sempat almert berujar.

"aku akan mentraktir om karena sudah menyelamatkan aku hari itu" riang, seperti tak ada beban di suara itu. tipikal suara remaja beranjak dewasa yang hanya bisa bersenang-senang dan menghabiskan uang orang tuanya.

"tidak perlu, aku..."

"aku akan mengirimkan alamatnya kepada om" lalu panggilan di tutup, tanpa sempat dia menyetujui.

Almert pikir ziva hanya bercanda, tapi selang beberapa menit kemudian gadis itu sungguh mengirimkan pesa kepada almert, berisikan alamat sebuah tempat. almert kenal tempat itu, itu tidak asing, tempat biasanya dia dan teman-temannya berkumpul hanya sekedar untuk mengobrol atau minum-minum saja, merayakan sesuatu, intinya, tempat itu adalah tempat dimana kalangan mereka biasanya menghabiskan uang dengan bersenang-senang.

Almert sebenarnya masih tidak memikirkan hal itu, ia awalnya malah berniat mengabaikan saja, tetapi secara spontan kepalanya mengarah pada pintu kamar yang senantiasa masih tak bergeming, ya, mungkin dirinya dan almeera butuh untuk  untuk saling berpikir sendiri-sendiri malam ini.

~

tempat itu meriah seperti biasanya. banyak orang yang turun untuk berdansa di lantai dansa tentu saja. almert datang dengan kemeja dan celana yang tadi sore dipakainya, hanya jas dan dasinya saja yang di lepas lalu di simpan di mobil, lengan kemejanya, dia lipat hingga siku, dan dua kancing atas kemejanya, sengaja ia lepas agar tak terlihat terlalu formal.

"aku pikir om gak akan datang" almert berbalik, melihat sosok gadis dengan mini dressnya yang berkilauan menghampirinya dan duduk disampingnya, didepan meja bartender.

"aku kesini bukan karena dirimu" almert ketus, menyesap minuman yang baru saja diantarkan bartender padanya.

"hem...it's okay, anggap saja kita tak janjian dan kebetulan bertemu disini" ziva menerima minumannya, dan ketika gadis itu menyesap juga, entah mengapa ekor mata almert mengikuti.

"apa kau tidak terlalu kecil untuk minum minuman keras seperti itu?" tanyanya, ziva langsung tertawa, dia meletakkan gelasnya dan menatap almert.

"setidaknya aku sudah berada di umur yang legal untuk berada disini, apa om pikir mereka akan mengijinkan aku untuk masuk jika aku masih di bawah umur?" ziva mendekatkan tubuhnya pada almert, berushaa merapatkan juga disana tapi almert meghindar, dia masih cukup waras untuk menangkap apa maksud ziva.

"tapi, untuk ukuran secara kebetulan bertemu, bukankah ini bisa dibilang takdir?" dari jarak sedekat itu, almert bisa mencium bau alkohol yang menyeruak dari tubuh ziva, dia bisa memprediksi kalau gadis ini sudah lama sekali berada di tempat ini, almert yakin minuman yang tadi diminum oleh ziva bukanlah gelas pertamanya.

"sebaiknya kau pulang, biar aku antar" almert meletakkan gelasnya, meraih pergelangan tangan ziva dan mencoba menarik gadis itu.

"tidak mau! memangnya apa peduli om? om hanya orang asing yang tiba-tiba sjaa da didepanku, kita bahkan belum saling mengenal lama!" ziva sebenarnya mengucapkan semua hal itu dengan suara yang cukup lantang dan keras, tetapi karena dentuman musik yang lebih keras lagi, sehingga membuatnya seperti berbicara tanpa suara, orang-orang yang ada disana pun, tak mendengar apa yang dia ucapkan, tapi almert bisa mendnegarnya, apa yang diucapkan ziva terdengar jelas di telinganya.

"ya sudah kalau kau tidak mau pulang, terserah apdamu saja" lalu almert berlalu, meninggalkan gadis itu. disana, berdiri termenung.

almert akan menyalakan mesin mobilnya ketika seseorang mengetuk pintu kursi penumpang di sebelahnya, dan disana ziva, dia terlihat sedikit lebih normal daripada tadi, dengan blazer yang sepadan dengan dresnya.

"antarkan aku pulang" ucapnya begitu almert membuakakn pintu dan dia dengan cepat masuk untuk duduk di kursi sebelah almert. almert hanya menampakkan senyum smirk, dan mulai melajukan mobilnya.


FadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang