12. Un message d'adieu

2 0 0
                                    

++ Bagi Bintangnya Kakak ++


Erik terdiam di dalam lift apartemennya sendiri, saat pintu lift itu terbuka, dia tertatih berjalan keluar dari lift dan sesekali menyender didinding hanya untuk menarik nafas panjang, dan mengumpulkan segenap tenaga. Rasanya sakit, sakit sekali.

Almeera, ayah mohon menikahlah dengan Tuan Almert.

Baiklah, aku akan menikah dengan Presdir, demi kalian.

Sekilas, bayangan-bayangan percakapan antara Almeera dan ayahnya kembali terlintas di benak Erik. Hatinya sakit sekali hingga dia sendiri tak merasakan bahwa tubuhnya sudah merosot jatuh terduduk ke lantai. Erik menangis. Menangis sejadi-jadinya, sesekali ia akan memukul-mukul dada bagian kirinya. Nyeri di sebelah sana. Tapi, Erik tak menghiraukan rasa nyeri pada tubuhnya. Hatinya terluka. Perasaannya teriris. Bagaimana bisa seseorang yang begitu dia percaya, bisa merebut orang paling berharga dalam hidupnya? Memikirkan bagaimana dia dan Almert selama ini, dan bagaimana hubungannya berjalan sangat baik dengan Almeera. Seharusnya Erik tahu, tak hanya ada musim semi dalam setahun, musim gugur selalu menanti setelahnya. Atau apa mereka memang sudah merencanakan untuk melakukan ini? Apa mereka sudah merencanakan akan menusuk Erik dari belakang? Apa salah Erik? Apa Erik pernah melakukan kesalahan tak termaafkan pada mereka sehingga mereka harus melakukan hal semenyakitkan ini? Tidak. Bagaimanapun dipikirkannya, Erik merasa dia telah melakukan hal yang terbaik jika itu demi Almeera atau demi Almert. Tapi apa? Di kehidupan sebelumnya, pasti Erik pernah mengkhianati negaranya sendiri atau menjadi teroris atau mungkin melakukan dosa besar sehingga kini ia mendapatkan karmanya. Pasti seperti itu. Jika rasa pembalasannya akan sesakit ini, Erik seharusnya tidak melakukan apapun yang salah baik di kehidupan kini atau kehidupan sebelumnya. Tapi tetap saja, tidak ada gunanya memikirkan hal itu kini, semuanya sudah usai baginya, hancur, berantakan, dan menyakitkan.

"Erik?! Apa yang terjadi?" ucap seseorang menghampiri Erik, membantunya berdiri dan memapahnya masuk ke dalam apartemen. Tapi, Erik sudah seperti mayat hidup. Dia seperti zombie. Tak ada jiwa dalam dirinya. Kurang dari 30 menit, semua semangat hidup yang dimilikinya seperti menghilang, lenyap entah kemana.

"Erik, kau baik-baik saja?" Tanya orang itu lagi tampak khawatir. Erik, sejak ia mengenalnya adalah seseorang yang ceria dan bersemangat, tak pernah seputus asa ini, orang itu bisa melihat, bekas air mata di pipi Erik, dia tidak tahu kenapa Erik bisa seperti ini tapi dia yakin ini ada hubungannya dengan Almeera.

Setelah membantu Erik untuk berbaring di tempat tidurnya, orang itu segera kembali menuju ruang depan apartemen, karena bel baru saja berbunyi.

"Jimin?" Tanya Almert begitu melihat siapa yang membukakan pintu apartemen untuknya.

"Hai, bro!" ucap Jimin antusias, membuka lebih lebar pintu agar Almert bisa masuk ke dalam.

"Dimana Erik? Aku harus bicara dengannya" Tanya Almert terburu-buru melepas sepatu dan berjalan menuju kamar Erik.

"Kurasa jangan dulu" Jimin menghentikan Almert yang nyaris membuka pintu kamar Erik. Almert menatapnya dengan tidak sabar.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kupikir Erik hanya ke kantor untuk memberi tahumu bahwa aku sudah sampai?" kening Jimin berkerut, dia benar-benar tidak mengerti situasinya sekarang. Almert menghembuskan nafas berat, dan berjalan menuju sofa yang ada di tengah ruangan.

"Aku mendapatinya sedang terduduk di depan dan menangis sambil memegangi dadanya, tapi dia tidak mengatakan apapun, apa semuanya baik-baik saja?" Jimin ikut duduk di sofa lain, dan menatap Almert serius.

"Aku dan Almeera harus menikah" ucap Almert menatap Jimin. Tak ada makna apapun yang tersirat dari pandangan Almert, hanya saja, Jimin bisa merasakan kalau Almert juga merasa bersalah.

FadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang