Malam yang dipenuhi kelap-kelip bintang, begitu kontras keindahannya jika dibandingkan dengan wajah masam seorang gadis yang saat ini tengah duduk di balkon kamarnya.
Ia menyandarkan punggungnya di kursi miliknya. Kakinya yang bening dan putih mulus berselonjor menjuntai ke lantai. Sementara tatapannya mengarah kosong ke arah langit malam.
Bibirnya mengerucut kesal, matanya yang biasa dipenuhi binar itu kini nampak redup. Dengan helaan napas yang berulang kali terdengar.
Tadi siang, sang Abati telah membuat keputusan teramat tegas yang tidak bisa ia ganggu gugat lagi.
"Kamu sama Akram akan pindah ke pesantren. Tidak ada penolakan. Keputusan Abati sudah bulat."
"Tapi, Abati. Am-Am enggak mau di sana," rajuknya dengan nada manja, menolak keputusan sang abati.
"Tidak bisa, Am-Am. Kamu harus ikut apa kata Abati kali ini, Sayang. Ini semua demi kebaikan kamu."
"Kebaikan apa? Kan Am-Am bisa langsung belajar sama Abati dan Umma. Abati kan pernah jadi santri juga. Sedangkan Umma adalah seorang Ustadzah. Tidak bisakah Abati mempertinbangkan keputusan Abati lagi? Aku benar-benar tidak mau pergi ke sana." Gadis itu melirik ke arah sang Umma yang hanya diam saja sejak tadi. Memberikan tatapan permohonan dengan ekspresi puppy eyes. "Ummaaa, tolongin Am-Am. Bilangin ke Abati, aku enggak mau pindah ke pesantren."
"Sayang ...." Suara lembut sang Umma terdengar. Mengelus penuh kasih pipi chubby gadis itu. "Sekali ini saja ya. Ikuti permintaan Abati mu. Akram juga sudah setuju kok."
Mendengar sang Umma tidak mendukung dirinya, gadis itu menangis sekencang-kencangnya.
"Am-Am enggak mau! Enggak mau ke pesantren! Enggak mau pisah sama Umma, Abati dan Imam. Huhuhu. Apa kalian tega pisah sama anak sendiri? Hiks hiks."
Sang Abati dan Umma hanya diam seraya saling pandang. Tapi tangan lembut Umma menarik anaknya dalam dekapannya. Menenangkan gadis manja dan keras kepala itu.
"Sayang, anak Umma yang cantik dan sholehah. Abati sama Umma cuma ingin yang terbaik untuk kamu, Nak. Dengan di pesantren, maka insyaa Allah akan menjadi lebih baik dari hari kemarin dan hari ini. Bukankah muslim yang baik adalah muslim yang selalu berubah menjadi lebih baik setiap waktunya?"
Gadis hanya menangis di pelukan sang Umm. Saudara kembarnya merasa sedih melihatnya seperti itu. Pasti saudarinya tidak ingin ke pesantren itu karena ada seorang remaja pria yang merupakan musuh bebuyutannya sejak dulu.
"Am-Am enggak mau, Ummaaa. Bagaimana kalau Amani rindu sama Umma, Abati dan Imam?"
"Maka insyaa Allah Umma, Abati sama Imam akan langsung datang menjenguk Amani dan Akram. Jangan khawatir ya. Di sana kan juga tinggal keluarga besar Am-Am. Ada Nenek, Paman Devan, Paman Hafidz, Tante Kinan, Kak Kayla, Khafi, semuanya akan di samping Am-Am kalau lagi sedih."
"Tapi Am-Am enggak mau, Ummaaaa. Di sana ada si penjaga neraka. Am-Am males ketemu dia."
Mulut sang Abati dan Umma langsung melongo mendengar pernyataan putri kesayangan mereka. Sementara Akram terkikik pelan karena merasa Amani sangat lucu. Bisa-bisanya gadis itu memberi alasan yang demikian bahkan menangis kejer bagaikan orang yang akan ditinggalkan selamanya.
"Haaah." Abati menghela napas panjang. "Ternyata cuma karena alasan itu, Am-Am?"
Amani terdiam, tidak ingin membantah apapun. Ia sudah terlanjur berkata demikian dan tidak bisa ditarik kembali. Sementara sang Abati langsung padanya dan Umma. Mengusap kepalanya penuh sayang.
"Am-Am, dengarkan Abati. Kalau kamu ketemu musuh, maka jangan lari. Bahkan rela menangis seperti itu demi menghindar dari dia. Tapi kamu harus tetap maju dan melawannya. Apalagi kamu tidak salah apapun. Seharusnya anak itu yang minta maaf padamu. Jadi kamu harus ke sana dan buat dia bertekuk lutut padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Santri
Teen FictionBertemu lagi dengan musuh bebuyutan sejak kecil saat masuk di pesantren? Oh tidak!! Tapi sungguh, gadis cantik, manja, dan bar-bar bernama lengkap Thahirah Amani Taqiyuddin itu sama sekali tidak bisa menolak keputusan sang abati untuk pindah ke pesa...